Mohon tunggu...
Alifiano Rezka Adi
Alifiano Rezka Adi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Arsitektur FT UGM Yogyakarta, yang slogannya better space better living, ayoo hidupkan ruang disekitar kita biar dunia ini lebih berwarna :DD

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

“Musik Tradisional Pengamen vs Peraturan Daerah” di Yogyakarta

1 Februari 2015   23:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:59 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yogyakarta sebagai daerah yang menjunjung tinggi budaya dan kesenian lokal memang tidak ada habisnya memberi kita berbagai suguhan yang membuat kita lebih “cinta Tanah Air”. Di sekitar Malioboro-Keraton misalnya, di beberapa titik kita dapat dengan mudah menemukan atraksi-atraksi kesenian dan kebudayaan yang menarik dalam bentuk, salah satu yang menarik dan “baru” di mata masyarakat adalah grup pengamen yang bermusik menggunakan instrumen tradisional. Grup musik ini terlihat di beberapa traffict light dekat area Malioboro Keraton seperti di jalan Panembahan Senopati (dekat Taman Pintar) dan jalan Sultan Agung (dekat Jembatan Sayidan).

grup musik pengamen di dekat Taman Pintar Yogyakarta

1422753818692858495
1422753818692858495
grup musik pengamen di dekat Jembatan Sayidan Yogyakarta

Grup musik ini akan memainkan instrumennya ketika lampu merah traffict light menyala. Lagu yang dibawakannya pun beraneka ragam mulai dari lagu tradisional hingga lagu modern. Yang membuat orang lewat betah melihatnya adalah karena instrumen tradisional yang digunakannya seperti angklung, calung, kendang/tifa, dan alat tabuh lainnya. Pemandangan seperti ini tentu sangat jarang ditemukan “secara cuma-cuma” di zaman yang serbamodern sekarang ini. Jika biasanya orang-orang sebel dengan lamanya menunggu lampu merah, dengan mendengar instrumen ini bisa jadi orang-orang lebih lampu suka merahnya lebih lama.

Namun baru-baru ini pemerintah Yogyakarta mengeluarkan Perda yang kemungkinan besar bisa melenyapkan keberadaan grup musik tradisional ini. Ya, Perda itu dibuat untuk menertibkan gelandangan dan pengemis (Gepeng) yang ada di Yogyakarta. Berdasarkan peraturan tersebut, pemerintah berencana akan membersihkan para gepeng yang tersebar di berbagai tempat dan melarang setiap orang, lembaga, dan badan hukum untuk “menyantuni” para gepeng di tempat umum. Denda sebesar maksimal 1 juta rupiah siap menanti bagi siapa saja yang melanggar peraturan ini. Bahkan denda yang menimpa pihak grup musik tradisional para pengamen tersebut jauh lebih besar bila mereka tidak menaati peraturan yang telah ditetapkan. Tidak main-main, denda maksimal 20 juta rupiah harus ditanggung oleh pengemis yang melakukan kegiatan pengemisan secara berkelompok.

1422753941992142182
1422753941992142182
denda bagi penyantun dalam Perda DIY no 1 tahun 2014

14227540412017465756
14227540412017465756
denda bagi pengemis berkelompok dalam Perda DIY no 1 tahun 2014

Seperti yang diketahui, grup musik tradisional tersebut terdiri dari kumpulan para pengamen yang dalam upaya mengamennya menggunakan teknik bermain musik ala tradisional. Meskipun menarik di mata masyarakat, dan mungkin para budayawan, namun perda mungkin berkata “pengemis ya tetap pengemis”, apa pun jenisnya.

Fenomena ini sebenarnya menjadi dilema yang harus dipikirkan solusi yang paling bijaksana oleh pemerintah Yogyakarta. Di satu sisi, grup musik ini adalah pengamen yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum. Namun di sisi lain, pengemis ini bisa dikatakan “tidak hanya mengemis”, namun mungkin ada niat untuk melestarikan kesenian tradisional lokal yang patut diapresiasi upaya dan gagasannya oleh pihak mana pun. Bila perda ini benar-benar diterapkan, tidak ada jalan lain bagi grup musik tersebut untuk pensiun dari kegiatannya mengamen dan menghibur masyarakat di persimpangan traffict light. Mungkin suasana di persimpangan akan kembali monoton seperti biasanya. Sebenarnya grup-grup musik para pengamen ini tidak harus benar-benar dilenyapkan dari kegiatannya. Pemerintah sangat bisa memberikan solusi seperti memberikan pembinaan tertentu atau memberi wadah khusus untuk mereka berkreasi. Intinya adalah solusi tersebut diupayakan agar apresiasi yang telah dibangun oleh masyarakat tidak hilang meskipun grup musik tradisional itu direlokasi nantinya.

Upaya yang dilakukan grup musik tradisional itu merupakan salah satu presentasi kesenian lokal yang sudah sepantasnya memantik hati nurani pemerintah agar tidak terlalu kaku dan keras dalam mengaplikasikan kebijakannya. Di luar status anggota grup yang merupakan para pengamen, nilai ketradisionalan yang dibawanya mungkin saja dapat memberi dampak positif yang lebih luas di masyarakat. Tentu saja tanpa mengurangi perhatian terhadap upaya pemberantasan gelandangan dan pengemis yang merusak mental masyarakat.

Artikel terkait   :

Astama Izqi Winata dalam jogjadaily.com  –>http://jogjadaily.com/2014/07/targetkan-bebas-gepeng-pada-2015-berikut-program-unggulan-dinsos-diy/

Dewi Agustina dalam tribunnews.com  –>http://www.tribunnews.com/regional/2014/02/06/jangan-memberi-uang-kepada-pengemis-jika-tak-ingin-didenda-rp-1-juta

http://wisata-yogyakarta.com/berita/awas-denda-rp-1-juta-jika-memberi-uang-pengemis/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun