Mungkin kita masih ingat tentang pernyataan Mendikbud Nadiem Makarim beliau menyatakan bahwa Gelar tidak menjamin kompetensi.
Pernyataan di atas mungkin ada benarnya. Karena tidak jarang kita temukan seseorang dengan gelar yang melekat padanya akan tetapi dia tidak memiliki kompetensi sesuai dengan bidang gelar yang diperolehnya.
Akan tetapi sebaliknya dia memiliki kompetensi di luar bidang gelar yang dimilikinya melalui kerja kerasnya secara otodidak.
Saat ini mungkin kita sering menemukan banyak orang yang memiliki kompetensi tapi ia kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan sesuai kompetensinya.
Bahkan tidak jarang ada beberapa perusahaan yang diduga membuka lowongan kerja hanya sebagai simbolis. Karena sebenarnya beberapa oknum manajemen mungkin sudah menyiapkan orang yang akan menempati posisi lowongan kerja yang disebarkan.
Saya teringat salah satu sopir yang menjemput saya ketika ada acara di salah satu perusahaan. Dia menceritakan tentang kesalnya terhadap pihak manajemen yang membuka lowongan pekerjaan.Â
Dia mencoba memasukan anaknya untuk ikut seleksi tapi ternyata penerimaan dan seleksi hanyalah simbolis untuk memenuhi prosedur perusahaan.
Setelah diketahui ternyata oknum manajemen yang menangani sudah menyiapkan keluarganya untuk menduduki posisi lowongan kerja yang dibuka.
Saat ini kita memasuki era dimana pertimbangan kompetensi dinomor duakan ketika proses seleksi toh nanti pada akhirnya akan bisa dengan sendirinya setelah mengikuti training.
Walaupun masih banyak perusahaan yang idealis dan menjadikan persyaratan dan kompetensi sebagai pertimbangan utama.
Tetapi tidak sedikit beberapa oknum perusahaan yang menjadikan campur tangan dan buah tangan menjadi prioritas utama setelah kompetensi.Â
Campur tangan oknum manajemen perusahaan menjadi salah satu yang akan dengan mudah meloloskan calon karyawan baru.
Atau buah tangan yang diberikan calon karyawan kepada oknum. Semakin besar pemberian, semakin besar peluang untuk diterima.
Atau sang oknum manajemen sudah menyiapkan berapa biaya yang harus dikeluarkan agar dia bisa diterima di perusahaan tersebut.
Tidak jarang dua hal di atas kita temukan di lapangan. Karena kebutuhan para pencari kerja rela membayar agar dia bisa diterima di perusahaan dimana dia akan ditempatkan.
Walaupun kalo dipikir-pikir mungkin bayaran yang diberikan sama saja dengan beberapa bulan gajinya tidak dibayarkan.
Fenomena campur tangan dan buah tangan seolah menjadi budaya yang terus berkembang dari masa kemasa.
Pada akhirnya tidak lagi peduli dia memiliki kompetensi di bidangnya atau tidak yang penting dia mau bayar semuanya bisa dibicarakan.
Atau siapa yang bawa semakin tinggi jabatan yang bawa semakin besar peluang dia akan diterima untuk bekerja.
Bahkan tidak jarang ada beberapa oknum pengurus LSM yang menjadikan rekruitmen tenaga kerja menjadi sampingan yang menggiurkan.
Mencari tambahan penghasilan dengan memasukan seseorang dengan kekuatan dan daya dobrak yang dimiliki LSM menjadi modal dasar untuk bisa mendorong calon karyawan.
Entahlah....masyarakat kecil bingung harus mengadu ke siapa. Apalagi mereka yang tidak punya relasi sebagai campur tangan untuk mendorong agar bisa diterima.
Atau sebaliknya ketika relasi ada tapi buah tangan tidak ada. Itupun sama saja.
Entahlah.....Semoga tulisan singkat ini menjadi pencerahan bagi mereka yang terlibat dalam setiap proses dimanapun mereka berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H