Mohon tunggu...
Alifatul Haniah
Alifatul Haniah Mohon Tunggu... Lainnya - Halo saya mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Indraprasta PGRI

Setiap hari aku berpikir bagaimana agar terus hidup. Tapi aku lupa bahwa hidup itu sendiri adalah berpikir. ~ Alifa ~

Selanjutnya

Tutup

Diary

Gelebah Tabah Puasa

11 Maret 2024   22:53 Diperbarui: 11 Maret 2024   23:06 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelebah Tabah Puasa

Oleh: Alifatul Haniah 

Di sebuah malam menjelang puasa, malam menjelang sahur pertama. Aku menyempatkan untuk segera tertidur agar terbangun sahur tepat waktu. Sholat dan berdoa sudah selesai, maka kini waktunya tidur. Sebelum tidur aku sengaja menyetel murotal Qur'an Surah Fath sebagai pengantar tidurku agar segera terlelap, karena jujur saja aku jarang sekali tidur di bawah jam 10 malam. Lima menit pertama, suara murotal Qur'an dari gawai melalui youtube itu berhasil membuatku tenang dan perlahan terlelap, meski tidak begitu nyenyak. Sepuluh menit kemudian aku merasa seperti setengah sadar dan hampir terlelap terbawa alam mimpi tidur yang nyenyak. Namun ada sesuatu yang membuatku seketika terhenyak, tanganku gemetar, dadaku berdebar kencang. Sesuatu seakan menyentuh tanganku, aku seperti sedang bersalaman dengan seseorang yang sangat aku rindukan, yang sangat aku inginkan, yang sangat aku dambakan kehadirannya, seseorang itu tidak lain adalah Bapakku yang sudah lama meninggal. Entah apa dan bagaimana tanganku bergetar seakan benar sedang bersalaman dengannya, rasanya persis seperti terakhir kali aku menggenggam tangannya, lemas, tak berdaya, tak lagi kuat, dan seketika aku menyadari Bapak tak lagi hidup di dunia ini. Aku menangis sejadi-jadinya, sebisa-bisanya, sesesak-seaknya, di tengah tidur yang hampir nyenyak itu aku terbangun dan segera berdoa agar Tuhan senantiasa mengampuni dosanya, menerima segala kebaikannya, dan yang paling aku mohon adalah semoga Tuhan menghapuskan segala siksa baginya, tolong jangan siksa Bapak karena dosa-dosa anaknya, beliau sudah banyak menelan derita, sakit, sedih, sepi,  dan entah apapun itu yang mungkin banyak hal tidak aku tahu dari Bapak yang sangat pendiam, yang tak pernah mau merepotkan anaknya, yang tak pernah menampakkan kesedihannya, kesusahan hatinya, segalanya adalah yang terindah yang ia persembahkan. Aku minta maaf Pak, belum bisa pulang ke rumah Bapak,  belum bisa langsung berdoa di pelataran rumah Bapak yang kini sama dengan tanah. Aku minta maaf Pak....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun