Pengantar: mengunjungi gua Reregan di Kabupaten Pangandaran ini,pada akhir Maret 2014, dilakukan setelah bersepeda ke sungai Citumang bersama kang Rizki Sutriadi, yang telah mendahului berpulang kehadiratNya pada tanggal 14 Januari lalu. Dan, saya persembahkan tulisan ini sebagai kenangan dan kiprahnya dalam bersepeda jarak jauh.
Jika telah ke Citumang, jangan lupa kunjungi gua Regregan. Dari sanalah, mata air yang mengalir ke sungai Citumang, yang biasa digunakan untuk rafting. Rencana ini, sangat mendadak. Setelah cukup puas menikmati lokasi Citumang, kang Rizki mendengar dari pengunjung lain lokasi wisata gua itu. Namun, kami tak mengetahui tepatnya lokasi ini. “Katanya 15 kilometer dari sini, urang nanaroskeun wae (nantiah kita menanyakan saja),” kata kang Rizki.
Hanya berbekal perkiraan, kami gowes ke luar Citumang menyusuri jalan yang berada di pinggir parit irigasi. Setelah itu, melewati jalan akses masuk rumah penduduk. Setiap ada persimpangan, kami menanyakan arah gua Reregan. Eh, ternyata kami mengambil jalan melingkar ke arah akses masuk ke Citumang. Setelah dirasakan ke arah yang benar, gowesan terus dilanjutkan dengan santai. Jalan yang dilalui, melewati hamparan sawah dan kebun kelapa. Meski hanya ada satu jalan namun tetap menanyakan arah lokasi yang dituju.
Ada yang menjawab tidak mengetahuinya. “Duh, kirang terangnya,” kata seorang perempuan setengah baya yang sedang menyapu halaman. Rupanya masyarakat setempat pun, belum banyak mengetahui lokasi keberadaan gua ini.
Lain lagi jawaban seorang lelaki tua, “Bade naon ka ditu? Tempatna ge hara-haraeun (Ada maksud apa ke sana? Lokasinya pun, sangat susah dituju). Mendengar jawaban ini ada perasaan ciut. Kami saling berpandangan. Jawaban ini, serupa ketika beristirahat untuk sarapan. “Urang cobian we (kita coba saja),” kata kang Rizki, membesarkan nyali.
Keinginan kami, tidak sia-sia. Ketika melihat plang nama Goa Regregan, Goa Panggung, Goa Peteng, Goa Panjang, Goa Parat, Goa Citalun. Sedangkan di seberang jalan, terdapat rumah panggung dan warung. Ternyata disinilah lokasi pengelola gua ini. Kami tak bisa membawa sepeda ke arah lokasi goa. Selain pada sepeda membawa beban, juga jalan berupa jalan setapak yang telah diperlebar. Serta kondisi menanjak serta menuruni bukit.
Menuju ke gua-gua itu, kami diantar dua orang guide, Ade dan Rohman (20 tahun).Sebelum memasuki gua, kami melakukan ritual berdoa. Memohon kelancaran dan keselamatan. Saat mulai melangkah, saya mencari-cari arah gua diantara pepohonan yang berada pada lekukan bukit.
Sejenak kami terpaku pada ruang gua yang besar. Tonjolan batu stalaktit dari langit gua sepintas mirip taring-taring makhluk raksasa. Mulutnya menganga terlihat gelap. Namun inilah sebuah mahakarya alam yang telah dibentuk beribu tahun lamanya. Saya bukanlah pencinta alam yang pernah bertualang di gua-gua. Sehingga ketika menyusuri lebih dalam, suasananya seperti ke luar masuk ke labirin tanpa ujung. Terkadang keadaan gua begitu gelap. Inilah yang dinamakan Goa Peteng, yang berarti hitam atau gelap. Untungnya, kami dan kedua guidemembawa senter.
“Di dieu goa-goana lengkep, bade kanggo nu amatir atawa propesional nu tos biasa lebet ka goa, mung kedah nganggo alatna(Di sini, lengkap berbagai macam tipe goa, dari untuk penikmat gua yang masih amatir sampai profesional dengan menggunakan peralatan)” kata Rohmat, sambil menunjukkan sebuah lubang gua. Namun hampir seluruhnya digenangi air. Sehingga untk memasukinya, selain harus ada alat bantu menyelam juga penerang.
Sempat juga memasuki gua yang sempit dengan air yang mengalir. Sehingga untuk memasukinya harus berjalan merunduk. Terlihat tonjolan batuan di lantai gua, yang dinamakan stalagmit. Begitu juga stalagtit di langit-langit gua.