guru honorer di Indonesia. Mereka adalah tulang punggung pendidikan di daerah-daerah terpencil, namun sering kali terjebak dalam labirin birokrasi yang menghalangi perkembangan karir mereka. Ironisnya, hambatan birokrasi ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan guru, tetapi juga secara langsung menurunkan kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa, generasi penerus bangsa.
"Mengabdi tanpa kepastian" --- ungkapan ini mungkin menggambarkan realitas yang dihadapi oleh ribuanHambatan birokrasi yang dihadapi oleh guru honorer adalah masalah kompleks yang mencakup berbagai aspek, mulai dari prosedur administrasi hingga kebijakan kesejahteraan. Secara faktual, beberapa permasalahan berikut menjadi pokok pembahasan:
Ketidakpastian Status dan Proses Pengangkatan
Data menunjukkan bahwa ribuan guru honorer telah mengabdi selama bertahun-tahun tanpa kejelasan status pekerjaan mereka. Dari keseluruhan guru yang aktif saat ini baru 1.520.354 (52,3%) guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sementara itu, 47,7% sisanya merupakan guru honorer yang terdiri dari 401.182 (Kemendikbud, tt). Proses seleksi, seperti CPNS dan PPPK, sering kali tidak hanya rumit tetapi juga terbatas kuotanya (Andina & Arifa, 2021). Ketidakpastian ini menciptakan rasa ketidakadilan dan frustrasi di kalangan guru honorer yang telah lama mengabdikan diri.
Gaji yang Tidak Memadai
Guru honorer di banyak daerah menerima gaji yang jauh di bawah upah minimum regional, bahkan terkadang hanya beberapa ratus ribu rupiah per bulan. Hal ini tidak sebanding dengan beban kerja dan tanggung jawab mereka dalam mencerdaskan generasi muda. Selain itu, minimnya tunjangan dan perlindungan sosial membuat mereka semakin rentan secara finansial (Kulsum, 2023).
Rumitnya Prosedur Administrasi
Proses administrasi, seperti pengajuan honorarium, sertifikasi, atau pelatihan, sering kali menjadi hambatan tersendiri. Guru honorer harus menghadapi prosedur yang panjang dan sering kali tidak transparan. Kondisi ini memperburuk situasi mereka yang sudah penuh tekanan.
Keterbatasan Akses pada Pengembangan Profesional
Kurangnya program pelatihan yang terjangkau dan terstruktur membuat banyak guru honorer sulit untuk meningkatkan kompetensi mereka. Dalam era pendidikan yang terus berkembang, akses pada pelatihan dan pengembangan profesional menjadi kebutuhan mendesak yang belum terpenuhi dengan baik (Sennen, 2017). Dengan berbagai hambatan ini, guru honorer sering kali merasa termarjinalkan dalam sistem pendidikan nasional. Padahal, mereka memegang peranan kunci dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, terutama di daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh guru ASN.
Kondisi yang dihadapi oleh guru honorer tentu tidak hanya berdampak pada kesejahteraan mereka secara pribadi, tetapi juga memiliki pengaruh besar terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Ketidakpastian status, gaji yang tidak memadai, prosedur administrasi yang rumit, serta keterbatasan akses pada pengembangan profesional telah menciptakan beban yang sangat berat bagi guru honorer, yang pada akhirnya memengaruhi kualitas proses belajar mengajar di sekolah.Dampak pada Kualitas Pendidikan: