Mohon tunggu...
Alif Ahmad Abicega
Alif Ahmad Abicega Mohon Tunggu... Guru - About me : ig_alifahmad

Ikhtiyar dan berdo'a

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Permasalahan Lingkungan Longsor Tambang Batu Bara di Kecamatan Sanga-Sanga Jadi Kewenangan Pemda

26 Oktober 2023   19:03 Diperbarui: 26 Oktober 2023   19:05 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilansir dari (m.bisnis.com), pada 5 Desember 2018 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa segala tindakan pengawasan terkait bencana longsor yang diduga sebagai dampak aktivitas pertambangan di Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur menjadi kewenangan pemerintah daerah. PT Adimitra Baratama Nusantara, anak perusahaan Toba Bara Group merupakan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) wilayah itu sehingga akan dilakukan investigasi yang menjadi kewenangan dinas. "Sebanyak enam rumah warga mengalami amblas di Kelurahan Jawa, Kecamatan Sanga-sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kejadian itu mengakibatkan ruas lalu lintas dari Kecamatan Sanga-Sanga menuju Kecamatan Muara Jawa pun putus total". Peristiwa ini disebut merupakan kejadian yang kedua, setelah pernah terjadi sebelumnya pada 5 November 2013. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai, penyebab kejadian tersebut ialah akibat aktivitas penambangan batu bara dari PT Adimitra Baratama Nusantara, anak perusahaan Toba Bara Group.

Hasil investigasi dan sanksi pada perusahaan dikutip dari (mongabay.co.id) Menurut Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB dihubungi Mongabay mengatakan, jarak lokasi tambang dengan pemukiman terlalu dekat. Ada aturan dan caranya agar aman. Dia menduga, longsor dipengaruhi tambang batubara di sekitarnya. Sutopo bilang, kondisi topografi permukiman datar. "Tidak ada hujan. Proses penggalian yang terus menerus mengganggu struktur lapisan tanah yang ada sehingga ambles". Pada Senin, (3/12/18), Dinas ESDM merampungkan investigasi lapangan. Hasinya, Pemerintah Kaltim melarang permanen ABN menambang batubara di Pit I West di RT09 Kelurahan Jawa, Sangasanga, Kutai Kartanegara. Hasil temuan tim di lapangan oleh Inspektur Tambang ESDM dan laporan Dinas ESDM Kaltim, longsor RT09 itu membuat badan jalan yang menghubungkan Sanga-Sanga-Muara Jawa putus, enam rumah hancur longsor. Juga 11 rumah retak-reta mk dan tak aman lagi dihuni, 41 jiwa harus mengungsi. Sanksi lain dari Pemprov Kaltim, memerintahkan ABN menanggung seluruh biaya akibat tanah longsor, memulihkan badan jalan putus sampai bisa dilewati semua jenis kendaraan bermotor, rehabilitasi dan revegetasi di rawan longsor dan di Pit I. "Seluruh keputusan Pemprov Kaltim wajib dipatuhi dan dilaksanakan manajemen ABN," kata Wahyu kepada Mongabay. Warga yang kehilangan rumah atau rumah tak aman lagi ditempati, jadi tanggungan ABN. Perusahaan, katanya, harus membangunkan rumah pengganti, atau memberi ganti rugi, termasuk santunan untuk menyewa rumah dan uang pengganti atas kehilangan tempat usaha, menanggung biaya memulihkan jaringan listrik dan air PDAM Sanga-Sanga.

Apabila dianalisis Dari Teori Marxisme, fenomena longsor akibat dari eksploitasi pertambangan batu bara di Kecamatan Sanga - sanga Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur tersebut terdapatnya konflik antar kelas yakni antara perusahaan Pt. Adimitra Baratama Nusantara, anak perusahaan Toba Bara Group dengan masyarakat kecamatan Sanga sanga Kabupaten Kutai Kartanegara. Dalam konsep Capitalisme sendiri Karl Marx membedakan kelas mejadi dua golongan yakni kelas borjuis sebagai pemilik alat produksi dan pengendali pengeluaran semetara kelas proletary sebagai objek pengeluaran dengan mejual tenaga kerja serta memiliki upah rendah (dalam Mc Lellan 1971 ; Ismail & Basir, 2012). Dalam hal tersebut juga Karl Marx  dalam Provert of Philosophy (dalam Mc Lellan 1971 ; Ismail & Basir, 2012) mejelaskan bahwa eksploitasi kelas borjuis terhadap kelas proletary melahirkan antagonisme kelas yang mejadi awal lahirnya gerakan perjuangan kelas. Dari hal tersebut, Adapun perusahaan ABM dianggap sebagai kaum borjuis karena kepemilikan modal beserta alat produksi dalam pertambangan serta masyarakat setempat sebagai kaum proletar yang diekspoitasi pekerja beserta wilayah lahan tempat tinggal.

Dalam memahami sumber daya alam ada dua pandangan umum yakni pertama adalah pandangan konservatif yang lebih menekankan pada penggunaan lahan secara hati-hati demi menjaga ketersedianya SDA dimasa depan dan yang selanjutnya adalah pandangan eksploratif atau bisa disebut Ricardian  yang menganggap SDA menjadi mesin pertumbuhan untuk menghasilkan produktifitas yang tinggi. Dikutip dari (Kalangi, K.2018), Berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk didalamnya kegiatan pertambangan, terkait factor perizinan, karena factor perizinan dapat dijadikan pegangan bagi pelaku usaha yang akan mengelola lingkungan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 27 tahun 2012 Tentang izin lingkungan. Selain itu, dalam (Ridha, 2013) Marx menjelaskan bahwa dalam mencapai keuntungan yang sebanyak-banyaknya dibutuhkan eksploitasi agar menciptakan produksi sebagai sumber keuntungan tersebut. Dari hal tersebut jika Dilihat dari segi pengelolaanya, Pt. Adimitra Baratama Nusantara sendiri  termasuk eksploratif dalam pemanfaatan SDA dan PT. ABM tersebut berusaha mencari keuntungan dari pemanfaatan tambang dengan sebesar besarnya sehingga terjadinya longsor terjadi pada kawasan daerah pertambangan di kecamatan Sanga sanga dengan tidak mempertimbangkan Analisis Dampak Lingkungan atau yang biasa disebut dengan( Amdal ).   

Dari fenomena yang terjadi, pada kenyataan kehidupan sering kali terjadi konflik antara pengusaha pertambangan dengan masyarakat adat daerah setempat hipotesis dari penyebab konflik konflik pertambangan dan masyarakat di Indonesia adalah faktor politik dan ekonomi( Ardhyanti, Emmy, 2014). Konflik penguasaan lahan ini disebabkan oleh tidak adanya pengakuan kuat hak hak masyarakat adat setempat terhadap tanah leluhur yang didiaminya, dan sumberdaya pertambangan. Konflik vertikal acapkali dipakai untuk menjelaskan konflik yang terjadi dalam interaksi antara Negara dengan rakyat. Konflik dalam hal ini terjadi secara tidak adanya keseimbangan serta kerap kali rakyat yang menjadi pihak yang sering dikalahkan. Konflik tambang dan masyarakat adalah cermin kegagalan dialog Pemda, masyarakat, dan Pengusaha mulai dari distribusi pemutusan ekstrak hingga nilai distribusi pendapatan dan pengelolaanya.

Sumber Rujukan

 https://m.bisnis.com/amp/read/20181205/44/866703/longsor-tambang-batu-bara-di-kutai-kartanegara-jadi-kewenangan-pemda (Diakses pada 27 februari 2021 pukul 20.14 WIB)

https://www.mongabay.co.id/2018/12/04/rumah-roboh-dan-jalan-longsor-di-sanga-sanga-perusahaan-batubara-kena-sanksi/ (Diakses pada 27 februari 2021 pukul 21.26 WIB)

Ismail, I. & Basir, M. Z. K. 2012. Karl Marx dan Konsep Perjuangan Kelas. International Journal of Islamic Thought.

Chandra, J. (2016). Sejarah Paradigma Penguasaan Negara terhadap Bahan Tambang Batubara dan Hubungannya dengan Perlindungan Hak-hak Ekonomi Rakyat. Nurani: Jurnal Kajian Syariah dan Masyarakat, 16(1), 1-18.

Kalangi, K. (2018). KEDUDUKAN AMDAL TENTANG EKSPLOITASI PERTAMBANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP. LEX PRIVATUM, 6(1)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun