Katakan pada padang ilalang yang gersang bahwa musim akan berubah. Angin berhembus lirih menerbangkan dedaunan kering yang berserahkan pada ranah kerontang. Mendung sedang bersahabat dengan burung walet. Gemuruh guntur bersambut mengguncang gumpalan awan untuk menumpahkan hujan. Mungkin saja banjir akan melanda atau berbagai jenis bencana akan menimpa. Atau mungkin juga musim itu mencurahkan anugerah sehingga menyuburkan lahan tandus sekalipun. Iyah…., musim akan berubah. Kering kerontang berkepanjangan akan berlalu. Tapi, tidak dengan perih yang aku alami. Tidak dengan luka basah berlumuran nanah yang sepanjang kemaraupun tak kunjung kering. Luka teramat sangat pedih yang menjalar ke seluruh tubuh. Melemahkan gurat -gurat nadi. Merampok seluruh keperkasaan. Luka yang larut dalam musim yang tak ia kenali. Entah sudah berapa kemarau yang berubah. Berapa musim semi yang berlalu. Ia tak tahu. Sejak awal hingga kini luka itu masih merasakan sakit yang sama. Tak kunjung berubah dan bahkan semakin membusuk.
Hingga kini aku masih terkurung dalam pekatnya waktu. Tak mengenal siang,malam, bulan,bintang, fajar dan sejenis apa yang semua orang katakan indah tentang alam. Aku tak pernah tahu tentang apapun kecuali tahu bahwa aku sedang mengidap kedilemaan karena rasa yang sulit aku mengerti. Penyakit rasa yang tidak bisa terdiagnosa oleh dokter apapun namanya. Penyakit itu yang kumaksud luka.
Aku tidak sedang membuatmu merasa iba kemudian mencari tahu apa penyebab penyakit yang aku idap. Aku pun tak hendak membuatmu meneteskan air mata akan keadaanku. Ini tidak memilukan. Ini tidak memprihatinkan. Penyakit yang menyerupai luka ini merupakan tikaman belati kisah kita.
Aku bahkan tidak mengingatnya kapan pertama kali engkau hadir dalam hidupku dan kapan akhirnya kita berpisah. Sebab, yang kurasa engkau adalah milikku kini, nanti, esok hingga usai kematianku. Aku hanya mengingat satu hal dalam deretan kisah yang kita bangun. Bahwa kehadiranmu dalam hidupku diawali dengan lantunan lagu kehilangan. Kau masih ingatkan? Aku sangat yakin bahwa memang sekanario Ilahilah yang mempertemukan aku denganmu. Karena memang tak ada satu sisi kehidupan pun didunia ini yang luput dari sunatullah. Namun, karena aku terlalu larut dalam buaian kisah yang menjanjikan indah, membuatku lupa entah kapan awal dari akhirnya kita mulai dan menutup lembaran cerita.
Ketika itu, kita tidak saling mengenal antara satu sama lain. Untuk menjalin cintapun tak ada niat. Kaupun merasakan hal yang sama. Memang bukan niatku mencari kekasih bergabung dalam Komunitas lokal itu. Sebuah komunitas yang banyak menyita perhatian kaum muda didaerah Bima kala itu. Komunitas yang berperan dalam membina generasi muda. Entalah dengan dirimu. Namun, kala itu tujuan kita aku mengganggapnya sama. Kita sama-sama di dorong oleh rasa ingin tahu tentang banyak hal.
Berawal dari mengikuti beragam pelatihan dalam prosesing penerimaan anggota baru di komunitas BABUJU, rotasi tujuan mulai bias dari tujuan awal. Diam-diam aku menaruh rasa padamu. Prosesing yang selama sebulan penuh diadakan itu, kita kerap kali bertemu dan saling beradu argument meski kau jarang bicara. Perawakanmu yang murah senyum dan pendiam membangkitkan gairah semangatku. Menumbuhkan kuncup rasa dalam diriku. Aku jatuh cinta padamu.
Ketika aku mengungkapkan rasa itu padamu, kau sempat menghela dengan sejuta alasan. Namun, tak menyurutkan semangatku untuk terus menggodamu. Meyakinkanmu agar menerima cintaku. Meski hanya berbicara melalui telpon genggam, ungkapan itu cukup berkesan. Engkau bahkan sama sekali menolaknya dengan alasan ragu karena pengalaman penghianatan cinta yang kerap engkau alami. Kau menjelaskan padaku hingga menyita ibaku. Akupun sempat berfikir tidak akan mampu menguasai rasamu serta merangkulmu menjadi kekasihku. Setelah banyak bercerita, akupun hendak pamit mengakhiri pembicaraan kita dimana kau belum memberikan jawaban. Nada lirih sempat terdengar darimu saat aku hendak memutuskan pembicaraan.
“Ntar dulu…, aku belum selesai bicara…” katamu.
Tanpa berfikir panjang dan mendengarkanmu, akupun memutuskan komunikasi. Ada sedikit penyesalan karena tak bisa meluluhkan rasamu. Namun, entah mengapa aku tetap yakin akan memilikimu. Pilihanku mengakhiri pembicaraan sesungguhnya untuk mencuri perhatianmu berharap ada sedikit rasa kurang sedap dan tak tega darimu membiarkan pembicaraan berlalu tanpa ada jawaban yang pasti.
Benar seperti yang kuduga. Beberapa saat usai aku memutuskan pembicaraan melalui telpon genggam, kaupun kembali menghubungiku. Kau kembali mengawali pembicaraan dengan menanyakan alasan mengapa aku mematikan handphone. Mendengar pembicaraanmu yang mulai mengiba, akupun memanfaatkannya untuk terus menyita perasaanmu. Nada mengalah dan meminta maaf karena telah mengusikmu pun aku gunakan untuk melunakkan rasamu. Akhirnya berhasil. Rasamu mampu aku kuasai. Ada sejenis getaran yang kurasa bahwa aku akan mampu menaklukkan perasaanmu. Akupun berulangkali meminta maaf dan meminta untuk mengakhiri saja pembicaraan kita untuk kesekian kalinya. Namun, kau bersih keras untuk tetap bicara denganku. Terakhir kau katakana bahwa engkau merasa kehilangan. “Entalah” ungkapmu. Kau belum memberikan jawaban atas rasa yang aku ungkapkan. Namun, kini kau merasa kehilangan. Dari sinilah hubungan kita berawal tepat disaat lagu kehilangan tengah populer. Kau ingat lagu itu kan? Lagu yang dilantunkan oleh salah satu artis ternama di negeri ini, Firman. Lagu yang banyak menyita perhatian hampir seantero Nusa Ntara.
Hingga saat ini aku belum bisa menerjemahkan arti hadirmu di hidupku. Banyak warnah yang telah kau ukir pada serat kehidupan ini. Seandainya kita sempat berfikir lebih dalam tentang arti pertemuan yang kita awali dengan kata kehilangan kala itu, mungkin kita akan menghentikan derap langkah untuk meretas lebih jauh hubungan ini. Hubungan yang hingga saat ini masih kurasakan hangatnya seperti awal kita jumpa.
Kasih…, aku akan bercerita pada fajar dikala ia beranjak mengitari semesta diufuk timur meski perih bahwa kisah kita tak lekang oleh masa. Tak tertimbun oleh reruntuhan langit sekalipun. Tak akan luluhlantah diterjang musibah terdasyat. Bukan aku yang memaksakan kehendak untuk terus mengharapkanmu. Akupun tak sudi menyiksa diri dengan pedihnya rekaman masa lalu. Tapi, inilah rasa yang sulit diterjemahkan oleh akal sehat.
Tak satupun insan di planet bumi ini sekalipun kaum munafik yang tak merasa sakit jika air mata kekasih yang sering ia teteskan diusap oleh orang lain. Itulah yang kini sedang kualami. Tertimbun oleh kejamnya perlakuan yang tak pernah menganggapmu disaat engkau hanya milikku begitu menyiksa. Kisah itu menyerupai luka yang kian membusuk dan melelehkan nanah yang sangat menjijikkan. Sungguh tak enak dipandang dan menggerogoti tenggorokan setiap orang yang melihatnya. Itulah aku kini sayang…! Yang tak tahu diri dan terus mengharapkanmu bisa lepas dari eratnya pelukan orang lain yang kini telah menjadi nakhodah bahtera yang sesungguhnya milik kita.
Kau lihat sendiri corak warna tak beraturan pada lapisan kehidupan yang selama ini kau ukir. Masih seperti semula dan bahkan lebih bercorak kini dibandingkan saat awal kau torehkan. Apa yang tidak pernah kita alami dalam hidup ini? Tawa, tangisan, frustasi dan sejenis gejolak jiwa lainnya yang mungkin saja insan lain tak pernah mengalaminya. Semua itu menguras keperkasaanku. Meluluhkan hasrat dan mematikan rasa dalam hatiku.
Alam telah membisu dan mungkin sudah mengutuk saat aku mengadu tentang semua yang kini kurasakan. Tak ada jawaban dari perihnya luka ini. Lelah sudah aku melangkah untuk sepotong jawaban penyejuk jiwa. Tak ada lagi kedamain. Lemah, lesuh dan kaku. Tak ada isnpirasi dan cahaya sekalipun suara agung dari serat suci.Ku hanya bisa memeluk lutut menyanggah jiwa yang meronta ingin lari dari kenyataan ini.
Kasih….! Aku tahu kisah ini tidak akan abadi meski kupahat pada langit, pada mutiara dan pada permata. Sebab semuanya akan musnah saat masa berhenti berotasi. Demikian juga pada kertas lusuh ini. Namun, agar engkau tahu. Semua tentang kita tersimpan rapi bersama jiwa dan akan kupapah untuk dipertanggung jawabkan usai bumi ini berganti dengan bumi yang lainnya. Yah….! Kumasih disini. Menantimu jika semestinya Tuhan mengirimmu kembali. Aku akan terkapar melepas penat bersamamu di suatu masa. Dimana cerita tentang musim yang telah berubah bisa kupahami darimu. Jika tidak sekarang, setidaknya usai kematianku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H