Di Indonesia ada beberapa kendaraan yang digunakan masyarakat, yaitu kendaraan umum seperti KRL, bus dan angkot, serta kendaraan milik pribadi seperti mobil dan sepeda motor. Untuk memudahkan klasifikasi, dibentuklah sistem pelat nomor.
Pelat nomor di Indonesia dibagi menjadi beberapa warna dasar yang menunjukkan identitas kendaraan tersebut. Ada empat jenis warna pada pelat nomor yang digunakan saat ini, yakni hitam, putih, kuning, serta merah.
Pelat nomor merah adalah penanda bahwa kendaraan tersebut milik pemerintah atau kendaraan yang digunakan oleh dinas dan dioperasikan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja pada instansi pemerintahan baik di pusat maupun daerah.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor, yang secara jelas mengatur penggunaan warna pelat nomor untuk membedakan fungsi dan kepemilikan kendaraan. Contohnya kendaraan dengan pelat merah. seperti mobil kepolisian, mobil pemadam kebakaran dan kendaraan milik pemerintahan lainnya (Wibawana, 2023)
Penyalahgunaan kuasa dalam penggunaan kendaraan pelat nomor merah akan dikenakan beberapa sanksi berupa teguran, pencabutan hak operasional, dan sanksi disiplin bagi pelaku yang melanggar. Pelaku instansi pemerintah dan masyarakat diharapkan untuk dapat menghindari perilaku penyalahgunaan dalam kekuasaan yang sudah diatur sebelumnya.
Akan tetapi, pada kenyataannya, meskipun aturan penggunaannya sudah tertulis, tidak sedikit dari instansi pemerintah menyalahgunakan kendaraan ini untuk kepentingan lain di luar aturan. Tindakan ini dapat menimbulkan berbagai persepsi pada masyarakat Indonesia.
Di satu sisi, berbagai jenis persepsi selalu muncul dari suatu kelompok masyarakat, menanggapi suatu peristiwa atau kasus yang ada di sekitar mereka. Hal ini lumrah terjadi karena manusia memiliki kecenderungan untuk memberi makna atas segala sesuatu dan mengaitkannya baik dengan peristiwa, perilaku, dan lain sebagainya.
Dalam pengelompokan warna dasar pelat nomor pun, terdapat berbagai persepsi yang mengklasifikasikan pengguna dari kendaraan dengan masing-masing warna dasar pelat nomor tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan teori sosiologi desain yaitu paradigma fungsionalisme struktural dan paradigma konflik. Pemilihan kedua teori paradigma ini dianggap relevan dengan studi kasus yang dipilih.
Paradigma fungsionalisme struktural memiliki asumsi bahwa adanya teori pertukaran sosial dan teori normalisasi penyimpangan yang berkaitan. Sementara itu, paradigma konflik dipilih karena teori konflik sendiri muncul sebagai reaksi dari teori struktural fungsional.
Dalam melakukan riset ini, di antaranya adalah paradigma sosiologi serta fungsi desain komunikasi visual. Penjabaran lebih lanjut atas teori-teori tersebut adalah sebagai berikut.
Paradigma Sosiologi
Studi kasus ini menggunakan dua paradigma sosiologi, yakni paradigma fungsionalisme struktural dan paradigma konflik.
A. Paradigma Fungsionalisme Struktural
Dalam paradigma fungsionalisme struktural, masyarakat dipahami sebagai suatu sistem yang tiap unsur pembentuknya menjalankan fungsi masing-masing dan saling berintegrasi. Keseimbangan dalam masyarakat membutuhkan kerja sama yang kontinu dari tiap struktur masyarakat.
Adanya saling ketergantungan ini menjadikan masyarakat akan terganggu jika salah satu unsur tidak menjalankan fungsinya (Crisnaningrum, 2020).
Terdapat beberapa teori turunan paradigma fungsionalisme struktural yang dapat menjelaskan tentang tindakan penyalahgunaan kendaraan berpelat merah, yakni sebagai pada perincian berikut.
Teori Pertukaran Sosial
Teori ini dapat menjelaskan motivasi tindakan koruptif pengguna kendaraan berpelat merah. Menurut teori pertukaran sosial George Homans, tindakan manusia diasumsikan sebagai pertukaran nilai baik material dan nonmaterial. Pertukaran ini bersifat transaksional dan berdasarkan pertimbangan untung-rugi yang rasional. Manusia senantiasa merasakan keterbatasan sehingga cenderung berkompetensi untuk mendapatkan keuntungan dan memaksimalkannya (Wardani, 2016).
Teori Normalisasi Penyimpangan
Secara prinsip, paradigma fungsionalisme struktural menitikberatkan keseimbangan tatanan sistem sosial. Sebagaimana dikemukakan oleh Adibah (2017). Masyarakat cenderung mengarah kepada suatu keadaan homeostatis, dan gangguan pada salah satu bagiannya cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar tercapai harmoni dan stabilitas (Adibah, 2017).
Prinsip ini sejalan dengan suatu konsep multidisiplin terkait kompromi dalam bentuk penyesuaian, yaitu Teori Normalisasi Penyimpangan (Normalization of Deviance) yang dipopulerkan oleh Diane Vaughan. Menurut Vaughan, normalisasi penyimpangan terjadi ketika orang-orang dalam suatu kelompok menjadi kurang sensitif terhadap praktik penyimpangan hingga penyimpangan tersebut tidak terasa salah bagi mereka (Price, 2018).
B. Paradigma Konflik
Dalam KBBI V, konflik adalah percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. Konflik berasal dari kata kerja latin "configere", yang memiliki arti saling memukul. Lewis A. Coser, seorang sosiolog dari Amerika, mendefinisikan konflik sebagai perselisihan untuk memperoleh suatu hal yang diinginkan dengan cara merugikan, memojokkan, atau menghancurkan pihak lawan.
Maka dari itu, Teori Konflik Sosial dapat dipahami sebagai sekumpulan teori/paradigma yang menjelaskan mengenai peranan konflik, utamanya yang berkaitan dengan berbagai kelompok maupun kelas dalam kehidupan sosial masyarakat (Jary & Jary, 1991).
Menurut Karl Marx, konflik sosial adalah perselisihan yang terjadi dikarenakan adanya pertentangan kelas. Pertentangan ini bisa disebabkan oleh hal-hal seperti kekuasaan atau ekonomi.
Karl Marx mengaitkan teori konflik Sosial miliknya dengan struktur kelas dalam masyarakat, perbedaan kepentingan ekonomi antar kelas, adanya pengaruh kelas ekonomi terhadap gaya hidup, dan pengaruh konflik kelas terhadap perubahan struktur sosial.
Kaitan antar empat konsep ini bermuara pada persaingan untuk menguasai dan mengungguli antar satu dengan lainnya yang dengannya kemudian memicu terjadinya konflik sosial (Wirawan, 2012). Teori konflik menyatakan bahwa masyarakat tidak selalu stabil dan konflik bisa tetap ada di antara struktur tersebut. Teori konflik melihat adanya aspek otoritas, kekuasaan, koersi, serta dominasi dalam masyarakat.
Tiga Fungsi Dasar DKV
Selama beberapa abad, desain komunikasi visual berkembang dan memiliki tiga fungsi dasar, yaitu sebagai sarana identifikasi, sarana informasi dan instruksi, dan sebagai sarana presentasi dan promosi.
Desain Komunikasi Visual Sebagai Alat Identifikasi
Fungsi dasar yang pertama adalah sebagai sarana identifikasi. Identitas dapat mengungkapkan siapa seseorang atau asal- usulnya. Demikian pula dengan benda atau produk, identitas yang kuat dapat memperlihatkan kualitas dan memudahkan pengenalan, baik oleh pembuat maupun pengguna (Cenadi, 1999).Desain Komunikasi Visual Sarana Informasi dan Instruksi
Desain komunikasi visual memiliki fungsi untuk menjembatani hubungan antar elemen melalui petunjuk, arah, posisi, dan skala. Contohnya termasuk peta, diagram, simbol, dan penunjuk arah.
Informasi menjadi berguna ketika disampaikan kepada audiens yang tepat, pada waktu dan tempat yang sesuai, dalam format yang mudah dipahami, serta disajikan secara konsisten dan logis.
Simbol-simbol umum seperti rambu lalu lintas, tanda di tempat umum (misalnya toilet atau restoran), harus informatif dan mudah dipahami oleh berbagai kalangan, terlepas dari latar belakang mereka. Inilah mengapa desain komunikasi visual perlu bersifat universal (Cenadi, 1999).
Desain Komunikasi Visual Sarana Presentasi dan Promosi
Tujuan dari desain komunikasi visual sebagai sarana presentasi dan promosi adalah menyampaikan pesan, menarik perhatian secara visual, dan menciptakan kesan yang mudah diingat.
Contoh untuk ini adalah poster. Penggunaan gambar dan teks yang minimal namun bermakna dan mengesankan sangat penting. Untuk mencapai tujuan ini, elemen visual dan verbal yang digunakan harus bersifat persuasif dan menarik, karena akhirnya bertujuan untuk mempromosikan produk atau jasa (Cenadi, 1999).
Ditinjau dari data-data yang telah dipaparkan di atas, terdapat sebuah kasus yang dapat dikaitkan dengan beberapa paradigma sosial serta fungsi DKV. Penjabaran lebih lanjut mengenai keterkaitan kasus pelanggaran tersebut yakni sebagai berikut,
Contoh kasus
Penyalahgunaan Mobil Dinas oleh Anak Pejabat ke Luar Kota Tanpa Surat Izin (Harian Jogja, 2024)
Penindakan kasus pelanggaran penggunaan mobil dinas oleh anak pejabat bernama Kodi yang ditemukan pada sebuah tempat olahraga di Kawasan Sleman. Teguran sudah diberikan oleh anggota Polda DIY kepada pengendara mobil dinas tersebut, namun pengendara masih tetap melakukan pelanggaran dengan menggunakan mobil pelat merah di luar kepentingan dinas.
Fungsi DKV
1. Identifikasi :
Mobil dinas dengan pelat merah berfungsi sebagai sarana identifikasi. Secara visual, pelat merah membedakan kendaraan pemerintah dari kendaraan pribadi, menunjukkan status dan otoritas kendaraan beserta penggunanya.
2. Informasi :
Pelat merah pada mobil dinas memberikan informasi kepada masyarakat bahwa kendaraan tersebut digunakan untuk kepentingan dinas. Ini seharusnya menginstruksikan pengguna untuk menggunakannya sesuai aturan dan menginformasikan kepada masyarakat tentang fungsi resminya.
3. Promosi :
Meskipun bukan tujuan utamanya, mobil dinas dengan pelat merah juga mempresentasikan dan mempromosikan kehadiran pemerintah dalam masyarakat. Namun, penggunaan mobil dinas oleh anak pejabat ke luar kota tanpa surat izin ini justru mempromosikan citra negatif tentang pejabat yang menyalahgunakan fasilitas publik.
Paradigma Sosial dan Persepsi Masyarakat
(1) paradigma fungsionalisme struktural, terjadi normalisasi penyimpangan yang tertera pada berita di mana pengemudi berulang kali melakukan pelanggaran yang sama dan pemberian teguran minim sehingga hal ini memberi keuntungan dengan resiko kecil dari tindakan mereka
(2) paradigma konflik yakni penyalahgunaan kekuasaan dari pengemudi yang merupakan anak pejabat. terlihat pada video di mana pelanggar tetap menunjukkan sikap santai sembari menggunakan headset nya saat diberi teguran oleh pihak berwenang.
Paradigma fungsionalisme struktural terjadi dengan adanya normalisasi penyimpangan, disusul dengan rapuhnya struktur yang seharusnya terimplementasi pada masyarakat dan pemerintah.
Dalam konteks ini, di setiap kasus terjadi penyalahgunaan wewenang yang tidak mendapatkan hukum pidana sebagaimana seharusnya. Hal ini dikarenakan terjadi normalisasi penyimpangan baik pada pihak aparat dan masyarakat yang tidak dapat menyuarakan protes mereka.
Kemudian, paradigma konflik terjadi dengan adanya penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat. Plat merah sedari awal merupakan fasilitas yang disediakan untuk menunjang kepentingan pegawai negeri sipil dalam menjalankan tugasnya.
Didukung dengan adanya kasus-kasus tersebut, banyak dari pegawai negeri ini terbukti melakukan eksploitasi atas hak yang diberikan kepada mereka. Kendaraan dinas yang seharusnya digunakan untuk kepentingan negara dikorupsi atas kepentingan pribadi.
Melalui analisis kasus berdasarkan paradigma sosial serta fungsi DKV, ditemukan sejumlah faktor sosial yang dapat dianalisis sebagaimana pada perincian berikut,
Status Sosial dan Kekuasaan
Pejabat dan pegawai negeri sebagai pemilik mobil dinas dianggap memiliki status sosial tinggi. Hal tersebut dapat menimbulkan rasa kebal hukum, terutama jika tidak ada sanksi yang signifikan.
Budaya Nepotisme dan Patronase
Budaya ini memungkinkan pejabat atau keluarganya untuk tidak merasa terancam dalam menyalahgunakan fasilitas negara, sebagaimana pada kasus pertama.
Norma Sosial Permisif
Terdapat toleransi sosial yang tinggi terhadap tindakan yang seharusnya ilegal ketika pelaku memiliki kuasa.
Superioritas atas kepemilikan kendaraan berpelat merah membuat pejabat beranggapan mereka memiliki kuasa penuh atas fasilitas milik dinas untuk membantu keperluan pribadi mereka. Sedangkan masyarakat memiliki persepsi negatif terhadap pengendara pelat merah dan pemerintahan, mengetahui kendaraan yang diberi negara untuk kepentingan bersama justru diakomodasikan demi memenuhi keperluan pribadi seenaknya.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang sudah kami lakukan terhadap kasus-kasus pelanggaran norma dan hukum kendaraan pelat nomor merah, dapat ditinjau adanya persepsi yang timbul dan berperan dalam interaksi antara suatu tanda/simbol dengan masyarakat, yaitu pelat nomor merah sebagai simbol superioritas dan kekuasaan.
terjadi pergeseran fungsi informasi DKV, yakni warna dasar pelat merah yang pada awalnya dibedakan hanya untuk keperluan administrasi, tidak dapat dipisahkan dari asosiasi persepsi kedudukan pemerintahan yang memiliki relasi kuasa terhadap masyarakat. Atas dasar persepsi tersebut, terjadilah pola perilaku yang cenderung melanggar dan semena-mena dari pengemudi kendaraan berpelat nomor merah.
Pola perilaku pengemudi yang terus dibiarkan begitu saja pun kembali menguatkan persepsi adanya superioritas pada pelat nomor merah dan pemerintah yang kerap dieksploitasi. Pada akhirnya, persepsi-persepsi yang diberikan berbagai belah pihak kepada simbol ini menjadi motivasi dari beragam interaksi sosial yang terjadi pada masyarakat tersebut.
Penelitian ini disusun oleh:
Alifia Aidila Adha Handayani Wibowo, Arvitya Belva Clianta Wicaksana, Farid Ardhian Maulana, Gizka Syahlaisya, Jihan Putri Alifah, Jihan Savira Enriyati, Marsekal Aulia Putri Sulistijawan, M. Syarif Hidayatullah, Nindy Aisah Putri Dinanti, Ni Putu Pica Wulandari, Nur Izzati Rasida
Desain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI