Mohon tunggu...
Alifaini Divanadrata
Alifaini Divanadrata Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Singaperbangsa Karawang

Mahasiswa fakultas hukum yang tertarik pada dunia hukum dan sosial terutama mengenai fenomena hukum apa saja yang terjadi di lingkungan masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konklusi Hukum terhadap Konflik Rumah Tangga

2 Januari 2023   11:09 Diperbarui: 2 Januari 2023   11:12 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan tujuan membentuk ikatan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun beberapa pendapat para ahli tentang pernikahan seperti berikut, "Marriage is socially recognized relationship between a man and a woman that provides for sexual relation, legitimized childbearing and establishing a division of labour between spouses." (Duvall & Miller, 1985) yang bilamana diartikan bahwa pernikahan sebagai hubungan antara pria dan wanita yang telah diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling melengkapi kekurangan serta mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri. (dalam Hasanah, 2012).

Pada pembahasan kali ini, penulis akan membahas dan menuangkan opini mengenai kasus KDRT dengan mengambil contoh dari kasus Valencya.

Berawal pada tanggal 11 Februari 2000 mereka menikah secara sah dan tercatat di kantor catatan sipil Kota Pontianak dan pernikahan mereka awalnya sangat harmonis walau perekonomian hanya seadanya. Lalu, mereka juga sempat menetap di Taiwan selama 5 tahun hingga dikaruniai dua orang anak dan keduanya dilahirkan di sana. Kemudian, pada tahun 2006 mereka kembali pulang ke Indonesia dan menetap di daerah Karawang dengan keadaan yang masih harmonis. Selang beberapa lama, Valencya mengamati perilaku suaminya yang sering malas-malasan, mabuk, berjudi dan merokok di rumah hingga puncaknya pada saat tahun 2019, setelah adanya percekcokan antara keduanya, suaminya memutuskan untuk keluar dari rumah dan sejak hari itu, hubungan antara suami dengan anak-anaknya mulai tidak baik.

Bahwa berdasarkan pengakuan para saksi, memang benar bahwa hubungan antara Saudari Valencya dan Saudara Chan Yung Ching tidak berjalan harmonis karena seringnya mengalami konflik selama masa pernikahan yang terkait isu perekonomian keluarga, selama konflik rumah tangga terjadi, suami Saudari Valencya melakukan kekerasan verbal dan psikis terhadap Saudari Valencya dan anak-anak mereka, dan konflik ketiga yang muncul dan perilaku intimidasi yang dilakukan oleh suami Saudari Valencya dan anak-anaknya berdampak negative pada kesehatan mental mereka, bahkan Saudari Valencya mengaku sampai mengalami kondisi stress berat yang berdampak pada munculnya insomnia, sering menangis, mood negatif sepanjang hari dan merasa tidak bahagia selama berbulan-bulan.

Berdasarkan kejadian tersebut, Saudari Valencya mengajukan perceraian terhadap suaminya, Chan Yung Ching pada tanggal 4 September 2019 ke Pengadilan Negeri Karawang 1B dan diputus pada tanggal 2 Januari 2020 dengan gugatan dikabulkan sebagian kemudian pada tanggal 12 Mei 2020 dilakukan putusan banding dengan putusan "menolak eksepsi pemohon banding"

Jika melihat dari Pasal 49 huruf a jo. Pasal 9 ayat (1) UU RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang unsur-unsurnya meliputi:

  • Setiap orang
  • Melakukan penelantaran terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya

Bahwa menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam suatu rumah tangga maka suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban hukum masing-masing dan tentunya wajib baik suami maupun istri untuk melaksanakan kewajiban hukumnya masing-masing atau saling memenuhi kewajiban hukumnya dan tidak dapat bersegi satu dalam arti suami saja yang melaksanakan kewajiban atau istri saja yang hanya dapat mendapat/menuntut hak, ataupun sebaliknya. Bahwa sesuai dengan peraturan perundang-undangan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak bisa jika hanya suami saja yang melaksanakan kewajiban sedangkan istri hanya dapat mendapat/menuntut haknya.

Seperti halnya dalam kasus ini, Saudari Valencya mengaku bahwa ia dan anak-anaknya tidak dinafkahi oleh Saudara Chan Yung Ching setelah perceraian mereka. Namun dalam eksepsi terdakwa alias Chan Yung Ching, ia membantah karena kenyataannya ia sudah memberikan uang lewat transaksi namun Saudari Valencya tidak menerimanya melainkan ia mengembalikan uang tersebut kepada terdakwa Chan Yung Ching. Selain itu, untuk kesehatan mental Valencya dan anak-anaknya yang terganggu tidak dapat membuktikan bahwa penyebab dari kesehatan mental itu disebabkan oleh perlakuan Saudara Chan Yung Ching, karena saksi ahli psikologis memberikan tanggapan bahwa Saudari Valencya mengalami depresi berat, insomnia, mood negative selama berbulan-bulan itu terjadi beberapa bulan setelah Saudari Valencya menggugat cerai suaminya alias Saudara Chan Yung Ching.

Berdasarkan uraian fakta tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa dalam perkara ini justru saksi korban alias Valencya yang tidak mau menjalankan kewajibannya sebagai istri dimana ia tidak mau lagi tinggal bersama terdakwa sebagai suaminya yang sah bahkan tidak mau lagi bersama sebagai suami-istri, maka tentunya tidak adil jika istri hanya menuntut hak nafkahnya sesuai besaran yang diinginkannya dan tidak adil pula jika hanya suami saja yang diharuskan melaksanakan kewajibannya. Maka, dengan memperhatikan Pasal 49 huruf a jo. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 14a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan yang lain Majelis Hakim memutuskan bahwa terdakwa Chan Yung Ching dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.

Maka, berdasarkan kasus tersebut penulis beropini bahwa apa yang dilakukan saudari Valencya terhadap suaminya sendiri tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan memperhatikan Pasal 49 huruf a jo Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 14a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, jika dikaitkan dengan kasus di atas bahwa saudara Chan Yung Ching tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana. Namun, alangkah baiknya sebagai pasangan suami istri yang telah terikat lahir batin dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang kekal, tidak sepatutnya melakukan perbuatan tersebut terutama istri yang hanya melakukan penuntutan atas haknya terhadap suami sahnya sendiri.

Sumber: 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun