[caption id="attachment_401263" align="aligncenter" width="554" caption="http://www.boredpanda.com/tree-root-growing-concrete/"][/caption]
Bangunan-bangunan yang berdiri di era modern sekarang ini cenderung menentang unsur lingkungan hidup atau alam eksisting ketimbang menyesuaikan apa yang telah ada sebelumnya. Pertanyaannya apa batas antara “menentang” dan “menyesuaikan” dalam konteks pendirian sebuah bangunan? Menurut Heinz Frick (1988) dalam bukunya Arsitektur dan Lingkungan, hubungan antara teknologi dan lingkungan terdapat tiga macam. Golongan pertama yaitu teknologi menghindari alam artinya bila kondisi alam tidak memungkinkan untuk dibangun sebuah bangunan, maka pembangunan akan menghindari tempat tersebut dan mencari tempat baru yang lebih kondusif kondisi alamnya. Golongan kedua yaitu teknologi menyesuaikan alam, berarti bangunan didirikan dengan mempertimbangkan unsur-unsur alam eksisting dan berupaya seminimal mungkin merusak alam yang sudah ada. Sedangkan golongan ketiga yaitu teknologi menentang alam, artinya bangunan didirikan dengan tidak terlalu memperhatikan profil alam eksisting, bahkan menentangnya dengan menggunakan elemen-elemen yang tidak ramah lingkungan.
Dalam konteks pembangunan saat ini, kita bisa mengambil istilah “betonisasi” untuk menggambarkan bangunan dan lingkungannya yang (biasanya) menggunakan material beton untuk struktur dan permukaannya. Jangan dikira betonisasi hanya tentang perkerasan permukaan tanah oleh lantai beton, pembangunan gedung hotel, kantor, sekolah, universitas, rumah, sampai yang skala kecil seperti pos ronda pun bisa disebut betonisasi.
Betonisasi menjadi kurang sehat bila sudah benar-benar menentang kondisi, sifat, dan perilaku alam. Bentuk penentangannya pun bermacam-macam. Misalnya perkebunan yang dibangun lapangan beton diatasnya. Disatu sisi lingkungan menjadi lebih hidup dengan aktivitas olahraga, namun disisi lain area resapan air berkurang dan lingkungan menjadi lebih panas karena sifat beton yang memantulkan panas radiasi matahari. Contoh lain misalnya pembangunan rumah-rumah bertingkat secara masif. Disatu sisi rumah menjadi kebutuhan dasar dan menjadi penunjang lifestyle modern dengan desain-desain yang minimalis, namun disisi lain tingginya bangunan dapat menghambat sirkulasi udara atau pencahayaan matahari di pagi hari bagi jalan sekitar atau rumah sebelah yang lebih pendek. Contoh yang lebih memprihatinkan misalnya pembangunan hotel-hotel di tengah perkotaan. Kebutuhan air yang besar membuat hotel membangun sumur dalam untuk mengambil air dalam atau confined aquifer, namun akibatnya sumur-sumur warga disekitar hotel menjadi kering atau asat karena air tanah sudah banyak tersedot oleh sumur dalam hotel. Tentu masih banyak contoh lain pembangunan yang berdampak negatif pada alam.
[caption id="attachment_401264" align="aligncenter" width="504" caption="protes warga karena air sumurnya asat karena pembangunan hotel (http://bisniswisata.co/view/kanal/?open=1&alias=berita&id=6656)"]
Pembangunan berwawasan lingkungan seharusnya menjadi pertimbangan prioritas dalam membangun lingkungan fisik dimanapun berada. Pembangunan lapangan misalnya dapat tetap menghadirkan ruang-ruang hijau dan pohon perindang di sisi-sisi tepinya. Pembangunan biopori-biopori di banyak titik lapangan juga dapat menjadi solusi untuk tetap menghadirkan sistem peresapan yang seimbang dengan betonisasi lapangan itu sendiri. Rumah-rumah dapat menggunakan sistem permeable wall atau dinding-dinding berongga agar sirkulasi udara alami tidak terlalu tertutup dan pencahayaan alami rumah tetangga tidak terlalu terampok keberadaan rumah baru. Ketersediaan ruang hijau di halaman rumah perlu diperluas dan diperbanyak vegetasinya untuk tetap menghadirkan udara yang sejuk dan sehat untuk lingkungan sekitar. Pembangunan hotel harus memperhatikan aliran air tanah sehingga sistem pengambilan airnya tidak menutup aliran air tanah yang seharusnya mengalir ke perumahan-perumahan warga sekitar. Atau kalau tidak bisa mencari tempat baru yang jauh dari permukiman warga sehingga persediaan air sumur warga tidak terancam.
[caption id="attachment_401265" align="aligncenter" width="560" caption="contoh desain lapangan yang memperhatikan aspek lingkungan hijau (http://buildingindonesia.co.id/?p=523)"]
[caption id="attachment_401267" align="aligncenter" width="500" caption="permeable wall sebagai mekanisme sirkulasi udara dan pencahayaan (https://www.flickr.com/photos/laurahamlyn/2241190618/)"]
Betonisasi menjadi menentang alam jika menutup resapan air, menjadi menentang alam jika menutup akses udara dan cahaya alami, dan hotel menentang alam jika mencuri air sumur warga sekitar, dan masih banyak kasus penentangan lainnya. Memang benar pembangunan tidak bisa distop karena hasrat manusia untuk terus membangun untuk mengimbangi kebutuhan hidupnya. Namun kita hidup di lingkungan yang secara alami sudah “sempurna”. Dunia menjadi tidak sempurna karena ada manusia, alam menjadi tidak alami karena teknologi mencampurinya. Ketidaksempurnaan menjadi sesuatu yang pasti, tapi bukan berarti mengalah pada keadaan bahkan menentangnya. Kondisi alam yang sedemikian rupa sebenarnya menuntut manusia untuk lebih berfikir menggunakan ilmunya agar produk dan pembangunannya bisa selaras dengan alam sekitar.
Salam Go GREEN ! ! ! !
Artikel terkait :
http://haikalexelion27.blogspot.com/2011/12/mari-menelisik-konsep-bangunan-masa.html
http://properti.kompas.com/read/2012/01/16/12161231/Ruang.Terbuka.Hijau.yang.Kian.Terjepit.
http://styosef.pangudiluhur.org/artikel/taman-kota-solusi-antisipasi-bencana.44.html
http://unikonservasifauna.org/2011/02/ruang-terbuka-hijau/
http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/07/bangunan-baru-perlu-pertimbangkan-ketersediaan-rth
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/01/mewujudkan-kota-yang-humanis-dan-setara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H