Mohon tunggu...
Alifia Tedy
Alifia Tedy Mohon Tunggu... Lainnya - A passionate, enthusiastic, self-motivated, and hard-working person in pursuing her dreams. She has an excellent reputation on communication and leadership skills during her study time at Faculty of Social & Political Science Padjadjaran University. Apart from being known as a responsible and reliable person, she is also known as a very active and adaptable person, especially in organizations. Strongly interested in elaborating her communication skills to the public relation and marketing environment.

Political Science student at Universitas Padjadjaran Head of Public Relation at @bemfisipunpad

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mewujudkan Electoral Integrity pada Pemilu 2019, Berhasil atau Tidak?

2 November 2021   19:14 Diperbarui: 2 November 2021   20:14 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Salah satu cara atau sarana untuk memilih orang-orang yang akan mengisi jabatan politik tertentu, seperti presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai dengan kepala desa adalah dengan melaksanakan pemilu. Pemilihan umum merupakan salah satu cara bagi Indonesia untuk mencapai negara demokrasi, dimana rakyat diberikan wadah untuk dapat menyampaikan kedaulatan mereka terhadap negara dan pemerintah secara langsung. 

Terhitung dari pemilu pertama Indonesia pada 1955 sampai dengan pemilu tahun 2019, Indonesia telah melaksanakan pemilu sebanyak dua belas kali. Praktik kedua belas pemilu tersebut tentunya menunjukkan variasi pelaksanaan yang beragam, ada yang terlaksana dengan baik dan transparan, ada juga yang dalam penyelenggaraannya penuh dengan pelanggaran dan kecurangan. Dari beragam fenomena pelaksanaan pemilu tersebut, isu mengenai electoral integrity mulai banyak diperbincangkan dan menuai perhatian dari banyak pihak karena hal tersebut dianggap dapat membangun sistem demokrasi yang efektif.

Electoral integrity atau pemilu berintegritas artinya terdapat unsur penyelenggaraan yang jujur, transparan, akuntabel, cermat dan akurat dalam pelaksanaannya. Hal ini menjadi penting karena integrity menjadi salah satu standar untuk menilai terciptanya pemilu yang demokratis. Electoral Integrity dapat terwujud ketika adanya campur tangan dan tanggung jawab dari semua pihak, baik peserta pemilu, pemilih, sampai dengan penyelenggara pemilu. Tiga pihak utama yang secara konstitusional harus dijaga adalah pemilih, peserta pemilu, dan penyelenggara pemilu. Ace Project dalam KPU RI 2019 sebagai salah satu pengawas yang menjamin terlaksananya pemilu mengemukakan, terdapat empat hal yang dapat menunjang berjalannya pemilu berintegritas sebagai berikut:

  • Jujur (Fairness)

Kejujuran disini meliputi dua aspek, yakni penerapan norma-norma pemilu melalui Undang-Undang dan peraturan-peraturan secara adil dan setara.

  • Perilaku Etik (Ethical Behaviour)

Adanya etika berperilaku menjadi pedoman bagi penyelenggara agar tidak melakukan tindakan-tindakan malpraktek pemilu ataupun sebagainya.

  • Kesetaraan (Impartiality)

Pemilu dilaksanakan tanpa adanya keberpihakan penyelenggara pada suatu oknum, baik itu peserta pemilu, sengketa proses pemilu dan hasil pemilu, dan sebagainya.

  • Keterbukaan dan Tanggung Jawab (Transparency and Accountability)

Adanya transparansi dan akuntabilitas pada pengelolaan anggaran, administrasi, sampai dengan keputusan merupakan salah satu faktor pendukung pemilu yang berintegritas. Selain itu, kedua hal ini dibutuhkan guna menghindari adanya potensi malpraktik pada setiap tahapan pemilu.

  • Akurasi (Accuracy) (Ramlan Surbakti)

Menurut Ramlan Surbakti, data pemilih harus tepat dan akurat guna mencegah potensi pemilih siluman yang memanfaatkan kelemahan administrasi dan kependudukan saat ini.

Berdasarkan The Electoral Integrity Project (2014) terdapat 11 indikator sebagai dasar penilaian integritas pemilu, yakni; 1) Regulasi pemilu; 2) Prosedur pemilu; 3) Batas kampanye; 4) Pendaftar pemilih; 5) Pendaftaran partai politik; 6) Media kampanye; 7) Keuangan kampanye; 8) Proses pemungutan suara; 9) Proses penghitungan suara; 10) Pasca pemilu; dan 11) Penyelenggara pemilu (Anugrah, 2017).

Dengan adanya Electoral Integrity dapat memberikan domino effect, yakni dampak baik yang luas bagi berbagai bidang. Selain itu juga meningkatkan kepercayaan masyarakat karena dalam negara demokratis, kepercayaan merupakan pondasi yang paling utama. Hal ini perlu untuk diperhatikan agar dapat memenuhi cita-cita negara demokratis di Indonesia, yakni dengan melaksanakan pemilu yang Luber Jurdil. 

Seperti yang tercantum pada UU No. 7 1953 mengenai enam asas pemilu, yakni jujur, kebersamaan, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Sayangnya, terwujudnya asas Luber Jurdil guna mewujudkan Electoral Integrity sulit terwujud dikarenakan masih adanya masalah di pemilu, yakni masih adanya isu politik uang, terjadinya konflik horizontal, pemutakhiran data pemilih, dan masih banyak lagi. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa Electoral Integrity dapat terwujud, dengan cara memperbaiki sistem pemilu, manajemen pemilu, dan penegakan hukum pemilu.

Menilik dari Pemilu 2019 yang dilaksanakan serentak di Indonesia, pemerintah berusaha untuk mewujudkan Electoral Integrity yang tergambar dalam UU Pemilu pasal 2 mengenai asas-asas pemilu berintegritas. Namun sayangnya, Pemilu 2019 di Indonesia belum dapat memenuhi seluruh kelima syarat pendukung Electoral Integrity, yakni ethical behavior, fairness, impartially, transparency, dan accountability. Maka dari itu, penulis akan mencoba menganalisis syarat-syarat apa saja yang sekiranya sudah baik atau perlu diperbaiki, sehingga dapat diterapkan pada Pemilu 2024 mendatang guna mewujudkan Electoral Integrity pada pemilu berikutnya.

  • Ethical Behavior

Etika berpolitik negara Indonesia yang tercantum dalam Pancasila, UUD 1945, dan TAP MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa harus menjadi acuan dalam menyelenggarakan pemilu. Dengan mengedepankan etika, maka pemilu yang diselenggarakan akan lebih berkualitas, tidak hanya sebagai ritual demokrasi, namun menjadi lebih substansial dan berintegritas. Di Indonesia, terdapat lembaga yang memiliki peran dan fungsi khusus untuk mengawal dan menegakkan nilai-nilai etika politik dan kepemiluan, yakni DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu).

Pada pemilu 2019 silam, DKPP berhasil mempertahankan tradisi akuntabilitas dan transparansinya dengan melaksanakan laporan kinerja pada Sabtu, 14 Desember 2019 sebagai bentuk nyata DKPP dalam mengawal integritas penyelenggaraan pemilu. Selain itu, selama tahun 2019, DKPP telah memberikan sanksi kepada penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu beserta anggotanya dengan memberhentikan secara tetap kepada sebanyak 43 orang, rehabilitasi 648 orang, peringatan/ teguran 387 orang, pemberhentian sementara 3 orang, pemberhentian dari jabatan ketua 12 orang, dan ketetapan sebanyak 30. Sehingga dapat dikatakan bahwa sejauh ini, peran dan fungsi DKPP masih berjalan dengan baik, dan diharapkan dapat dipertahankan atau bahkan ditingkatkan.

  • Fairness

Keadilan pada Pemilu 2019 dinilai belum dapat tercapai, baik bagi peserta, pemilih, dan penyelenggara. Tidak adanya ketidakadilan bagi pemilih dikarenakan masih banyaknya surat suara yang tidak sah karena sistem yang diberlakukan dirasa terlalu rumit. Para penyelenggara juga diberikan beban kerja yang bertumpuk, bahkan sampai mengakibatkan adanya kasus kematian. Sementara bagi peserta, pasangan kandidat presiden pada pilpres yang hanya menghasilkan dua pasangan dirasa tidak adil.

Berdasarkan buku Evaluasi Pemilu Serentak 2019, terdapat tiga masalah manajemen yang perlu diperbaiki, yakni digabungnya Pemilu DPR dan DPRD Provinsi serta Kabupaten/ Kota sehingga memecah fokus kepentingan nasional dan lokal, luas daerah pemilihan yang terlalu besar sehingga membingungkan peserta pemilu, terakhir ditetapkannya batas pencalonan Presiden berdasarkan kursi atau suara pemilu sebelumnya. Maka dari itu, dapat dikatakan masih adanya ketidakadilan yang terjadi pada pemilu 2019, sehingga dibutuhkan sistem dan manajemen pemilu yang baik di pemilu berikutnya.

  • Impartially

Terdapat berita tidak mengenakkan pada Pemilu 2019, yakni terdapat kasus ketidaknetralan para aparat keamanan. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Peraturan Bawaslu padahal sudah tercantum aturan netralitas aparat kepolisian yang apabila dilanggar dikhawatirkan dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan kepercayaan publik terhadap pemilu. Dari kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa masih adanya ketidaknetralan aparat-aparat yang seharusnya bersikap netral dan tidak memihak. Maka dari itu, Bawaslu harus meningkatkan dan menjalankan fungsi serta perannya agar hal ini tidak terjadi pada pemilu berikutnya, misalnya dengan melakukan pemeriksaan secara ketat, memberikan sanksi secara tegas, dan sebagainya.

  • Transparency

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai sudah transparan dalam melaksanakan proses rekapitulasi Pemilu 2019. Dikarenakan dalam penghitungannya, tidak hanya disaksikan oleh saksi partai atau kandidat Pilpres saja tetapi juga disaksikan oleh tokoh masyarakat, agama, dan Muspida. Selain itu, KPU juga berani membuka data hasil pemilu secara terang-terangan. Pada Pemilu 2019 juga menghasilkan angka partisipasi masyarakat yang baik, yakni sebanyak 81,97 persen untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, 81, 69 persen untuk Pemilu Anggota DPR, serta 82, 52 persen untuk Pemilu Anggota DPD. Sehingga dapat dikatakan bahwa Pemilu 2019 cukup transparan dalam pelaksanaannya, namun masih banyak juga berita simpang siur yang mengatakan sebaliknya. Dalam hal ini, pada pemilu berikutnya diharapkan dapat meningkatkan transparansi, sehingga tidak ada lagi berita simpang siur mengenai transparansi.

  • Accountability

Kelemahan penyelenggaraan Pemilu 2019 salah satunya mengenai pengawasan dan akuntabilitas dana kampanye. Dalam UU Pemilu saat ini, peluang peserta pemilu mendapatkan dana kampanye dari publik semakin besar, namun aturan akuntabilitasnya malah semakin longgar. UU Pemilu terbaru yang aturannya semakin longgar dapat menjadi pintu masuk politik uang. Maka dari itu, diperlukan perubahan terhadap peraturan tersebut, sehingga tidak menyebabkan adanya kekhawatiran rakyat.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemilu di Indonesia telah berhasil memenuhi beberapa syarat namun belum dapat dikatakan mendekati sempurna, masih perlu adanya peningkatan dari keberhasilan yang telah dicapai. Karena, apabila kita melihat dari Pemilu serentak 2019 silam, pemilu tersebut merupakan salah satu pemilu di sejarah Indonesia yang banyak menimbulkan kasus, seperti adanya kampanye hitam yang dimana melanggar etika dalam berpolitik (kampanye), masih terjadinya politik uang, adanya kasus kotak suara yang dibawa kabur (di Sampang), pembongkaran kotak suara sebelum waktu pencoblosan, dan sebagainya. Dari kasus-kasus tersebut, dapat kita simpulkan bahwa pemilu di Indonesia masih membutuhkan perbaikan guna mewujudkan Pemilu Berintegrasi atau Electoral Integrity.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun