Senja hampir tiba di Pantai Karapyak. Pantai ini bukan di wilayah Jawa tengah, tapi di wilayah timur Jawa Barat, tepatnya di Desa Bagolo, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Pangandaran. Pantai ini, masih cukup perawan dikunjungi wisatawan. Padahal, pemandangannya begitu elok meski tak memiliki bentangan pantai pasir seperti di Pantai Pangandaran.
Ketika senja, terlihat semburat langit warna jingga. Nun dari kejauhan, terlihat Rasman (53) lelaki paruh baya melangkah jauh dari bibir pantai yang berkarang tanpa alas kaki dan tanpa ragu. Air laut belum surut benar hingga dari kejauhan dia seperti berjalan di atas air. Sedangkan ombak Laut Selatan berdebur keras dibatas pantai yang berkarang.
Ketika ombak itu membentur karang, terlihat cipratan air laut membuih membumbung ke atas. Suara deburan ombaknya pun menggetarkan nyali bagi orang yang tak bisa hidup di kawasan laut. Ternyata tak mudah berjalan di pantai berkarang. Harus tahu bagaian mana yang harus dipijak. Rumput yang tumbuh kadang menyamarkan bagian cekungan di hamparan karang. Salah melangkah, kaki akan terperosok pada cerukan karang.
Ketika didekati, Rasman tengah berjongkok. Rupanya dia memunguti sesuatu. Kadang mencongkelnya dengan alat mirip obeng. “Nuju milari kamikil kanggo eupan lobster (sedang mencari kamikil untuk umpan lobster),” ujarnya, sambil mata dan tangannya fokus pada apa yang dicarinya. Nampak ada beberapa binatang yang bergerigi mirip kulit rambutan yang masih putik.
Umpan yang dinamakan kamikil itu dia susun berjajar pada tali di tengah pintur, yaitu alat penangkap lobster. Bentuknya bundar sekitar 50 – 60 cm terbuat dari kawat. Sedangkan tengahnya diberi jaring. Sementara itu, kemikil sebagai umpan dilekatkan berjajar memanjang pada bagian tengahnya.
Menurutnya, setiap hari sekitar pukul lima sore dia menebar perangkap di batas karang. Jika diukur dari pantai jauhnya sekitar 300 meter. “Pintur ini nantinya diikatkan pada karang yang tobong (bolong),” lanjutnya masih dalam bahasa Sunda.
Rasman akan kembali ke tempat menebar perangkap lobster itu pada pukul 5 subuh. Ketika laut sedang surut seperti keadaan setiap senja. Dikatakannya, pada saat musim seperti bulan Januari ini, biasanya cukup banyak mendapatkan hasil tangkapan.
Ada 18 buah pintur atau perangkap lobster yang dia miliki. “Nya, kadang kenging kadang nyamos teu aya pisan, mun nuju sae mah kadang dugikeun ka aya tiluna lobster na pintur (ya, terkadang berhasil menangkap lobster, tapi terkadang kosong, jika sedang beruntung bisa mendapatkan sampai tiga ekor lobster),” katanya.
Hasil dari tangkapan ini, lumayan untuk menghidupi dua anak dan istrinya. Penghasilan lain warga asli Pantai Karapyak ini, juga nyambi sebagai petugas Linmas (Pelindung Masyarakat) yang dulu disebut Hansip.
“Pami nu alit mah, pangaos sakilona saratus rebu, pami nu ageung nu bobotna dua ons kauhur rada lumayan pangaosna dugi ka opat ratus rebu (harga lobster yang kecil dihargai seratus ribu rupiah per kilogram, sedangkan yang besar dengan bobot dua ons ke atas dihargai empat ratus ribu),” tuturnya.
Bagi Rasman, mendapatkan lobster yang kecil pun dia sudah bersyukur. Meski ada larangan dari Menteri Kelautan dan Pelayaran Susi Pudjiastuti yang melarang penangkapan lobster yang masih kecil.