Mohon tunggu...
Nur Alifia Fitriani
Nur Alifia Fitriani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gugatan PDIP kepada PTUN, Bisakah Pelantikan Ditunda?

15 Juni 2024   11:51 Diperbarui: 15 Juni 2024   14:09 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perselisihan mengenai Pemilihan Umum sepertinya tak kunjung usai. Di tengah riuhnya panggung politik pasca pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024, sebuah pertanyaan besar mengemuka "dapatkah gugatan hukum menghentikan roda pemerintahan yang sudah menjadi mandat rakyat?"

Setelah sedikit bernafas lega karena sengketa Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi dianggap telah usai, akhir-akhir ini media kembali dihebohkan dengan gugatan yang diajukan oleh PDIP kepada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur. Gugatan ini bermula dari Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menetapkan pasangan Prabowo-Gibran sebagai pemenang Pilpres 2024 meskipun terdapat permintaan dari PDIP dalam sengketa hukum yang berlangsung di PTUN terkait hasil Pemilihan Umum. Gugatan itu diajukan karena PDIP merasa bahwa KPU melanggar hukum dengan meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden dengan mengenyampingkan syarat usia minimum bagi Cawapres. PDIP melalui gugatan dengan Nomor 133/G/2024/PTUNJKT dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak Tergugat berharap salah satunya agar Paslon 02 (Prabowo-Gibran) dicoret dari Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilu presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPRD, DPD, dan seterusnya, sampai dengan adanya keputusan yang berkekuatan hukum tetap.

Adapun selain dianggap melanggar hukum serta asas dan norma yang ada pada peraturan mengenai pemilihan umum, Erna Ratnaningsih, seorang anggota PDIP menyatakan bahwa KPU masih menggunakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 sebagai aturan lama pada saat menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden pendamping Prabowo Subianto. Erna juga berpendapat bahwa KPU menerima pendaftaran Capres-Cawapres pada tanggal 27 Oktober 2023 tanpa mengubah PKPU Nomor 19 Tahun 2023 yang belum disesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah ketentuan pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang tentang Pemilihan umum mengenai batas usia Capres dan Cawapres. PDIP melalui gugatan ini juga berharap menjadi pertimbangan Majelis Permusyawaratan Rakayat (MPR) untuk tidak melantik Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Lalu kira-kira apakah gugatan tersebut dapat menunda pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2024-2029?

Sebelum itu perlu kita ingat bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi yang pemimpinnya dipilih oleh rakyat, bukan negara monarki yang pemimpinnya dipilih berdasarkan keturunan dan tidak mengenal pembatasan masa jabatan. Sistem demokrasi mengedepankan hasil perolehan suara berdasarkan suara mayoritas yang didapatkan pada saat Pemilihan Umum. Berdasarkan hasil rekapitulasi nasional perolehan suara oleh KPU pada Pilpres 2024 adalah Paslon 02 yaitu Prabowo-Gibran dengan total perolehan suara secara keseluruhan mencapai 96.214.691 dari total keseluruhan suara sah nasional sebanyak 164.227.475 suara. Jika berdasarkan prinsip negara demokrasi, hasil penghitungan suara tersebut dapat dianggap sah. Namun permasalahan dimulai sejak MK melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang berkaitan dengan usia salah satu Cawapres yaitu Gibran dalam proses pencalonan. Dalam Pasal 22E UUD NRI 1945 juga telah dengan jelas menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan tiap 5 (lima) tahun sekali, norma tersebut menjadi norma konstitusi yang tidak dapat diingkari. Selain itu, dalam sistem hukum di Indonesia berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, putusan MK bersifat final dan mengikat yang berarti langsung memiliki kekuatan hukum tetap sejak diucapkan., MK menjadi lembaga yang putusannya bersifat final dan telah menolak gugatan dari kubu lain dan memvalidasi hasil Pemilu dengan menetapkan Prabowo-Gibran sebagai pemenang serta adanya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memberikan kepastian hukum terhadap hasil Pemilu. Sehingga Keputusan MK tidak dapat dibatalkan oleh lembaga peradilan lain termasuk PTUN.

PTUN sendiri hanya berwenang mengadili sengketa administrasi yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan, namun wewenangnya menjadi terbatas ketika berkaitan dengan sengketa Pemilihan Umum. PTUN masih diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Pemilu namun hanya sebatas proses nya saja karena sebagai salah satu wewenang absolut dari PTUN. Berdasarkan 471 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang tentang Pemilihan Umum, gugatan PTUN seharusnya menjadi upaya hukum lanjutan setelah diajukan kepada Bawaslu. Namun kaburnya batas antara PTUN dengan Pengadilan Perdata membuat sering terjadinya permasalahan terkait itu. Misalnya saja perkara yang diajukan kepada PTUN Jakarta dengan Nomor 425/G/2022/PTUN.JKT dinyatakan tidak dapat diterima karena sengketa proses Pemilu yang diajukan melalui PTUN Jakarta Pusat didasarkan pada Pasal 1365 KUHPer tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atau onrechmatidge.

Aan Eko Widiarto, seorang pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya menyatakan bahwa permohonan gugatan PDIP kepada PTUN dianggap tidak relevan. Sementara Tamil Selvan, seorang pakar hukum dan komunikolog dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta juga berpendapat bahwasannya gugatan PDIP kepada PTUN tidak akan menunda pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2024-2029 karena sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan dari kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD terkait sengketa Pilpres 2024.  Berdasarkan Asas Presumptio Iustae Causa, Keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara dianggap sah kecuali dibuktikan sebaliknya atau terdapat Keputusan baru yang membatalkan atau mencabutnya. Keputusan yang dimaksud dalam sengketa ini adalah Keputusan yang dibuat oleh KPU terkait dengan penetapan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

Apabila gugatan PDIP diterima dan pelantikan ditunda, ditakutkan dapat menimbulkan kekosongan. Hal tersebut dapat terjadi karena apabila Presiden Jokowi telah meletakkan jabatannya, sedangkan Presiden baru belum dilantik maka bisa saja akan ada kekosongan kekuasaan. Sehingga harus ada seseorang yang mengambil alih keamanan dan mengendalikan NKRI karena sebuah negara tidak boleh mengalami Vacum Power. Vacum power ini sebetulnya juga pernah terjadi di Indonesia, tepatnya pada saat masa kependudukan Jepang dan kemudian Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Situasi Vacum Power ini yang kemudian dimanfaatkan oleh golongan muda untuk memproklamasikan kemerdekaan. Hingga saat ini juga undang-undang tidak mengatur secara pasti solusi apabila terjadi kekosongan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun