Mohon tunggu...
Alief El_Ichwan
Alief El_Ichwan Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis

mantan wartawanI Penulis LepasI Menulis artikel-cerpen-puisi-perjalan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menjelajahi Trans Celebes dengan Sepeda (3)

31 Maret 2017   08:38 Diperbarui: 1 April 2017   11:00 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
jalan yang menanjak dan sepi seringkali dijumpai ketika bersepeda trans Sulawesi

“Hati-hati kalau memasuki Poso,” sebuah sms masuk ke hp jadul saya. Kekhawatiran dari adik saya yang di Jakarta. Namun dari informasi keadaannya sudah aman. Terlebih saya tak akan memasuki kota Poso, karena 3 km sebelum masuk ke kota yang sering diberitakan banyak kerusuhan itu, saya berbelok memasuki ke arah Tentena menuju Danau Poso.

Awalnya saya agak kecewa setiba di Tentena. Kok, danau Poso hanya sebegini? Di pinggir danau penuh warung. Padahal saya ingin berkemah lagi seperti di Danau Tondano. Rasanya tak ada bagian yang indah di danau ini. Selain ada sebuah perahu yang tertambat, juga ada keramba-keramba untuk ternak ikan. Hanya paling menarik ada jembatan yang terbuat dari kayu yang diberi atap. Jembatan ini, merupakan jembatan lama yang kini jadi ciri khas Kota Tentena.

Padahal untuk mencapai kota ini, butuh perjuangan yang melelahkan. Tanjakan mulai dari Kecamatan Pandiri dengan rute jalan mengikuti lekuk pegunungan. Paling mengesalkan, ketika jalan terasa menurun tapi masih tetap digowes, hingga saya memeriksa kedua roda ban sepeda. Seperti ban terjepit rem. Ternyata ketika menengok ke belakang jalan memang menanjak.

jalan yang menanjak dan sepi seringkali dijumpai ketika bersepeda trans Sulawesi
jalan yang menanjak dan sepi seringkali dijumpai ketika bersepeda trans Sulawesi
Selain itu, tak ada warung makanan yang non-ikan. Hanya ada warung yang jualan telur rebus. Beruntung ketika membeli air minum di tempat lain, pemilik warung memberikan secara gratis dua buah pisang yang tergeletak di meja.

Menuju ke Tentena, berarti saya mulai memasuki jantung pulau Celebes. Suasana rimba makin terasa. Lembah yang dalam dipenuhi pepohonan yang tinggi menjulang. Terdengar suara gemuruh air dari arah bawah ditingkahi suara burung entah jenis apa.

Tiba di Tentena menjelang jam 5 sore. Kali ini, saya tak memilih istirahat di masjid, namun sebuah Guest House sederhana bertarip Rp 50 ribu. Meski di sini, ada masjid cukup besar. Letaknya tak sepelemparan batu dengan sebuah gereja. Namun saya ingin benar-benar istirahat. Tanpa berbincang setelah salat Isya, yang terkadang sampai larut malam.

Duh, ketika mengambil uang lewat ATM, di sebuah bank  ternyata tak ke luar. Padahal perbekalan sudah menipis. Gawatnya, kalau mau mengurus error ini, menunggu dua hari sampai Senin. Saya putuskan besok, tetap melanjutkan perjalanan menyusuri danau Poso.

dscn0824-min-jpg-58ddae066ea83473048b4568.jpg
dscn0824-min-jpg-58ddae066ea83473048b4568.jpg
Awalnya saya mengira: Danau Poso mengalami penyusutan. Ternyata dugaan saya keliru, danau Poso begitu luas. Bagian danau di Kota Tentena hanyalah seperti ekornya. Sekiranya saja kemarin melanjutkan gowes lagi, saya akan menemukan tempat kemping seperti di Danau Tondano.

Namun, saya menjumpai hal yang tak terduga. Ada perkampungan masyarakat Bali yang bertransmigrasi sejak tahun 1978. Salah satunya Gusti Ngurah Gurem, yang berasal dari Tabanan Bali. Ia dan anak gadisnya sedang mempersiapkan sebuah upacara di sawah miliknya.

dua orang transmigrasi asal Bali menggarap sawah dekat danau Poso
dua orang transmigrasi asal Bali menggarap sawah dekat danau Poso
Para transmigran dari Bali ini, merupakan transmigran yang ulet bekerja. Sawah, kebun kakao atau coklat serta cengkeh menjadikan mereka makmur. Namun segala adat-istiadat asalnya tak luntur. Bangunan pura nampak di setiap rumah mereka. Juga klangenan mereka terhadap ayam dengan kurungannya khas Balinya. Disini, saya seperti menemukan sepotong ranah Bali di pulau Sulawesi. Sayangnya, saya tak mengabadikan semuanya, karena kartu kamera telah penuh.

Sebuah Pure di Pinggir danau Poso
Sebuah Pure di Pinggir danau Poso
Duh, ada yang saya lupa! Persediaan air di bidon hanya tinggal sedikit ketika terus menyusuri jalan di pinggir Danau Poso. Pada perkampungan terakhir di desa Tapia tak ada satu warung pun yang buka. Lebih celakanya, saya mengira: menyusuri danau Poso sudah berakhir disini. Ketika saya tunjukan peta pada seorang warga, saya masih berada pada bagian pertengahan jalan di pinggir danau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun