Menelisik keberadaan candi Kidal di desa Kidal, Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang, akhirnya pada kesimpulan : bahwa keberadannya dilupakan hingga tak dikenal. Sikap serupa terhadap keadiluhungan budaya kita. Sekarang, bahkan dibenturkan untuk dihancurkan. Ini berarti, menghancurkan NKRI, karena keberadaan candi Kidal, tak lepas dari perjalanan sejarah republic ini.
Matahari pagi baru beranjak hadir di belakang candi Kidal. Warna semburat merah masih dibias embun, berpendaran dibelakang candi. Siapapun bagai ersihir melihanya. Tak kalah menariknya ketika purnama sidi. Bulan bulat penuh hadir dibelakang candi Kidal memberikan nuansa begitu kental. Siluet beragam pepohonan, terutama rumpun bambu begitu menggetarkan kalbu.
Candi ini, dari bentuk begitu elok bak perempuan ayu. Candi Kidal bisa diibaratkan tubuh wanita yang sintal. Asosiasi pada candi Kidal sebagai perempuan, karena sering disebut candi “Ibu”. Dalam fragmen relief Garudeya, ada penggambaran membebaskan seorang ibu dari belenggu perbudakan raja ular.
Melihat relief di candi Kidal tak seperti candi Borobudur dan Prambanan. Kedua candi di Jawa Tengah itu, sudah menampilkan relief diorama dengan rangkaian cerita. Sedangkan relief candi Kidal berupa simbol.
Candi Kidal sebagai tempat pendharmaan Anusapati. Raja kedua dari kerajaan Tumapel (Singasari). Nama lain Anusapati disebutkan dalam kitab Negarakertagama sebagai Anusantha. Memerintah dari tahun 1227-1248. Nama Anusapati tak lepas dari kisah Ken Dedes dan Ken Arok. Seperti yang tersurat dalam kitab Pararaton.
Nama ‘kidal’ atau kiwa berarti kiri. Ada yang mengkaitkan dengan Anusapati sebagai anak tiri. Sejatinya dia adalah anak Tunggul Ametung raja sebelumnya. Namun dibunuh oleh Ken Arok dengan keris Mpu Gandring.
Namun kata ‘kidal’ berarti kidul (Selatan). Seperti lokasi candi ini, berada di Selatan kerajaan Singasari. Namun sebuah keniscayaan, bahwa keberadaan candi Kidal, tak terlepas dari kisah percintaan dan penghianatan. Jejaknya sampai berdarah-darah.
Arsitektur candi Kidal merupakan khas bangunan abad XXII-XXIII di Jawa Timur. Ramping dan tinggi. Dengan strukur bangunan dibagi tiga, yaitu bagian kaki, badan dan puncak. Sedangkan bangunan candi di Jawa Tengah, benuknya tambun dan gemuk.
Tinggi candi Kidal, hasil rekonstruksi diperkirakan berkisar 17 meter. Namun sekarang tinggal 12,26 meter. Dengan alas candi berukuran lebar 8,3 m dan panjang 10,8 m. Sedangkan pagar keliling, yang disebut kelir atau aling-aling. Membenuk bujur sangkar dengan panjang 24 m. Fungsinya secara magis untuk penolak kekuatan gaib yang jahat.
Konon, simbol-simbol dari rancang bagunan dan fragmen relief di Candi Kidal bahan inspirasi Bung Karno, keika dibuang ke Ende, NTT melahirkan Pancasila sebagai dasar negara kita. “Beberapa saksi hidup, banyak yang cerita: dulu Bung Karno dengan Muhammad Yamin sering ke candi Kidal,” ujar Cak Imam, yang kini berugas merawat candi Kidal.
Di Luar Jangkauan GPS
Meski hanya sekitar 23 km dari Kota Malang, namun keberadaan candi Kidal kurang dikenal. Bahkan warga Malang sekalipun, masih banyak yang belum mengunjungi. Padahal Dari Malang, jika lewat Blimbingan-Pakis-Tumpang-PulongdowoPandanajeng-Kidal. Sedangkan lewat Malang selatan, rute dapat ditempuh Tlogowaru-Sumbersuko-Randugading-Tajinan-Gunungsari-Ngintit-Kidal. Rute lainnya, Madyopuro-Kedungrejo-Kambingan-Kidal.
Sejumlah pengunjung, bahkan nyasar sampai sampai jauh. Minimnya penunjuk arah ke candi ini, mungki salah satunya. Seperti yang dialami Sugeng Surbiantoro (34) dan Ratna (30), istrinya. “Tadi ke arah Palungdowo antara Pajaran dan Wungkal di belakang candi ini. Padahal saya menggunakan GPS, yang menunjukan sudah sampai tujuan. Lho, padahal tak ada rumah hanya kebun tebu saja,” katanya.
Kejadian serupa, juga dialami peziarah dari Bali. Cak Imam, menururkan ada rombongan dari Bali yang datang dengan tiga mini bus. “Satu rombongan nyasar sampai 6 km ke arah selatan, bahkan mengontak rombongan yang telah tiba di candi Kidal, bahwa mereka telah menemukan lokasinya,” tuturnya.
Malahan rombongan mahasiswa arkeologi, lanjutnya, ketika telah tiba dilokasi, namun saat salah seorang mahasiswanya membuka GPS, malah yang terlihat dalam maps hanyalah warna hijau. Padahal secara geografis, lokasinya hamparan terbuka. Tepatnya berada di lereng timur Gunung Buring.
Agaknya, candi Kidal harus terbelenggu “tulah” atau kutukan namanya. Candi Kidal, terpinggirkan (baca: dianaktirikan). Seperi halnya Anusapati yang didharmakan di candi ini. Namun, dengan adanya kegiatan pagelaran digagas Yayasan Damaputra Raharja (DR), sebuah yayasan non-profit, melalui pagelaran kesenian seperi jaran kepang (kuda lumping), tari openg dan wayang krucil (wayang klitik) di pelaaran candi Kidal agar bisa lebih dikenal.
“Mengangkat candi Kidal lewat gelar budaya, memang ibarat menegakkan benang basah. Dari warga pemerinah maupun dari warga sendiri, tak banyak kepedulian yang diberikan,” ujar Dama (49), penggagas Yayasan DR bersama istrinya, Dita Maulina.
Melihat candi Kidal dari segi pemeliharaan, terutama kebersihan serta kerapihan terlihat selalu terjaga. Namun kerusakan fasilitas candi seperti papan informasi, plafon toilet yang lepas dan sarana saluran air rusak di luar kemampuan penjaga candi untuk memperbaikinya dengan dana sendiri.
Selain itu, adanya peternakan ayam petelur di seputar candi Kidal, juga merusak tatanan suasana keberadan sebuah cagar budaya. Bau kotoran ayam yang menahun seringkali tercium menyengat. Selain itu, juga mengundang lalat. “Sebenarnya, sudah berkali-kali dilaporkan ke Pusat (BPCB), namun sampai sekarang belum ada penanganan,” ujar Imam.
Ragam Arca dan Relief
Pada tangga masuk candi Kidal terdapat arca kepala ular, Kala Makara (kanan) yang dianggap jantan, sedangkan Kala Makari (kiri) dilambangkan sebagai perempuan, karena pada bagian telinganya terdapat anting-anting. Arca ini, melambangkan sebagai penjaga harta kekayaan dan tempat suci.
Bagian sudut candi yang menopang pelipit mistar candi, terdapat arca berupa Singa Stamba, masing-masing berwajah kera dan anjing yang ditempatkan secara bersilangan. Maknanya, sebagai sang penjaga yang kuat dan buas.
Ambang pintu utama, di atasnya terdapat hiasan ukiran kepala kala. Wajahnya menyerupai manusia raksasa. Lebih dikenal sebagai Banaspati, disebut pula Kirttimuka, yaitu melambangkan sebagai penolak bala dan penjaga tempat suci. Sedang ‘kala’ juga berarti waktu. Pada bagian kiri dan kanannya, terdapat jari dengan posisi jari tengah dan telunjuk seperti cakar. Melambangkan bahwa di dunia selalu berpasangan.
Hiasan ukiran ini, terdapat pula pada bagian sisi atas tengah candi selatan, timur dan utara. Namun bentuknya lebih kecil, sedangkan pada bagian utara ukiran ini hilang hanya tersisa bagian jarinya saja.
Fragmen relief Garudeyu, terukir di bagian sisi selatan. Menggambarkan Garuda sedang menggendong (di atas kepalanya) tiga ular sebagai anak Dewi Kadru. Melambangkan perbudakan.
Kisah awal perbudakan ini, ketika para dewa mengaduk samudra guna mencari amerta (air keabadian). Peristiwanya dikenal dengan sebutan Samudramantana. Dalam peristiwa ini, keluar pula berbagai benda pusaka diantaranya kuda putih bernama Uccaisrawa.
Dua bersaudara putri Maharesi Kasyapa, yaitu Dewi Winata dan Dewi Kadru melakukan tebakan: warna apakah kuda itu? Perjanjiannya siapa yang kalah akan menjadi budaknya. Dewi Winata menebak putih seluruhnya, sedangkan Dewi Kadru menebak warna putih, namun dengan ekor hitam.
Anak-anak Dewi Kadru, yang berupa ular mengetahui tebakan ibunya kalah, mereka melakukan tipu muslihat dengan menyemburkan bisanya akibatnya ekor kuda itu, berubah menjadi hitam. Garuda yang ingin membela ibunya, dia rela menjadi budak dengan mengasuh anak-anak Dewi Kadru. Meskipun begitu, dalam mengasuh anak-anak ular yang jumlahnya ribuan, Garuda bertindak keras dan tegas. Bagi ular yang nakal dan bandel, maka dia akan menelannya. Kata ‘garuda’ berasal dari kata gru yang berarti menelan.
Pada sisi candi bagian Timur, digambarkan Garuda sedang menggendong guci yang berisi amerta. Bagian ini, menggambarkan Garuda berhasil mengambil amerta dari kayangan. Tindakan ini, sebagai persyaratan unuk membebaskan ibunya. Sedang bagian sisi Utara, relief digambarkan Garuda berhasil membebaskan ibunya.
Pembacaan fragmen Garudeyu, dilakukan melawan arah putaran jarum jam. Yaitu dari Selatan ke Utara atau dari kanan ke kiri. Yang disebut juga secara ‘Prasawya’.
Hiasan relief di candi Kidal, dipahatkan dengan bentuk garis berupa ‘jambangan teratai. Lambang dari kesuburan atau daya hidup. Sedangkan pahatan motif medallion (lingkaran) berisi sulur teratai dan binatang berupa burung.
Sementara itu, pada dinding atas sisi Utara ada hiasan kala-parijata berupa trisula dan lidah api. Motif ini melambangkan pohon hayat atau kalpataru.
Ada arca-arca lain di candi Kidal. Letaknya di ‘anak-anak’ candi pendukung yang menempel pada badan candi utama. Pada ceruk (relung) anak candi sebelah Utara terdapat arca Durgamahisasuramardini (Dewi Parwati). Bentuk arca seorang dewi yang sedang berdiri di punggung kerbau.
Relung bagian Timur, dulu terdapat arca Ganesya (Gana=gajah, Isya=pemimpin). Arcanya berupa berkepala gajah dengan badan manusia berperut buncit. Sedang pada relung sisi Selatan, arca Siwa Guru (Siwa Mahaguru). Ada pula yang menyebut Resi Agastya. Gambarannya seorang pertapa tua dengan rambut yang disanggul. Berkumis dan jenggot panjang dan berperut gendut, serta tangannya memegang tasbih (aksamala) dan kendi amerta (kamandalu). Ada pula senjata trisula pada sandaran sisi kanannya. Namun, semua arca-arca itu, telah tak ada pada tempatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H