Sebutan “pasar kaget” adalah julukan bagi keramaian pedagang kaki lima (PKL) seminggu sekali. Ketika hari libur, terutama hari minggu. Keberadaan pasar kaget ini ibaratnya, bak jamur di musim hujan. Semakin lama semakin tumbuh subur. Pedagang dan lokasi tempat “pasar kaget” pun bertambah.
Lokasi pasar kaget adalah ruang publik. Keberadaannya memiliki peran bagi kehidupan manusia, yang dapat dilihat berbagai aspek. Di antaranya aspek sosial, ekonomi dan budaya. Menurut pakar Tata Kota Anang Sudiyanto, ruang publik adalah bentuk ruang yang digunakan manusia secara bersama-sama berupa jalan, pedestrian, taman-taman, plaza, fasilitas transportasi umum (halte) dan museum.
Barangkali adanya pasar kaget di kota-kota besar seperti di Bandung sebagai trend fenomena yang bisa dicermati bukan hanya dari segi ekonomi, tapi sosial dan budaya. Sebut saja pasar kaget di Gasibu, Tegallega, Kompleks Metro dan Samsat (Jl. Soekarno-Hatta), dan kompleks Batununggal.
Adanya pasar kaget ini, tak perlu sulit mengurut awal kebaradaanya seperti menebak teka-teki: telur dulu atau ayam dulu? PKL dulu atau keramaian orang lebih dulu. Keberadaan pasar kaget ini, awalnya adanya kegiatan orang yang asalnya ingin berolahraga atau refresing seperti jalan-jalan di hari libur.
Akan tetapi seiring dengan itu, para pedagang yang “penciumannya” dari segi bisnis sangat tajam, mereka melakukan peruntungan dengan berdagang. Keramaian seperti di Gasibu, di Kota Bandung berawal dari keberadaan orang-orang yang ingin melakukan olahraga secara rutin di Lapangan Gasibu. Selanjutnya, keramaian bertambah dengan adanya orang-orang yang sekedar menonton, muda-mudi yang pacaran, serta menikmati udara pagi di hari libur.
Celakanya, kemacetan dari arah Barat tersendat sampai ke jalan layang. Padahal sejatinya, jalan layang Pasupati tidak dirancang untuk menahan beban kendaraan yang statis. Akan tetapi untuk pelintasan kendaraan agar lebih cepat sampai.
Meski hanya terjadi temporer pada saat hari minggu, akan tetapi dikhawatirkan akan berpengaruh pada konstruksi bentangan tali baja yang menyambungkan antara lempengan beton jalan.
Seperti pepatah “ada gula ada semut”, maka ada kerumunan orang ada pedagang yang berjualan. Magnet kerumunan orang sebagai ajang untuk berjualan, bukan hanya pada lokasi ruang publik yang dijadikan sarana olah raga, namun juga pada tempat-tempat ibadah.
Sebut saja keberadaan PKL yang paling marak setiap hari Jum’at, yaitu di taman Alun-alun atau Masjid Agung Bandung. Begitu pula di masjid Islamic Centre yang berada di Jl. Surapati. Demikian pula, pada saat Car Free Day (CFD) di dua lokasi, yaitu Jl. Ir. Juanda (Dago) dan Jl. Buah Batu, kini mulai dimasuki oleh para PKL yang tidak notabene hanya berjualan minuman dan makanan, juga sudah merambah pada busana dan keperluan lainnya.
Semakin lama, pasar kaget yang awalnya terlokaisir di suatu tempat, kemudian meluber bukan saja memenuhi trotoar tapi menyita bagian badan jalan. Akibat yang paling dirasakan terjadinya kemacetan jalan. Di Kota Bandung pasar kaget di kawasan Gasibu dianggap bukan sebagai “pionir” atau “pelopor”, tapi keberadaannya seperti menularkan pasar-pasar kaget di Kota Bandung lainnya. Bahkan penularan adanya pasar kaget bukan hanya di wilayah Kota Bandung, tapi juga di pinggiran kota Bandung.
Dulu, ada pasar kaget di Metro Jl. Soekarno-Hatta, Kota Bandung. Awalnya warga kompleks atau sekitarnya yang memanfaatkan ruang terbuka di Komplek Metro Bandung sebagai tempat olahraga di hari Minggu. Kegiatan ini, tercium hidung bisnis PKL, sehingga pada bukan hanya memenuhi tempat parkir di depan pertokoan, juga meluber ke trotoar bahkan badan jalan. Namun mengakibatkan kemacetan, warga kompleks menolaknya dengan keras.