Mohon tunggu...
Alifia HasyaNadhira
Alifia HasyaNadhira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Alifia adalah seorang mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling di Universitas Pendidikan Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Self-Harm: Akankah Menjadi Penyelesaian Masalah yang Baik?

2 November 2023   08:08 Diperbarui: 2 November 2023   08:18 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umumnya dimulai dari usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluh tahun. (Putro, 2017). Masa remaja diawali dengan masa pubertas, yang merupakan masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa.

Masa remaja juga ditandai dengan banyak perubahan yang dirasakan. Maka dari itu, untuk menghadapi semua perubahan yang ada, masa remaja dinilai penuh konflik yang dapat dipengaruhi oleh perbedaan perkembangan sosial, fisik, dan lingkungan. Jika terdapat individu yang tidak bisa untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang akan dihadapinya, mereka sering kali akan memiliki konflik atau masalah. Oleh karena itu, tidak jarang individu tersebut mengalami stress atau bahkan depresi. (Fatmawaty, n.d.). Ketidakmampuan remaja dalam mengatasi permasalahannya menimbulkan emosi negatif dan efek negatif. Ketika emosi negatif tersebut tidak dapat dikendalikan, remaja cenderung melakukan tindakan yang merugikan dirinya, salah satu contohnya adalah dengan menyakiti diri sendiri (self-harm).

Self-harm adalah perilaku yang tujuannya adalah untuk sengaja melukai diri sendiri, Perilaku melukai diri sendiri ini dilakukan sebagai bentuk penyelesaian masalah dan penyaluran emosi tanpa bermaksud untuk melakukan bunuh diri. Self-harm sendiri adalah tindakan yang disengaja sebagai cara untuk mengatasi emosi, situasi, atau pengalaman traumatis yang sulit. Tidak semua orang melukai dirinya dengan sengaja tetapi memiliki keinginan untuk melakukannya. Menurut (Wilson, 2012), beberapa penelitian telah membuktikan bahwa keinginan self-harm berhubungan dengan tingginya kemungkinan untuk melakukan perilakunya. Keinginan bunuh diri juga sudah diprediksi mempengaruhi perilaku self-harm sehingga mungkin, keinginan melukai diri pun dapat mempengaruhi perilaku tersebut. Dari situ, dapat disimpulkan bahwa keinginan melakukan self harm sangat berhubungan dengan bagaimana seseorang dapat meregulasi emosinya atau dapat menguatkan kepercayaan bahwa melukai diri dapat merubah keadaan emosionalnya.

Penyebab utama dari perilaku self-harm adalah stress emosional yang parah, seperti adanya tuntutan, tekanan adaptasi, dan gangguan psikologis khusus. Semua orang mempunyai masalahnya sendiri, tetapi seseorang yang memiliki stress emosional yang tinggi tidak bisa untuk mengungkapkan masalahnya kepada orang lain. Sedangkan semua stressor ini harus diluapkan baik cepat maupun lambat dengan satu cara atau cara lainnya. Maka dari itu, ketika individu tidak memiliki tujuan untuk meluapkan emosinya kepada siapapun, self-harm akhirnya dijadikan pilihan.

Bagian otak yang berperan pada rasa sakit fisik, hati, atau psikologis itu sama. Oleh karena itu, hilangnya satu jenis rasa sakit akan menghilangkan rasa sakit yang lainnya. Dengan menyakiti fisiknya, individu yang melakukan self-harm memiliki harapan bahwa rasa sakit emosionalnya juga hilang. Banyak orang yang melakukan self-harm atas dasar observasi atau coba-coba. Aksi   menyakiti diri sendiri ini merupakan bentuk pengalihan depresi, di mana depresi ini menandakan ada sesuatu yang salah dalam sistem komunikasi intrapersonal yang dialami   oleh   seorang   individu. Sistem komunikasi intrapersonal merupakan proses komunikasi yang terjadi dalam diri individu, terdiri   dari   tahapan   sensasi, persepsi, memori, dan berpikir. Hasil penelitian (Prasanti et al., 2019) menunjukkan bahwa depresi tersebut terjadi dalam tahapan sistem komunikasi intrapersonal yang dialami oleh remaja. Dalam usia 12-13 tahun, ketika remaja melihat ada tren baru dalam pengalihan depresi sebagai tahap sensasi, maka di tahap berikutnya yaitu persepsi, mereka membuat konstruksi sosial atas realitas, sehingga masuk ke tahapan memori, dan yang terakhir adalah berpikir, yaitu memilih memutuskan untuk ikut tren dalam mengalihkan depresi, serta rasa penasaran mencoba hal baru yang menjadi viral tersebut, yaitu aksi menyayat tangan, sebagai bentuk pengalihan depresi.

Secara mental, self-harm akan menambah masalah yang nantinya akan dirasakan oleh individu itu sendiri. Hal buruk seperti ini pasti memiliki konsekuensi yang besar seperti rasa bersalah, penyesalan, bahkan rasa jijik dan benci pada diri sendiri. Emosi negatif yang kembali dirasakan itu kemudian bisa mendorong seseorang untuk melakukan self harm berkali-kali karena mereka merasa butuh untuk menghilangkan rasa negatif yang ada dalam dirinya. Dengan itu, mereka terjebak dengan siklus self-harm. Jika sudah terjadi siklus, dikhawatirkan terjadi eskalasi karena dari siklus ke siklus, seseorang akan melakukan self-harm yang lebih parah untuk menghilangkan emosi yang lama kelamaan intensitasnya semakin tinggi dan pada ujungnya individu itu bisa mengalami kecacatan. Hal ini sama sekali tidak dibenarkan sebagai satu-satunya alasan untuk menyelesaikan masalah yang dimiliki individu.

Langkah pertama yang bisa dilakukan untuk menghentikan siklus self-harm adalah dengan cara speak up atau bercerita dengan seorang professional atau ahli yang dipercaya. Langkah kedua, kenali situasi dan kondisi yang memicu self-harm. Biasanya, self-harm memiliki pola seperti memiliki barang tertentu yang dipakai, waktu, serta tempat untuk melakukan self-harm. Jika sudah mengenali hal-hal yang memicu adanya self-harm, ketika dorongan menyakiti diri sendiri itu mulai muncul, individu harus bisa menghindar dan mengalihkan pikiran pada aktivitas lainnya. Langkah ketiga, ekspresikan emosi negatif yang dirasakan, baik itu dalam bentuk tangisan, teriakan, atau hal apapun selama tidak melukai diri sendiri maupun orang lain. Lebih baik lagi, individu bisa melakukan dengan cara mengidentifikasi emosi negatif dan menulis perasaanya dengan spesifik. Langkah keempat adalah menyibukkan tangan dengan menggenggam sesuatu atau alihkan tangan dari dorongan yang akan menyakiti diri sendiri. Langkah kelima yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan self compassion. Self compassion adalah memperbolehkan diri sendiri menjadi orang yang tidak sempurna dan mempunyai kekurangan, tanpa mendefinisikan diri dengan hal tersebut.

Beberapa perilaku menyakiti diri sendiri yang umum terjadi antara lain memotong atau membakar kulit, memukul diri sendiri, membenturkan kepala ke dinding, atau mengonsumsi obat-obatan atau racun dalam jumlah berlebihan. Hal ini disebabkan oleh masa kecil individu yang mengalami trauma psikologis, kurangnya komunikasi dalam keluarga individu, tidak adanya keharmonisan dan kehangatan dalam keluarga, permasalahan yang terjadi   di   sekolah, permasalahan   dalam   hubungan   percintaan,   permasalahan  dengan  teman,  kejadian  buruk  yang  pernah  dialami  dan  stres  dalam  menjalani  kehidupan. Berikut adalah beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan adanya perilaku menyakiti diri sendiri (self-harm):

  • Tekanan emosional: Menyakiti diri sendiri sering kali merupakan respons terhadap rasa sakit atau tekanan emosional yang hebat yang tidak dapat diungkapkan atau diatasi oleh seseorang dengan cara yang sehat.
  • Pengalaman traumatis: Orang yang pernah mengalami trauma, seperti pelecehan fisik atau seksual, mungkin lebih cenderung melakukan tindakan menyakiti diri sendiri sebagai cara untuk mengatasi dampak emosional yang dialaminya.
  • Kondisi kesehatan mental: Menyakiti diri sendiri sering dikaitkan dengan kondisi kesehatan mental seperti stress, depresi, kecemasan, gangguan kepribadian, atau gangguan makan.
  • Faktor sosial dan lingkungan: Tekanan teman sebaya, intimidasi, kurangnya dukungan sosial, atau lingkungan keluarga yang tidak berfungsi juga dapat berkontribusi pada perilaku menyakiti diri sendiri.
  • Faktor resiko: Meskipun siapa pun dapat melakukan tindakan menyakiti diri sendiri, kelompok tertentu mungkin memiliki resiko lebih tinggi, termasuk individu dengan riwayat tindakan self-harm, riwayat keluarga yang melakukan self-harm, atau riwayat percobaan bunuh diri.

Faktor yang akan saya jadikan acuan dalam tulisan kali ini adalah faktor kondisi kesehatan mental yaitu adanya depresi. Depresi adalah gangguan kesehatan mental yang mempengaruhi perasaan, cara berpikir, dan cara bertindak seseorang. Depresi pada remaja ditandai dengan adanya perubahan tingkat suasana perasaan depresi atau hilangnya minat pada hampir seluruh aktivitas. Remaja yang mengalami depresi akan terlihat sedih, tidak bahagia, mengalami kecemasan, suka mengeluh, mudah tersinggung. Remaja dengan depresi merasa bahwa tidak ada yang memperhati kan dan menyayanginya. Remaja terkadang merasa hampa, tidak merasakan perasaan apapun, dan mengeluh sakit yang sebenarnya bersifat fiktif. (Ramadhani & Retnowati, 2013)

Selain itu, faktor individu melakukan perilaku menyakiti diri sendiri adalah karena tidak adanya keharmonisan dalam keluarga. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang menjadi tempat bagi anak untuk memperoleh kebahagiaan. Kondisi keluarga yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi para anggota keluarga terutama anak. Kebahagiaan ini diperoleh apabila keluarga dapat memerankan fungsinya dengan baik. Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, rasa kasih sayang, dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis. Keharmonisan dan kerja sama yang baik antara ibu dan ayah dalam pengasuhan anak akan membuat anak merasa aman dan terlindungi. 

Penyaluran emosi dilakukan individu untuk menghindari rasa kosong (emptiness), depresi, malu, tidak mampu menghadapi kenyataan, mengatasi rasa tertekan, menginginkan diri sendiri diakui keberadaannya oleh lingkungan sosial. Bagi individu yang tidak memiliki kemampuan mekanisme coping behavior (perilaku adaptasi), maka strategi yang ditimbulkan untuk menyalurkan emosi tersebut adalah memunculkan perilaku maladaptif. Salah satu perilaku maladaptif tersebut adalah perilaku menyakiti diri sendiri atau self injury.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun