“Hiyy kitorang bersandar pada bola oto…” jerit seorang perempuan muda. Dia baru menyadari sejak tadi duduknya menyender di ban mobil. Bagi saya, yang dari Jawa, tepatnya dari tatar Parahiangan, bahasa orang Sulawesi terdengar aneh di telinga. Bukan hanya logatnya, namun juga diksinya. Ada beberapa yang baru saya terdengar.
Terlebih, sebagai jebolan dari fakultas Sastra, selalu ada ketertarikan pada bahasa di nusantara. Barangkali interaksi paling lama selama bersepeda trans Sulawesi, dari Kota Manado sampai ke Makassar, ketika memutuskan untuk menyebrang dari Gorontalo ke Ampana. Tak mengapa keberangkatannya harus menunggu satu hari. Berbeda dengan kapal feri yang mengangkut ke Kota Pagimana. Setiap hari selalu tersedia kapal, karena jaraknya yang lebih dekat.
Saat kuliah ada pelajaran semantik; tapi sayang saya kurang menyukainya. Padahal dari mata kuliah ini, kita bisa menyusuri pergeseran bunyi kata. Dengan kata lain, bahwa lewat bahasa dapat diteliti jejak penyebaran asal suku di Indonesia. Pada sejumlah bahasa di Asia Tenggara atau Indocina, banyak kesamaannya jika ditelusuri. Seperti dengan negeri Laos, Vietnam, Kamboja dan Thailand serta Pilipina.
Paling dekat saja antara bahasa Sunda tempat dimana saja tumbuh besar, tidak jauh berbeda dengan bahasa Jawa. Terutama bahasa Jawa di wilayah tengah. Meski penggunaannya yang menurut hirarki halus dan kasar sering terbalik. Seperti lema ‘dahar’ dan ‘mangan’ bagi orang Sunda dianggap bahasa kasar. Tapi konon, ini adalah suatu siasat dari penjajah untuk memecah belah.
Ketika kapal tiba, tidak segera berangkat. Beruntung masih belum banyak muatan, saya menyimpan sepeda agak leluasa. Dekat tangga dan tak jauh dari toilet. Paling lama pemuatan gula putih. Ketika saya baca label karungnya, dikeluarkan dari pabrik setempat. Dari namanya mengingatkan pada seorang yang termnasuk konglomerat. Juga petinggi dari sebuah partai di Indonesia.
Gula pasir itu akan disebarkan di kepulauan Togian, yang nanti disinggahi. Sebagian lagi ke Kota Amapana dan kota-kota lainnya. Buruh tukang angkut gula inilah yang paling menarik. Meski saya perkirakan bukan semua asli orang-orang Sulawesi, mungkin ada dari Jawa dan Sumatera juga Kalimantan, namun logat mereka sudah logat lazimnya di sini.
Paling menarik ketika kuli angkut pelabuhan ini, berlomba-lomba memamerkan kekuatannya. Satu karung gula pasir tertera seberat 50 kg. Dahsyat! Ada yang mampu mengangkut sampai empat karung! Ini luar biasa. Artinya bisa mengangkat tiga kali lebih dari bobot badannya.
Tak terkecuali seorang lelaki yang usianya lebih dari 50 tahun. Otot-ototnya yang terlatih bak seorang altet angkat besi atau binaragawan menyembunyikan ketuaannya. Jika saja menyamar dengan memakai topeng karet lelaki muda, siapapun tak akan mengira dia sudah tua. Namun saya saksikan: rata-rata kaki kuli pelabuhan seperti berbentuk huruf “O”. Barangkali akibat seringnya membawa beban berat.
Langkah-langkah mereka ketika mengangkut gula di pundaknya, terdengar seperti dentaman palu yang dipukulkan pada lantai kapal yang terbuat dari lempengan besi. Tenaga yang dikerahkan nampak pada mukanya yang berubah agak memerah, nafas yang tertahan dan ke luar dari hidung dan mulutnya, peluh yang ke luar seperti bersatu bahu membahu bersekutu menjadi sebuah kekuatan. Setiap ada yang mengangkut lebih dari rekan-rekannya, terdengar sorak-sorai terdengar riuh memberikan semangat.
Selesai pemuatan gula, barulah mobil-mobil mulai masuk. Mulai dari mobil pribadi sampai truk pengangkut muatan serta motor. Begitu pula para penumpang yang akan pergi menyebrang. Mereka memilih tempat yang tersedia. Semua tempat segera terisi. Sebagian menggelar tikar. Tidak terkecuali di atas tumpukan gula. Tentu saja, di tumpukan muatan dus air kemasan dan iddome bebas dijadikan tempat rebahan.