Meski di kawasan perkotaan tak ada hutan, namun kita sering mencari keteduhan di lingkungan taman dengan pepohonan yang rindang. Ini membuktikan, pohon sebagai bagian dari leuweung (hutan) merupakan lawang (pintu) untuk (nga)lawung(keun) (bertemu, pertemuan atau mempertemukan) antar manusia. Lewat keteduhan pohon di tepi jalanan, kita bertemu antar kawan, kerabat, saudara atau menjalin pertemanan.
Di masyarakat Sunda, juga masyarakat Indonesia lainnya, karuhun (sebutan bagi nenek moyang pada masyarakat di tatar Parahiangan) ada falsafal leuweung, lawang,lawung. Artinya, hutan (leuweung) merupakan gerbang (lawang) untuk pertemuan (lawung).
Ngalawungkeun (mempertemukan) antara manusia dengan sang Khalik. Bisa juga antara manusia dengan manusia dan manusia dengan sasatoan (bintang) dan tanaman. Dengan kata lain, hutan dijadikan untuk sumber kehidupan.
Pemikiran karuhun sebagai kearifan lokal, jauh melebihi pemikiran kita yang dianggap modern. Leuweung bukan hanya sebagai pintu masuk untuk mempertemukan antara manusia dengan manusia, namun manusia dengan pepohonan dan binatang. Bahkan juga, dengan (roh) nenek moyang dan sang khalik.
Kenyataan ini, bisa kita lihat di area mata air yang berada di tengah hutan keberadaannya dikeramatkan. Jangankan menebang pohon, masuk wilayahnya pun terlarang atau harus meminta ijin pada kuncen atau ketua adat.
Kawasan hutan seperti ini, dapat kita lihat di perkampungan masyarakat adat. Seperti di kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya, masyarakat Cipta Gelar, Kabupaten Suabumi dan masyarakat Baduy.
Dengan terpeliharanya leuweung, maka keseimbangan alam akan terjaga. Harmoni alam akan mengalir tenang. Setenang sungai mengalirkan air dari sumbernya, tak pernah meluap di musim hujan, hingga menyebabkan musibah banjir. Tak akan ada kekeringan manakala musim kemarau.
Masyarakat tradisi sudah memahami, bahwa jika leuweung terjaga, maka kebutuhan hidup tetap terpenuhi. Binatang buruan dan buah-buahan atau biji-bijian dapat diambil dengan mudah. Tanpa harus mengganggu ekosistem, dengan berburu binatang secara berlebihan dan menebang pohon sesuai dengan kebutuhan.
Kearifan lokal seperti falsafah leuweung, lawang, lawung, sudah hampir punah. Manusia modern lebih banyak membangun hutan-hutan beton. Mengeksploitasi alam secara berlebihan. Maka bencana pun tak lagi bisa ditahan. Seperti banjir, tanah longsor, hujan disertai angin putting beliung dan butiran es merpakan isyarat rusaknya alam.
Kesadaran pentingnya keberadaan hutan, selalu digelorakan kasepuhan Solihin GP (90 th), yang lebih dikenal dengan mang Ihin, mantan Gubernur Jabar melalui jargon: leuweung ruksak, cai beak rakyat balangsak(hutan rusak, sumber air habis masyarakat akan sengsara).
Bagaimanapun sebagai sesepuh, beliau merupakan saksi bagaimana kerusakan hutan telah begitu masif. Sehingga tak lelah untuk selal menyarakan, bahwa hutan berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan. Menjaga siklus tata air yang sangat diperlukan bagi makhluk hidup.
Mengkeramatkan hutan sebagai salah satu kearifan lokal, tak bisa berangsung apabila tak ada pemangku adatnya. Keadaan ini, dapat dilihat di kawasan hutan  yang telah berisiaancang, Kabupaten Garut. Bagi masyarakat Sunda, leuweung Sancang punya kaitan erat dengan Prabu Siliwangi, sebagai karuhunnya.
Meski ada sejumlah kuncen, namun mereka lebih mengedepankan nilai komersil lueweung Sancang, ketimbang memelihara keberadaan lingkungannya. Keadaan ini terlihat dari: nyaris habisnya pepohonan dari penjarahan saat era reformasi. Ketika saya memasuki kawasan ini, lewat Sancang 12, pepohonan yang besar nyaris tak nampak lagi. Sebagian telah berubah menjadi ladang berbagai komiditas pertanian.
Pemahaman hutan, bukan hanya area berbagai tanaman dan binatang. Namun hutan juga menyimpan 10 kali konsumsi energi dunia. Kawasan hutan di Indonesia banyak menyimpan energy terbarukan. Yaitu energi listrik sebesar 28.617 mega watt.
Energi listrik dari panas bumi yang berada di hutan ini, berada di 199 titik. Yaitu 48 titik di hutan konservasi, 56 titik di hutan lindung, 50 titik di hutan produksi, 45 titik di area pegunungan lainnya.
Sementara itu, lokasi penyimpanan panas bumi untuk energi listrik berada di Batang Gadis, Kerinci, Sablat (Sumatera), Gn. Talaga Bodas, Gn. Kamojang (Garut), Gn. Halimun-Salak (Bogor) dan Gn. Rinjani (Lombok).
Bahwa masyarakat tradisional lebih arif memperlakukan hutan, disadari pemerintah sekarang ini. Presiden Jokowi telah memberikan SK Pengakuan Hutan Adat seluas 13.122,3 hektar dari 12,7 juta hektar. Bagaimana pun, masyarakat adat lebih memahami pengelolaan hutan. Keadaan ini, seiring dengan pencangan Hari Hutan Internasional (HHI) pada tanggal 21 Maret melalui resulusi PBB nomor 67/200 tahun 2012. Sedangkan di Indonesia diinisiasi sejak tahun 2014.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H