Menurut Greenpeace Asia Tenggara dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) pada artikel mongabay, meluncurkan hasil riset terbaru mengenai dampak kerugian ekonomi akibat polusi udara.
Hasil riset ini menunjukkan dampak polusi udara dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, minyak dan gas dikaitkan dengan kematian dini di seluruh dunia sebanyak 4,5 juta orang per tahun. Sementara, kerugian ekonomi dari polusi udara mencapai US$8 miliar per hari, atau 3,3% dari produk domestik bruto (PDB) dunia, atau setahun US$2,9 triliun.[12]
Dan ketika konteks pandemi covid -- 19 dengan polusi udara, dalam penelitian yang dilakukan Xiao Wu dan Rachel Nethery pada Harvard University T.H. Chan School of Public Health yang juga dikutip pada artikel di BBC, peningkatan kecil dalam materi partikulat halus, yang dikenal sebagai PM2.5, memiliki efek yang besar di AS. Peningkatan hanya 1 mikrogram per meter kubik sesuai dengan peningkatan 15% kematian akibat Covid-19.[13] Sehingga, dalam hal deforestasi dan polusi udara akibat penggunaan bahan bakar fosil juga memiliki relevansi antara covid -- 19 yang notabene salah satu penyakit dengan jenis zoonosis dengan krisis iklim yang sedang, masih, dan akan kita hadapi kedepannya.
Alhasil, sebenarnya apa yang sedang, masih, dan akan kita hadapi terkait dengan krisis iklim ini? Pada dasarnya, banyak aspek yang akan terpengaruh akibat krisis iklim ini. Dampak ini dirasakan bukan hanya dalam skala makro atau dunia, bahkan kepada skala kecil dalam kehidupan kita sehari -- hari. Hal yang jelas -- jelas akan terjadi dari krisis iklim ini adalah peningkatan suhu global yang memiliki dampak destruktif yang masif.
Perubahan suhu global antara 1850 sampai akhir dari abad ke 21 banyak simulasi yang mengatakan bahwa peningkatan suhu akan melebihi 1,5oC. Bahkan World Meteorological Organization (WMO) dalam berita dari BBC, mengatakan bahwa jika tren yang sekarang terjadi terus terjadi, maka temperatur bumi dapat meningkat sebesar 3 -- 5oC pada akhir abad ini.
Selama ini, kenaikan suhu sebesar 2oC saja sudah membawa kita ke gerbang yang berbahaya dalam konteks kenaikan suhu global. Baru -- baru ini, para ilmuwan dan pemangku kebijakan beranggapan kenaikan temperatur sebesar 1,5oC dapat dikatakan jauh lebih aman [14].Â
Bahkan, menurut rilis pers yang dilakukan oleh WMO pada tahun 2018, sebanyak 20 tahun paling panas yang terekam terjadi pada 22 tahun terakhir dengan 4 tahun terpanas dialami selama 4 tahun terakhir sampai 2018.
Selain itu, menurut laporan khusus The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terkait pemanasan global pada rilis pers WMO mengatakan bahwa selama tahun 2014 -- 2018, kenaikan suhu rata -- rata sebesar 1,04oC diatas kondisi pra industri.
Menurut Deputi Sekjen Elena Manaenkova WMO, " Ini lebih dari sekedar angka" "Setiap bagian dari tingkat pemanasan membuat perbedaan bagi kesehatan manusia dan akses ke makanan dan air bersih, kepunahan hewan dan tumbuhan, kelangsungan hidup terumbu karang dan kehidupan laut. Itu membuat perbedaan pada produktivitas ekonomi, ketahanan pangan, dan ketahanan infrastruktur dan kota kita.
Hal ini mempengaruhi kecepatan pencairan gletser dan persediaan air, serta masa depan pulau-pulau dataran rendah dan komunitas pesisir. Setiap hal ekstra adalah hal penting".[15] Sehingga, jelas -- jelas bahwa ancaman kenaikan suhu global akibat krisis iklim ini bukan hal sederhana.
Situasi dan kondisi nya begitu kompleks dan menyangkut berbagai aspek serta sektor. Lalu, dengan kondisi sekarang yang dimana kita berada ditengah pandemi covid -- 19, apa hubungannya pandemi dengan krisis iklim kedepannya? Apakah akan jauh lebih baik kondisinya atau justru kita akan menghadapi pandemi yang jauh lebih parah dari pandemi covid -19?