CHAPTER 1 – Bayangan Masa Lalu
Tatap mata nanar itu seakan menyalahkanku atas segala hal yang terjadi. Tanpa suara, mata itu seakan menghukumku untuk segala kekacauan ini.
***
Mentari makin membumbung tinggi. Kilatan pedang dan anak panah bertebaran di setiap tubuh anak manusia. Kuda perang meringkik dalam kendali siap menyerang siapapun di hadapannya. Tak ada yang tersisa bahkan satu pendekar sekalipun. Siapa yang rela mati, akan mati hari itu. Semua yang melindungi, anak hancur saat itu. Tak ada yang tersisa dari kumpulan manusia tak berdosa. Kuda perang yang gagah berani hanya meringkik melihat tubuh anak manusia yang bergeletak pasrah tak ada perlawanan lagi. Peperangan belum berakhir, masih ada anak manusia yang mencoba bertahan meski sebentar saja.
Dentuman pedang beradu dengan lengkingan kuda yang saling bersahutan. Gemuruh perang terdengar di berbagai sudut. Entah apa yang terjadi, Ia tak tau. Semua terjadi begitu saja. Matahari mulai kembali ke peraduannya meninggalkan langit merah tanpa awan yang terasa memilukan. Langit merah bersimbah darah disusul ratusan burung pemakan bangkai yang menunggu santapannya.
Peperangan belum usai. Banyak darah bercucuran, banyak air mata yang berderai. Gadis cantik di dalam kereta kuda berlapis emas itu menatapnya, menatapnya dengan nanar. Matanya berbicara seolah semua ini salahnya. Ia yang harus bertanggung jawab untuk segala hal yang terjadi. Mata itu terus menatapnya menuntut penuh akan segala sakit yang Ia terima. Air matanya pilu membawanya pada perasaan sakit yang sama. Entah rasa sakit apa yang bisa sesakit ini.
Dadanya mulai sesak. Ia memegangi dadanya yang semakin sesak, seakan dihimpit batu besar. Gadis itu mengacungkan belati di tangan kanannya, menuntut pada tubuhnya untuk mengakhiri semua ini. Seiring dadanya semakin sesak melihat darah gadis itu bercucuran. Mata indah gadis itu masih menatapnya, semakin dalam seakan menghujam beribu anak panah ke arahnya.
Rasanya sesak. Sesak sekali.
“Ini salahmu! Ini salahmu! Ini salahmu...”
*ੈ✩‧₊˚༺☆༻
“Jun?”
Laki-laki itu mengedarkan pandangannya, ini perpustakaan sekolah. Kenapa Ia bisa tertidur di sini?
“Muka kamu pucat banget, kamu sakit?” tanya Dewi di hadapannya.
Laki-laki itu menggeleng sebagai jawaban. Tangannya menggenggam buku fiksi yang sedang dibacanya untuk tugas sekolah. Ia terlalu larut dalam membaca hingga terbawa dalam mimpi. Arjuna mengusap kasar wajahnya, menghela nafas lega.
“Kamu jadi pinjam buku itu?” tanya Dewi lagi.
“Iya, bagus ceritanya,”
Gadis itu mengangguk paham, kembali melanjutkan bacaannya. Mereka bertiga sedang mencari buku untuk membuat tugas Bahasa Indonesia. Dewi Sekar Arum yang sudah terbiasa hidup di dalam perpustakaan tak merasa heran dengan tingkah kedua temannya. Arjuna yang tertidur dan Gala yang entah pergi ke mana. Kedua laki-laki itu tak pernah tahan untuk duduk diam dalam waktu yang lama.
“Guys, ini yang harusnya jadi idola gue!” seru laki-laki berambut ikal yang baru saja datang. Heboh menunjukkan buku bersampul biru di tangannya,”Liat nih! Patih Gajah Mada yang paling sakti di zamannya,”
“Stt, jangan berisik.” Tegur Arjuna.
Gala menatap Arjuna dengan tatapan tak suka. Kini Ia beralih memamerkan buku kesukaannya pada Dewi. Mereka bertiga berteman sejak kecil. Dewi yang akan tersenyum dan selalu mengatakan hal-hal baik sedangkan Juna dan Gala yang akan terus bertengkar tentang hal-hal kecil. Ya begitulah mereka.
“Bagus, mau pinjem buku ini?” tanya Dewi, Gala mengangguk dengan antusias. Senang rasanya mempunyai teman selain Juna. Lihatlah, laki-laki itu kini diam entah memikirkan apa.
Sementara itu Arjuna masih menatap buku di tangannya, pikirannya masih menerawang jauh pada gadis cantik yang menatapnya penuh dendam. Rasanya sakit sekali melihat gadis itu menangis di tengah peperangan yang bergejolak. Apa yang gadis itu mau dan mengapa gadis itu menatapnya dengan tatapan yang begitu menyakitkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H