Di gelapnya malam, terlihat sepasang besi bening yang berseri-seri, terlena oleh rupa yang nyatanya tak menyenangkan hati.
Di kesunyian malam, tertapak pijakan kaki di tembok yang tak tersusun rapi, pertanda keterpaksaan yang menikam perih.
Tercucur sudah keringat di seluruh wajah, berharap kabar yang membawa gairah, namun rasanya hampalah sudah.
Di balik prodeo, aku terbelenggu antara peran dan kenyataan, langkahku mendekat namun terhenti sebab melarat.
Mendekat tak tergapai, menjauh tak kuasa.
Berharap dapat tergapai, apalah daya takdirku seorang SAHAYA.
Setiap lisan adalah dusta, setiap perbuatan tak lebih dari sandiwara, kebebasan hanyalah imajinasi  yang tergambar namun tak tergapai.
Seorang pemimpin berkata, lantas aku diam tak berkata-kata, seperti hewan yang mengikuti perintah tuannya.
Di telinga yang lelah, tersirat makna derita. Perjuangan yang terhenti, mencari makna setiap langkah kaki. Lelahku seakan tak ternilai, bagaimana dedaunan yang tercerai-berai.
Rasa sakit mengiris kalbu, bagaikan pisau yang menusuk empedu. Namun, aku tetap tunduk dalam tangisan yang tersedu-sedu.