Kaesang Pangarep putra bungsu Presiden Joko Widodo, yang ingin mencalonkan diri dalam Pilkada 2024. Langkah ini sangat menarik perhatian publik karena ia masih tergolong muda dan menimbulkan debat tentang apakah usia 29 tahun cukup untuk memimpin. Di banyak negara, pengalaman dan kedewasaan sering dianggap penting dalam politik, dan banyak yang khawatir apakah Kaesang sudah siap untuk menghadapi tantangan kompleks di tingkat daerah.
Lantas apakah ini termasuk Hereditary politics atau politik turun temurun? Seperti yang terlihat dalam kasus Gibran Rakabuming pada pilpres 2024 yang lalu, memicu perdebatan tentang keadilan dan meritokrasi dalam politik Indonesia. Pencalonan Gibran menuai kontroversi karena usianya belum 40 tahun, sedangkan minimal usia capres-cawapres saat itu adalah 40 tahun. Di satu sisi, dukungan dari keluarga yang berpengaruh dapat memberikan akses dan sumber daya yang lebih besar. Namun, di sisi lain, hal ini bisa mengabaikan kemampuan individu yang tidak memiliki latar belakang politik yang sama.
Kritik terhadap politik turun temurun sering kali menyoroti potensi nepotisme dan kurangnya inovasi. Sementara pendukungnya mungkin berargumen bahwa kehadiran figur yang sudah dikenal dapat membawa stabilitas dan kesinambungan dalam pemerintahan. Dalam konteks Gibran, keberhasilannya tergantung pada kemampuannya untuk membuktikan diri sebagai pemimpin yang efektif, terlepas dari latar belakangnya. Hingga pada akhirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah resmi menetapkan pasangan 02 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang atau peraih jumlah suara terbanyak pada Pemilu Presiden 2024. Sesuai pada Pasal 4 tentang Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2024, bahwasanya penetapan pasangan presiden dan wakil presiden dapat dilakukan paling lama 3 hari setelah putusan sengketa pemilu dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam konteks yang lebih luas, langkah Kaesang mencerminkan dinamika politik Indonesia yang terus berkembang, di mana generasi muda mulai lebih terlibat dalam arena politik. Meskipun demikian, kehadirannya dalam Pilkada ini juga memunculkan pertanyaan tentang meritokrasi dalam politik. Apakah masyarakat akan melihatnya sebagai pemimpin yang memiliki visi dan kemampuan, atau sekadar sebagai anak presiden yang mengambil kesempatan?
Dengan berbagai tantangan dan isu yang ada, Kaesang perlu menunjukkan tidak hanya kemampuan politik, tetapi juga kepemimpinan yang kuat dan integritas untuk membangun dukungan publik yang solid. Kinerja dan respons terhadap isu-isu ini akan sangat mempengaruhi peluangnya dalam Pilkada mendatang.
Selain itu hal yang membuat publik panas karena banyak video Kaesang yang beredar di sosial media mengenai dirinya yang akan terjun ke dunia politik atau tidak, tapi dari semua jawaban yang dia keluarkan jawabannya tidak tapi dia tertarik pada politik pada akun YouTube Nihongo Mantappu yang diupload 19 Agustus 2022, saat dia di tanya oleh Jerome Polin. Kemudian ketika ditanya Irfan Hakim "Kok gamau jadi pejabat? Gamau ke pemerintahan?" Kaesang menjawab "Gajinya dikit" sambil tertawa pada akun YouTube deHakims Story yang di upload 15 April 2022. Dan pada akun YouTube Official NET News didalam video berdurasi 1 menit 44 detik terdapat Kaesang bilang "Emangnya masih zaman minta proyek sama orang tua yang di pemerintahan? Dasar ndeso!"
Hereditary Politics atau yang biasanya disebut politik turun-temurun, sering terjadi di Indonesia. Dapat dilihat pada masa Orde Baru, presiden kedua Republik Indonesia yaitu Soeharto telah mempraktekannya lebih nyata dengan melibatkan anaknya, yaitu Bambang Trihatmodjo & Siti Hardijanti Hastuti. Bambang Trihatmodjo ini mengisi posisi bendahara Golkar tahun 1993, sedangkan Siti Hardijanti ini dipersiapkan agar dapat mempertahankan dinasti politik Soeharto sendiri.
Kondisi politik Indonesia saat ini tak jauh beda dengan yang digambarkan oleh akademisi Harold Crouch pada tahun 1979. Harold Crouch menyebutkan, bahwa Indonesia sebenarnya telah menganut sistem yang disebut neo-patrimonialisme, sistem ini adalah sistem yang dilakukan untuk mencari keuntungan pribadi dan memudarkan mana ruang pribadi dan mana ruang publik dengan menggunakan kantor pemerintahan. Harold Crouch dalam analisanya tentang politik di Indonesia menekankan bahwa politik turun-temurun mencerminkan cara di mana kekuasaan dan posisi politik diwariskan di antara elite tertentu. Crouch mencatat beberapa aspek penting dari fenomena ini:
1.Patronase
Sistem patronase sangat kuat di Indonesia, di mana hubungan antara pemimpin dan pengikut seringkali bersifat personal dan berbasis pada dukungan timbal balik. Ini menciptakan jaringan yang memudahkan elite politik untuk mempertahankan kekuasaan.
2.Loyalitas Keluarga dan Jaringan Sosial
Keluarga dan jaringan sosial memainkan peran penting dalam menentukan siapa yang dapat mencapai posisi politik. Banyak pemimpin politik berasal dari latar belakang yang sama atau terhubung dengan elite yang sudah ada sebelumnya.
3.Mobilitas Politik
Meskipun ada ruang untuk mobilitas sosial, banyak individu yang berhasil dalam politik sering kali memiliki koneksi yang kuat dengan tokoh-tokoh politik yang sudah mapan, membuat akses ke kekuasaan menjadi lebih mudah bagi mereka yang berada dalam jaringan tersebut.
4.Tantangan Modernisasi
Crouch juga mencatat bahwa meskipun ada upaya untuk modernisasi dan reformasi dalam politik Indonesia, faktor-faktor tradisional ini tetap berpengaruh dan sering kali menghalangi perubahan yang lebih substansial.
Dengan demikian, analisis Crouch memberikan gambaran tentang bagaimana dinamika politik di Indonesia dipengaruhi oleh warisan sejarah dan hubungan sosial yang kuat, yang sering kali mempersulit perubahan politik yang lebih egaliter.
Selama 10 tahun buku karya Harold Crouch telah mengenai reformasi politik di Indonesia yaitu semenjak jatuhnya Soeharto. Reformasi ini terjadi karens didorong oleh kebutuhan untuk mengatasi suatu krisis nasional yang menjatuhkan rezim pada masa Orde Baru dan yang dibentuk situasi spesifik, konstelasi, dan kekuatan politik. Dalam konteks keluarga Jokowi Widodo, mengenai anaknya yang Gibran Rakabuming Raka maju pilpres 2024 dan Kaesang Pangarep maju pilkada 2024. Meskipun Jokowi muncul dari latar belakang yang lebih sederhana dan berhasil melalui jalur politik yang populis, keberadaan struktur politik yang ada dan dukungan dari berbagai kalangan elite tetap memainkan peran penting dalam kelangsungan karir politiknya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk memecah tradisi politik lama, elemen-elemen politik turun-temurun tetap berpengaruh dalam sistem pemerintahan.
Kita berharap semoga anak-anak muda yang ada di pemerintahan Indonesia, memang dipastikan mempunyai talenta dan semoga nepotisme hanya sebatas mimpi buruk semata bagi kita dan tidak akan pernah jadi realitas politik masa depan kita. Generasi ini diharapkan tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pelaku yang berani mempertanyakan status quo dan mendorong pemimpin untuk lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan pendidikan yang baik dan kesadaran politik, anak muda bisa mengembangkan visi yang lebih inklusif dan berorientasi pada masa depan, mengurangi ketergantungan pada pola politik lama dan menciptakan ruang untuk pemimpin baru yang lebih representatif. Semangat ini bisa menjadi fondasi untuk membangun sistem politik yang lebih adil dan demokratis, di mana semua suara didengar, terlepas dari latar belakang. Panjang umur demokrasi Indonesia, maju untuk terus bersama!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI