Alifa Cikal Yuanita
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
Perkosaan dalam Rumah Tangga itu Nyata
Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah signifikan yang tidak akan pernah sepenuhnya teratasi, karena perempuan sering kali menjadi target kekerasan dan masih dianggap lemah daripada laki-laki dalam lingkungan sosial. Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi kapanpun, dimanapun dan dalam lingkungan apapun, bahlan di dalam rumah dengan keluarga mereka sendiri. Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada istri dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan secara psikologis, kekerasan seksual maupun pembunuhan. Perkosaan dalam rumah tangga (marital rape) adalah salah satu contoh kekerasan seksual yang terjadi di dalam rumah tangga, seperti kasus yang terjadi di Padang Lawas, Sumatera Utara dimana seorang suami tega merobek kemaluan istrinya sepanjang 10cm disebabkan istrinya menolak ajakan suaminya untuk melakukan hubungan suami istri.
Pria bernama Muksin Nasution (36) berasal dari Kecamatan Lubuk Barumun, Padang Lawas, Sumatera Utara diamankan polisi karena melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kepada istrinya dengan tega merobek kemaluan istrinya NP sepanjang 10cm. Perbuatan itu terjadi pada 26 April 2023 lantaran pelaku kesal karena istrinya menolak ajakan bercinta, sebab pelaku kerap menganiaya korban saat bercinta. Penolakan itu membuat suami istri itu cekcok, hingga akhirnya pelaku merobek kemaluan istrinya menggunakan tangan. Akibat peristiwa itu, korban dilarikan ke rumah sakit dan mendapatkan lima jahitan. Sebelum tertangkap, pelaku sempat melarikan diri setelah melakukan aksi sadis kepada istrinya. Polisi meringkus pelaku Selasa 23 Mei lalu saat bersembunyi di Dusun Aek Tobang, Kecamatan Sungai Kanan, Kabupaten Labuhanbatu Selatan
Marital rape termasuk ke dalam Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), berdasarkan CATAHU Komnas Perempuan tahun 2021, kekerasan terhadap istri mencapai 3.221 poin atau 50% dari seluruh tuntutan di ranah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dalam artikel “Feminist Consciousness To Prevent Marital Rape Victimization of Women During the Covid-19 Pandemic”, kekerasan terhadap istri meliputi empat bentuk, yaitu ekonomi, fisik, psikis dan seksual. Kekerasan seksual bermacam-macam jenisnya, salah satunya pemerkosaan dalam pernikahan yang jarang mendapat perhatian dan luput dari pemberitaan. Khusus marital rape sendiri, pada 2020 berjumlah 57 kasus dimana jumlah kasus ini menurun dibandingkan 2019 yang berjumlah 100 kasus dan 2018 berjumlah 192 kasus marital rape. Kendati demikian, Komnas Perempuan menyatakan bahwa terdapat penurunan laporan kasus marital rape dan hal ini tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Terdapat angka gelap yang tidak dilaporkan dalam kasus perkosaan dalam pernikahan.
Perempuan dalam pernikahan yang menjadi korban marital rape umumnya tidak menyadari bahwa mereka adalah korban, sebab marital rape masih menjadi isu yang kurang mendapat perhatian di masyarakat. Konstruksi sosial yang menganggap suami memiliki hak untuk menguasai tubuh istri, termasuk memaksa melakukan hubungan seksual, membuat posisi istri dalam keluarga dan masyarakat menjadi lemah, sehingga tindakan pengabaian terhadap kasus marital rape menjadi hal yang umum terjadi. Karenanya, penting bagi setiap individu untuk mengetahui haknya dan berani melaporkan, sementara negara harus menjamin perlindungan bagi korban dengan menjalankan kewajibannya. Dari sisi hukum, terdapat ketidakjelasan konstruksi yuridis mengenai marital rape, yang memperparah kondisi perempuan korban perkosaan dalam pernikahan.
Pengaturan dalam Hukum Nasional dan Internasional
Pasal 2 the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) mengatur kewajiban negara untuk mengutuk segala bentuk diskriminasi dengan membentuk peraturan-peraturan yang mencantumkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan, mengandung sanksi dan melarang tindakan diskriminasi terhadap perempuan, menegakkan perlindungan hukum terhadap hak perempuan dan menjamin pengadilan nasional atau badan-badan lainnya yang kompeten dalam melindungi hak perempuan, tidak melakukan tindakan diskriminasi, membuat peraturan untuk menghapus tindakan diskriminasi, membuat peraturan dan menghapus peraturan yang mendiskriminasi perempuan, dan mencabut ketentuan pidana yang mendiskriminasi perempuan.
Pasal 5 CEDAW juga mengharuskan negara untuk membuat undang-undang yang bertujuan untuk mengubah norma-norma perilaku sosial dan budaya dalam rangka menghapus prasangka, dan praktik-praktik lain yang didasarkan pada superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan stereotip peran laki-laki dan perempuan. Negara juga diharuskan untuk memberlakukan undang-undang yang menjamin pendidikan keluarga bahwa kehamilan dan membesarkan anak merupakan tanggung jawab bersama. Indonesia terikat dengan kewajiban tersebut karena Indonesia telah meratifikasi CEDAW dengan UU No. 7 tahun 1984 pada tanggal 24 Juli 1984. Pasal 2 dan Pasal 5 CEDAW, jika dikaitkan dengan marital rape maka, negara berkewajiban untuk membentuk peraturan-peraturan dan melindungi korban.
Melihat fakta bahwa pengaturan marital rape tidak diatur di dalam KUHP, pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) pengaturan terkait marital rape juga kurang memuaskan karena menimbulkan banyak persepsi, selain itu juga masih terdapat beberapa peraturan yang mendiskriminasi dan budaya patriarki yang sangat kuat, penting untuk melihat dan memahami bagaimana implementasi ketentuan ini oleh pemerintah Indonesia dalam hal memberantas tindakan marital rape yang jelas akan berdampak pada para korban.
Hak asasi perempuan dapat ditemukan pengaturannya di tingkat internasional pada Deklarasi Universal HAM (DUHAM), ICCPR, ICESCR, dan CEDAW. Di dalam DUHAM menekankan terkait dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak tiap individu secara universal dengan kesetaraan tanpa diskriminasi. Selain pengaturan secara internasional, Hak Asasi Perempuan juga diakui dalam peraturan perundang-undangan nasional seperti di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 di Pasal, 28A sampai 28J, dan Pasal 31 yang pada intinya menentukan bahwa setiap orang (yang berarti juga perempuan) memiliki hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan perlindungan, hak atas pendidikan, dsb. Pengaturan terkait dengan perkosaan dapat dilihat di KUHP tepatnya pada Pasal 285 yang pada intinya menentukan bahwa seseorang yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.