Manusia dianugerahi kemampuan berimajinasi secara tak terbatas, dan mewujudkan imajinasi tersebut menjadi kenyataan. Salah satu imajinasi yang menarik dan pantas diimajinasikan manusia-manusia modern sekarang adalah tentang kota masa depan. Bagaimana wujud kota kita, atau kampung kita di beberapa puluh tahun kedepan? Siapa saja dapat berimajinasi dan pastinya sangat beragam dan menarik. Namun sebagian besar tentunya membayangkan sebuah kota yang lebih tertata, lebih bersih, lebih sehat, dan lebih menarik. Artikel ini sebenarnya edisi lain dari beberapa artikel sebelumnya yang berjudul “Mencorat-Coret Lingkungan Sekitar Menjadi Lebih Ekologis”, “Sesekali Berimajinasi tentang Kota Masa Depan”, “Mixed-Use Development dalam Sistem TOD, Prospek Tinggi Pengembangan Kota Masa Depan”, serta lajutan dari “Infrastruktur dan Transportasi sebagai Pendukung Konsep Kampung Vertikal”. Tujuannya sama, yaitu menyalurkan teori, ide dan konsep lingkungan yang lebih baik, siapa tau suatu saat menjadi kenyataan.
Yogyakarta dan Sungai Code
Banyak sekali lingkungan di sekitar kita yang perlu mendapat perhatian khusus, karena kondisi lokasi yang sudah kotor, kumuh, banyak polusi, banyak pencemaran, kepadatan tinggi, dan lain-lain. Karena penulis berdomisili di Kota Yogyakarta, maka contoh yang dibahas diartikel ini adalah salah satu kasus lingkungan di kota Yogyakarta. Kota Jogja, meski secara nasional bahkan global dikenal sebagai kota budaya, namun di beberapa titik masih memiliki lingkungan dapat dikatakan memprihatinkan, seakan tertutupi oleh branding kebudayaan dan Keraton yang menjadi point of interest kota ini. Mungkin sudah banyak yang tau, lingkungan yang penulis maksud adalah kawasan bantaran sungai Code. Seperti yang sudah dibahas di artikel sebelumnya “Rusunami, Solusi Permukiman Bantaran Sungai”, sungai Code menjadi salah satu wajah kota karena alirannya dari utara ke selatan seolah membelah kota Yogyakarta ini.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/06/22/143493690110081661465.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Urbanisme dan Arah Pembangunan di Kota Jogja
Tidak dapat dipungkiri, kota Yogyakarta sudah bergerak ke arah kota urban dengan kepadatan tinggi dan mobilisasi yang tinggi pula. Nuansa Jogja dengan kesan budaya dan kesenian tinggi memang masih terasa kental di lingkungan Keraton dan sekitarnya. Namun di luar itu, Jogja praktis sudah mirip dengan kota-kota besar pada umumnya. Indikasi yang terlihat jelas adalah banyaknya bangunan tinggi seperti hotel, mall, apartemen yang mulai menjamur di beberapa titik. Ini mengindikasikan banyak investor dan penggerak bisnis mulai melirik kota Yogyakarta karena dianggap berpotensi berkembang sebagai kota urban, memungkinkan kota ini menjadi kawasan pusat bisnis atau CBD nantinya, bukan mustahil. Di satu sisi, mungkin nuansa ketradisionalan atau nilai-nilai budaya dalam kota akan semakin samar karena pengembangan tersebut. Namun disisi lain, kota dapat lebih maju secara tata ruang, tata lingkungan, dan bahkan kesejahteraan. Sekali lagi ini berbicara jauh beberapa tahun ke depan, bukan saat ini atau besok saja, apalagi masalalu.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/06/22/143493706410001018036.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Isu Kawasan Bantaran Sungai Code
Kembali ke permasalahan kawasan sungai Code, bahwa kawasan bentaran sungai ini perlu menjadi prioritas pembangunan kota Jogja kedepannya. Keberadaan sungai Code yang vital dengan menjamurnya permukiman kumuh padat di sepanjang sungai menjadi alasan terpenting kawasan ini perlu ditata. Permukiman bantaran sungai code, terutama di daerah pusat kota Jogja, memiliki karakteristik yang tipikal atau mirip, yaitu kepadatan tergolong tinggi sekitar 25000 jiwa/km2, sempadan sungai hilang baik untuk hunian ataupun gang kampung, KDB (koefisien dasar bangunan) sangat tinggi dan ruang hijau minim, KLB (koefisien luas bangunan) jauh lebih rendah dari yang diizinkan pemerintah.
Ada banyak sekali masalah yang dapat ditemukan begitu kita masuk ke kawasan bantaran sungai Code. Hal yang paling terlihat kemungkinan besar adalah lingkungan yang kumuh, minim area hijau, dan beberapa bangunan seakan tanpa batas dengan sungai sehingga rawan banjir bila sungai menguap sewaktu-waktu. Lingkungan bantaran sungai biasanya berisi permukiman padat penduduk dengan akses jalan berupa gang-gang sempit yang menjadikan aksesibilitas di lingkungan ini menjadi sulit. Beberapa kawasan bantaran sungai yang juga berbatasan dengan jalan utama perkotaan, biasanya terdapat banyak area komersil di sepanjang jalan utama yang seakan menutupi kekumuhan area permukiman bantaran sungai dibelakangnya. Hal ini terlihat misalnya di sepanjang jalan Mataram kota Jogja dimana area komersil memadati hampir sepanjang jalan ini. Padahal dibelakangnya tumbuh permukiman bantaran sungai Code yang kumuh dan kotor, sangat kontras dengan kondisi seberang jalan yang dipenuhi bangunan-bangunan tinggi dan mewah. Disisi lain sebenarnya kawasan bantaran sungai memiliki potensi-potensi ‘terpendam’ pada komunitas-komunitas yang ada di dalamnya. Bila dikerucutkan, setidaknya masalah-masalah tersebut dapat dikelompokkan ke dalam isu lingkungan, isu kepadatan, dan isu komunitas.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/06/22/143493719210966220767.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/06/22/143493729310920202742.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Jika menilik sepintas tentang desain-desain kawasan tepian air(waterfront) di luar negeri, dapat ditemukan bahwa kawasan-kawasan tersebut mengoptimalkan kawasan tepian sungai untuk ruang terbuka hijau yang dapat digunakan untuk berbagai aktivitas sosial. Contoh tersebut misalnya terdapat di desain masterplan Punggol Waterfront di Singapura. Kawasan tepian air ini mengoptimalisasikan kawasan tepian sungai untuk RTH publik dan menciptakan ruag-ruang terbuka yang terintegrasi dengan ruang-ruang hunian dalam kompleks tersebut.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/06/22/143493746510681990808.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/06/22/143493753710488046334.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/06/22/143493765610034059413.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/06/22/143493774510524871393.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Rumah susun dinilai dapat menyelesaikan berbagai masalah sekaligus dalam satu waktu, seperti masalah kebutuhan hunian, kepadatan, ruang terbuka, dan kebersihan lingkungan. Bahkan dalam perkembangannya, fasilitas-fasilitas komersial ataupun edukasi dapat diintegrasikan dengan ruang-ruang rumah susun secara vertikal, sehingga dapat mendasari terbentuknya konsep kampung vertikal, tidak sebatas hunian vertikal saja. Integrasi dengan fasilitas-fasilitas lain secara vertikal sebenarnya sudah banyak diterapkan pada kawasan-kawasan mixed-use development untuk mengkonsentrasikan kegiatan dan aktivitas dalam satu area. Dengan begitu mobilisasi dan kepadatan lingkungan dapat lebih terkontrol.
Transportasi dan lalulintas di sekitar kawasan tidak bisa diabaikan begitu saja karena sangat terkait dengan kepadatan kawasan. Rencana pembangunan hunian-hunian vertikal akan membentuk pola mobilitas dan kepadatan yang baru sehingga memerlukan pengaturan sirkulasi kendaraan yang terencana. Bila tidak terencana dengan baik, kepadatan hunian mungkin dapat dikurangi, namun jalanan dan lalulintas sekitar tetap padat dan macet sehingga tidak cukup memberikan progres penataan kawasan secara optimal. Rencana pembangunan monorail di sepanjang tepian sungai Code perlu ditanggapi secara positif. Media transportasi publik ini dapat mengurangi jumlah kendaraan pribadi yang bersirkulasi dan mengurangi kemacetan di jalan raya. Terlebih jalur monorail tersebut dapat terintegrasi dengan hunian-hunian vertikal bantaran sungai sehingga memudahkan warga dalam mengakses transportasi publik tersebut. Hal seperti ini bukan mustahil untuk direalisasikan bila terjadi komitmen dan dukungan positif semua pihak termasuk warga bantaran sungai.
Selain itu, isu kepadatan juga menyangkut fasilitas-fasilitas di sekitar permukiman padat bantaran sungai. Kawasan bantaran sungai Code di pusat kota Jogja juga berbatasan dengan jalan raya sehingga area komersial memadati kawasan ini, menutup area permukiman bantaran sungai, dan menambah padat jalan sekitar permukiman karena parkir-parkir kendaraan memadati jalan raya yang ada. Penataan hunian yang sudah rapi terasa kurang berarti jika jalanan sekitar tetap semrawut. Penataan komersial seharusnya dapat lebih diintegrasikan dengan kompleks hunian rumah susun yang direncanakan. Fasilitas khusus untuk parkir kendaraan juga dapat ditambahkan dalam proyek penataan kawasan bantaran sungai. Bangunan parkir secara vertikal dapat mewadahi kebutuhan parkir area komersial yang ada sekarang, namun juga dapat dimanfaatkan untuk parkir penghuni rumah susun sehingga efisien secara tata ruang. Gagasan yang mengintegrasikan fasilitas umum dan komersial akan meningkatkan kualitas ekologis lingkungan bantaran sungai, mengontrol kepadatan yang ada, dan memberdayakan masyarakat lokal untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan komersial sekitar kawasan bantaran sungai.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/06/22/143493786210368484203.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/06/22/143493792010224753971.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/06/22/143493803010831216454.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Ruang-ruang sempadan sungai yang direncanakan sebagai RTH dapat dikembangkan menjadi ruang-ruang rekreatif dan ruang komunitas yang sangat kontekstual dengan profil lingkungan bantaran sungai saat ini. Ruang rekreatif dapat berupa ruang-ruang atraksi atau area bermain anak yang dapat menambah keramaian dan aktivitas outdoor warga bantaran sungai. Ruang komunitas berperan dalam mewadahi kegiatan-kegiatan komunitas atau kelompok berupa ruang-ruang diskusi, ruang pertunjukan atau stage, ataupun sekedar ruang berkumpul. Ruang-ruang ini yang sebenarnya dikawatirkan banyak masyarakat ketika sistem hunian kampung dibuat secara vertikal sehingga menghilangkan kebersamaan dan kehidupan sosial warga. Ruang rekreatif dan ruang komunal yang terintegrasi dengan hunian vertikal dapat setidaknya mempertahankan karakter kampung yang ada saat ini, meskipun harus menyesuaikan dari sistem horizontal menjadi vertikal.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/06/22/143493809610528437813.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Salam Pembangunan Lingkungan
Sumber referensi :
http://www.mccarter.com/Mixed-Use-Developments--The-Coming-of-Age-of-Vertical-Divisions-08-01-2007/
http://weburbanist.com/2014/12/11/vertical-city-farming-undulating-mixed-use-urban-community/
http://www.jakartaverticalkampung.org/
https://kampungderetjoharbaru.wordpress.com/pentingnya-pembangunan-kampung-deret-vertikal/
Daliana Suryawinata (SHAU architect) dalam "Kick Andy Show" (5/6/2015)
Lestari, Dwi Suci Sri. Penyelenggaraan Rumah Susun untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah Berdasarkan Regulasi Terkait
Sudrajat, Andy Edy. Compact City-a Sustainable Urban Form
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI