Mohon tunggu...
Alief El_Ichwan
Alief El_Ichwan Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis

mantan wartawanI Penulis LepasI Menulis artikel-cerpen-puisi-perjalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hati-hati Mengangkut Sapi karena Mereka Bukan Benda Mati

9 Maret 2017   11:02 Diperbarui: 9 Maret 2017   22:01 2264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ya, gimana lagi ketimbang sapi yang rubuh terinjak sapi yang lain,” kata Said, yang saat menjalankan tugasnya dia harus punya nyali . Selain itu, harus selalu terjaga sepanjang perjalanan pulang.

Keadaan inilah yang sering menghambat perjalanan pengiriman sapi. Membangunkan sapi yang “ngedeprek” kelelahan, bukanlah perkara gampang. Agaknya sapi adalah hewan yang paling kuat berdiri. Betapa tidak? Ketika mulai sapi-sapi diperdagangkan di pasar hewan, dia tak boleh “duduk” atau “ngedeprek”. Hingga jika ada sapi yang mengambil posisi seperti itu, maka tak ayal pemiliknya akan menendang, menginjak dan menarik ekornya atau mencambuknya berkali-kali, supaya sapi tetap berdiri.

Pengalaman Encep saat memaksa berdiri sapi yang rubuh, bukan sekali dua kali terkena sepakan kaki sapi lainnya yang merasa terusik. “Bisa-bisa sampai biru bekasnya,” ujarnya.

Namun, tugas sebagai pengawal sapi ini, yang harus berada di bak truk tak dimengerti petugas polisi. Sehinga apabila ada petugas Polantas, dia harus bersembunyi. Jika tak begitu, maka terkena tilang. “Alasan polisi, kenapa ada sapi berkaki dua di bak truk?” kata Encep, sambil tersenyum.

Selama dalam perjalanan, mau tak mau, ada beberapa pengeluaran ongkos tak terduga. Selain, ada restribusi resmi seperti untuk “Surat Pengantar Pengiriman Ternak” di dua pos Pengawasan Ternak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sedangkan di jembatan-jembatan timbang di masuki, truk pengangkut sapi seperti “numpang lewat”. Saat ditimbang, truk dan muatannya sekitar 7000 kg lebih, tak perlu membayar.

Namun ada pula pungutan lain. Kisarannya seribu atau dua ribu perak, maka Kang Daman selalu menyediakan uang receh di dashboard .

Namun adakalanya jika sedang “apes”, saat perjalanan pulang pernah dihentikan petugas patroli. Hingga mau tak mau, dia harus mengeluarkan uang “mel” tanpa mengerti apa kesalahannya. “Ya, habis gimana lagi?” kata kang Daman, pasrah.

Mungkin inilah yang disebut “ekonomi biaya tinggi”. Keadaan ini, bukan lagi rahasia umum. Aliran barang dari satu daerah ke daerah lain, sering terhambat dan terganggu serta terbebani biaya “tak terduga”. Semestinya, rencana PT. KAI (Kereta Api Indonesia) yang akan membuat kereta api pengangkut sapi, harus segara diwujudkan. Bagaimanapun, arus pengiriman sapi dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur ke Jawa Barat atau daerah lainnya cukup deras. Sehingga memerlukan transportasi yang memadai. Jika saja ada kereta api khusus pengangkut sapi, maka pengangkutannya akan aman, cepat dan lancar, juga murah. Hingga sampai ke tujuan tanpa hambatan apapun yang berarti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun