Mohon tunggu...
Alifa Cikal Yuanita
Alifa Cikal Yuanita Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Gadjah Mada

menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Marital Rape Sebagai Pelanggaran HAM Serius: Bayangan Gelap Kekerasan Seksual Terhdap Perempuan dala

27 Februari 2023   15:34 Diperbarui: 9 Juni 2023   02:17 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: legodesk.com



Alifa Cikal Yuanita 

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada

Perkosaan dalam Rumah Tangga itu Nyata

Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah signifikan yang tidak akan pernah sepenuhnya teratasi, karena perempuan sering kali menjadi target kekerasan dan masih dianggap lemah daripada laki-laki dalam lingkungan sosial. Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi kapanpun, dimanapun dan dalam lingkungan apapun, bahlan di dalam rumah dengan keluarga mereka sendiri. Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada istri dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan secara psikologis, kekerasan seksual maupun pembunuhan. Perkosaan dalam rumah tangga (marital rape) adalah salah satu contoh kekerasan seksual yang terjadi di dalam rumah tangga, seperti kasus yang terjadi di Padang Lawas, Sumatera Utara dimana seorang suami tega merobek kemaluan istrinya sepanjang 10cm disebabkan istrinya menolak ajakan suaminya untuk melakukan hubungan suami istri.

Pria bernama Muksin Nasution (36) berasal dari Kecamatan Lubuk Barumun, Padang Lawas, Sumatera Utara diamankan polisi karena melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kepada istrinya dengan tega merobek kemaluan istrinya NP sepanjang 10cm. Perbuatan itu terjadi pada 26 April 2023 lantaran pelaku kesal karena istrinya menolak ajakan bercinta, sebab pelaku kerap menganiaya korban saat bercinta. Penolakan itu membuat suami istri itu cekcok, hingga akhirnya pelaku merobek kemaluan istrinya menggunakan tangan. Akibat peristiwa itu, korban dilarikan ke rumah sakit dan mendapatkan lima jahitan. Sebelum tertangkap, pelaku sempat melarikan diri setelah melakukan aksi sadis kepada istrinya. Polisi meringkus pelaku Selasa 23 Mei lalu saat bersembunyi di Dusun Aek Tobang, Kecamatan Sungai Kanan, Kabupaten Labuhanbatu Selatan

Marital rape termasuk ke dalam Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), berdasarkan CATAHU Komnas Perempuan tahun 2021, kekerasan terhadap istri mencapai 3.221 poin atau 50% dari seluruh tuntutan di ranah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dalam artikel “Feminist Consciousness To Prevent Marital Rape Victimization of Women During the Covid-19 Pandemic”, kekerasan terhadap istri meliputi empat bentuk, yaitu ekonomi, fisik, psikis dan seksual. Kekerasan seksual bermacam-macam jenisnya, salah satunya pemerkosaan dalam pernikahan yang jarang mendapat perhatian dan luput dari pemberitaan. Khusus marital rape sendiri, pada 2020 berjumlah 57 kasus dimana jumlah kasus ini menurun dibandingkan 2019 yang berjumlah 100 kasus dan 2018 berjumlah 192 kasus marital rape. Kendati demikian, Komnas Perempuan menyatakan bahwa terdapat penurunan laporan kasus marital rape dan hal ini tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Terdapat angka gelap yang tidak dilaporkan dalam kasus perkosaan dalam pernikahan. 

Perempuan dalam pernikahan yang menjadi korban marital rape umumnya tidak menyadari bahwa mereka adalah korban, sebab marital rape masih menjadi isu yang kurang mendapat perhatian di masyarakat. Konstruksi sosial yang menganggap suami memiliki hak untuk menguasai tubuh istri, termasuk memaksa melakukan hubungan seksual, membuat posisi istri dalam keluarga dan masyarakat menjadi lemah, sehingga tindakan pengabaian terhadap kasus marital rape menjadi hal yang umum terjadi. Karenanya, penting bagi setiap individu untuk mengetahui haknya dan berani melaporkan, sementara negara harus menjamin perlindungan bagi korban dengan menjalankan kewajibannya. Dari sisi hukum, terdapat ketidakjelasan konstruksi yuridis mengenai marital rape, yang memperparah kondisi perempuan korban perkosaan dalam pernikahan.

Pengaturan dalam Hukum Nasional dan Internasional

Pasal 2 the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) mengatur kewajiban negara untuk mengutuk segala bentuk diskriminasi dengan membentuk peraturan-peraturan yang mencantumkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan, mengandung sanksi dan melarang tindakan diskriminasi terhadap perempuan, menegakkan perlindungan hukum terhadap hak perempuan dan menjamin pengadilan nasional atau badan-badan lainnya yang kompeten dalam melindungi hak perempuan, tidak melakukan tindakan diskriminasi, membuat peraturan untuk menghapus tindakan diskriminasi, membuat peraturan dan menghapus peraturan yang mendiskriminasi perempuan, dan mencabut ketentuan pidana yang mendiskriminasi perempuan. 

Pasal 5 CEDAW juga mengharuskan negara untuk membuat undang-undang yang bertujuan untuk mengubah norma-norma perilaku sosial dan budaya dalam rangka menghapus prasangka, dan praktik-praktik lain yang didasarkan pada superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan stereotip peran laki-laki dan perempuan. Negara juga diharuskan untuk memberlakukan undang-undang yang menjamin pendidikan keluarga bahwa kehamilan dan membesarkan anak merupakan tanggung jawab bersama. Indonesia terikat dengan kewajiban tersebut karena Indonesia telah meratifikasi CEDAW dengan UU No. 7 tahun 1984 pada tanggal 24 Juli 1984. Pasal 2 dan Pasal 5 CEDAW, jika dikaitkan dengan marital rape maka, negara berkewajiban untuk membentuk peraturan-peraturan dan melindungi korban. 

Melihat fakta bahwa pengaturan marital rape tidak diatur di dalam KUHP, pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) pengaturan terkait marital rape juga kurang memuaskan karena menimbulkan banyak persepsi, selain itu juga masih terdapat beberapa peraturan yang mendiskriminasi dan budaya patriarki yang sangat kuat, penting untuk melihat dan memahami bagaimana implementasi ketentuan ini oleh pemerintah Indonesia dalam hal memberantas tindakan marital rape yang jelas akan berdampak pada para korban.

Hak asasi perempuan dapat ditemukan pengaturannya di tingkat internasional pada Deklarasi Universal HAM (DUHAM), ICCPR, ICESCR, dan CEDAW. Di dalam DUHAM menekankan terkait dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak tiap individu secara universal dengan kesetaraan tanpa diskriminasi. Selain pengaturan secara internasional, Hak Asasi Perempuan juga diakui dalam peraturan perundang-undangan nasional seperti di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 di Pasal, 28A sampai 28J, dan Pasal 31 yang pada intinya menentukan bahwa setiap orang (yang berarti juga perempuan) memiliki hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan perlindungan, hak atas pendidikan, dsb. Pengaturan terkait dengan perkosaan dapat dilihat di KUHP tepatnya pada Pasal 285 yang pada intinya menentukan bahwa seseorang yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun. 

Selain itu Pasal 286 KUHP menentukan bahwa seseorang yang bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, apabila perempuan itu sedang pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya 9 tahun. Pasal 287 dan 288 KUHP mengatur terkait dengan hukuman yang akan didapatkan seseorang apabila orang tersebut bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya yang berusia dibawah 15 tahun atau belum cukup umur untuk menikah. Dengan melihat ketentuan tersebut, KUHP tidak mengatur terkait dengan marital rape, KUHP hanya mengatur tentang perkosaan yang dilakukan terhadap perempuan yang bukan istri, sehingga istri tidak dapat melaporkan suami dengan alasan perkosaan. Jikapun ada, perkaranya akan diproses sebagai penganiyaan dan bukan perkosaan. 

Pasal 8 UU PKDRT menentukan tindakan yang termasuk dalam kekerasan seksual dalam rumah tangga yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang ada di dalam lingkup rumah tangga. Pengertian kekerasan seksual dalam ketentuan pasal ini berarti setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Tidak banyak korban yang berani melaporkan tindakan marital rape dikarenakan oleh biasanya istri yang masih bergantung kepada suami baik secara sosial maupun ekonomi, walaupun dilaporkan biasanya hal ini dianggap sebagai ranah domestik dan tidak diproses seperti kekerasan publik, masih adanya budaya patriarki yang sangat kental sehingga memunculkan persepsi bahwa istri tersebut durhaka. 

Dalam Universal Periodic Review tahun 2017, Komite Ekonomi, Sosial, dan Budaya merekomendasikan agar Indonesia menguatkan peraturan perundang-undangannya tentang kekerasan terhadap perempuan dan Komite Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan merekomendasikan agar Indonesia mengamandemen KUHP dan UU PKDRT, serta mendefinisikan marital rape. Selain itu, dalam General Recommendation No. 35 on gender-based violence against women, updating general recommendation No. 19 yang menentukan komite merekomendasikan negara pihak untuk menerapkan langkah-langkah legislatif salah satunya untuk memastikan kekerasan seksual termasuk dalam hal marital rape dimana negara direkomendasikan untuk mendefinisikan kejahatan seksual tersebut sebagai hal yang tidak didasarkan pada kesepakatan dan mempertimbangkan keadaan korban yang menghalangi kapasitas mereka untuk melaporkan kekerasan yang dialami, selain itu negara juga harus melakukan berbagai tindakan pencegahan, perlindungan, penuntutan, penghukuman, reparasi, koordinasi, pengumpulan data dan melakukan kerja sama internasional terkait dengan penghapusan kekerasan terhadap wanita. 

General Recommendation No. 21: Equality in marriage and family relations menentukan bahwa negara berkewajiban untuk menghapuskan segala diskriminasi terhadap perempuan pada aspek lingkungan pernikahan atas dasar kesetaraan pria dan wanita, dimana dijelaskan lebih lanjut bahwa suami dan istri memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab yang sama dalam rumah tangga. Berdasarkan Eighth periodic report submitted by Indonesia under article 18 of the Convention (State party’s report) yang dipublikasi 8 Januari 2020, pemerintah Indonesia melaporkan bahwa pihaknya telah menerapkan strategi khusus dan terarah untuk menangani kekerasan terhadap wanita dengan membentuk mekanisme pencegahan, meningkatkan manajemen kasus, dan meningkatkan pemberdayaan perempuan, selanjutnya mekanisme pencegahan terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga dilakukan dengan cara mengadakan kursus advokasi pranikah, melakukan kampanye anti perkawinan paksa, dan kampanye anti pernikahan dini, selain itu untuk korban pemerintah telah membentuk pusat layanan terpadu yang menyediakan mekanisme pencegahan, perlindungan, rehabilitasi, reintegrasi bagi korban kekerasan seksual, peningkatan kapasitas petugas lapangan di instansi terkait tentang penanganan dan pelaporan kekerasan terhadap perempuan, pemberian bantuan hukum dan menyediakan layanan kesehatan baik untuk korban maupun keluarganya. 

Langkah apa yang harus diambil Pemerintah untuk menekan angka Marital Rape?

  • Pemerintah dapat membantu perempuan korban marital rape agar segera terlepas dari belenggu sang suami, dengan terus mengadvokasinya seberapa kejamnya realita bahwa perkosaan dalam pernikahan itu nyata adanya dan fenomena tersebut secara sadar atau tidak ada di sekitar kita.
  • Dikarenakan marital rape belum ada pengaturannya dalam KUHP, dimana juga dalam rumusan Pasal 8 UU PKDRT yang terlalu luas dan tidak merumuskan secara jelas istilah perkosaan dalam perkawinan, maka disarankan agar istilah maupun perbuatan tersebut dirumuskan baik itu dalam KUHP maupun UU PKDRT.
  • Negara juga harus memastikan segala tindakan pencegahan sampai pada reparasi maupun rehabilitasi korban marital rape karena melihat tindakan ini terjadi di ranah domestik sehingga akan lebih sulit untuk dipantau.
  • Negara harus menjatuhkan sanksi bagi pelaku perkosaan marital rape dengan mempertimbangkan posisi korban selaku istri dari pelaku, dimana dalam hal ini seharusnya penegak hukum dapat memberikan sanksi yang sesuai terhadap pelaku.
  • Negara harus memberikan kompensasi yang layak kepada korban agar korban dari kasus-kasus marital rape mendapat keadilan, dan memastikan bahwa implementasi UU PKDRT tidak mengkriminalisasi korban, serta untuk mencegah, menuntut dan menghukum semua bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual, dan untuk mengadopsi RUU anti-kekerasan seksual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun