[caption caption="saveourgreen.org"][/caption]
Di Indonesia, pertumbuhan penduduk sangat padat yang menyebabkan peningkatan kebutuhan untuk beraktivitas menjadi sangat tinggi. Tempat atau wadah untuk mewadahi kebutuhan dan aktivitas manusia tersebut seringkali mengorbankan lingkungan yang sudah terbangun secara alami, misalnya pembangunan perumahan dan area komersial di atas lahan persawahan. Fenomena tersebut merupakan satu dari sekian banyak contoh pembangunan kawasan yang seringkali menjadi salah satu pemicu terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim (Kusumawanto dan Astuti, 2014). Maraknya isu perubahan iklim yang dialami seluruh wilayah di dunia ini memberikan tantangan kepada setiap penduduk di muka bumi ini untuk selalu memiliki pola hidup yang mampu mengurangi dampak buruk terhadap lingkungannya. Perilaku yang ramah lingkungan sudah merupakan kewajiban semua orang saat ini, bukan lagi sebatas minat ataupun penekanan dalam melakukan suatu pekerjaan (Kusumawanto, 2014).
Terkait dengan isu lingkungan yang berdampak pada pemanasan global ataupun perubahan iklim, arsitek, perancana, beserta masyarakat luas memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam menyeamatkan bumi yang sudah semakin rusak ini. Untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang begitu kompleks, berbagai cabang ilmu lingkungan, arsitektur hijau, ataupun perancangan kawasan ramah lingkungan menjadi poros bagi perencanaan dan perancangan pembangunan dalam skala luas. Teori dan konsep yang terkandung dalam arsitektur hijau dan Green Urban Design pada umumnya mengemukakan gagasan-gagasan tentang lingkungan yang hijau, dimana pembangunan yang dilakukan selain dituntut mampu mengakomodasi kebutuhan penghuni juga mampu tetap menjaga kualitas lingkungan disekitarnya.
Dengan kondisi iklim global dan degradasi lingkungan dimana-mana, arsitektur hijau dalam perkembangannya tidak dapat lagi hadir hanya sebatas konsep atau teori saja, namun perlu di terapkan secara nyata dengan desain dan rancangan yang ramah lingkungan dan hemat energi. Perancangan hemat energi mutlak diperlukan pada saat ini karena penghematan energi oleh bangunan dapat mereduksi emisi greenhouse gas (GHG) yang menyebabkan perubahan iklim secara global (Chan dan Chow, 2014).
Fenomena Pemanasan Global
Masalah paling serius dan paling penting yang sedang dihadapi umat manusia saat ini adalah pemanasan global atau global warming. Ming dkk (2014) menjelaskan bahwa pemanasan global terjadi sebagai akibat tidak berimbangnya panas yang diterima bumi dengan panas yang dilepaskan kembali ke angkasa. Berbagai macam skenario telah dipertimbangkan untuk mengurangi secara perlahan emisi greenhouse gas (GHG) hingga mencapai suhu heat rise dibawah +20C. Namun karena tidak adanya kesepakatan internasional terutama oleh daerah-daerah penghasil polutan terbesar, maka skenario-skenario yang telah dipertimbangkan tadi hanya sebatas kata-kata kosong dan tidak ditindaklanjuti dengan aksi yang pasti (Ming dkk, 2014).
Berdasarkan keadaan tersebut, sudah selayaknya perancangan pembangunan serta perilaku kita dalam merencanakan berbagai sesuatu perlu mempertimbangkan baik konsep dan aplikasinya sejalan dengan tujuan untuk menahan laju pemanasan global dan seminimal mungkin memberi dampak negatif kepada lingkungan sekitarnya.
Konsep Desain Berkelanjutan
Â
Perubahan iklim global beserta isu-isu lingkungan mendorong keprihatinan masyarakat luas untuk berfokus mengedepankan pembangunan berkelanjutan (Chan dan Chow, 2014). Keberlanjutan merupakan usaha manusia untuk mempertahankan eksitensinya di muka bumi dengan meminimalkan perusakan alam dan lingkungan guna menjamin kehidupan generasi di masa yang akan datang. Terkait dengan dunia arsitektur dan pembangunan kota, pendekatan arsitektur hijau merupakan cara pemecahan masalah yang tepat dengan mengutamakan keselarasan rancangan dengan alam, melalui pemecahan secara teknis dan ilmiah. Pendekatan ini sejalan dengan konsep sustainable cities yang bertujuan untuk menggunakan energi yang efisien, memanfaatan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui secara efisien, menekankan penggunaan sumber daya alam yang dapat diperbarui dengan daur ulang, serta mengontrol daya serap limbah lokal dan global (Kusumawanto dan Astuti, 2014). Semua ini ditujukan bagi kelangsungan ekosistim, kelestarian alam dengan tidak merusak tanah, air dan udara, tanpa mengabaikan kesejahteraan dan kenyamanan manusia secara fisik, sosial dan ekonomi secara berkelanjutan.
Salah satu teori dalam arsitektur hijau yang dikembangkan di Universitas Kyushu Jepang tahun 2007 terkait konsep Sustainable Habitat System adalah T = W – D, yaitu formulasi matematis sederhana yang menggambarkan bahwa perancangan yang berkelanjutan memiliki nilai T (troughput) yang maksimal melalui W (welfare) yang besar dan meminimalkan D (environmental damage) seminimal mungkin (Kusumawanto dan Astuti, 2014).