Gowes ke Gambung? Tawaran menggoda dari Kang Asep dan Kang Fassa dilakukan Sabtu (19/11). Perkebunan teh dan kina Gambung, Pasir Jambu-Ciwidey terletak di Kabupaten Bandung. Jaraknya memang hanya 40 km, namun dengan elevasi 1700 dpl. Jadi, gowes harus naik sekitar 1000 dpl. Apalagi rute yang akan diambil dari trip ini: Ciwastra - Banjaran - Soreang- Perk. Gambung - Hutan Gunung Tilu - Pangalengan - Pintu - Perk.Malabar - Cibolang - Talun Santosa - Perk.Kertasari - Situ Cisanti - Pacet - Ciparay - Sapan – Ciwastra.
Trip ini tak bisa dianggap canda. Apalagi, saya sudah jarang turing jauh. Gowes menjelajahi jalur itu, entah berapa tahun yang lalu. Terbayang nantinya: harus menapaki jalan makadam di perkebunan Gambung.
Benar saja! Gowes saya yang lambat panas, harus tertinggal ketika baru masuk ke Banjaran. Saya tiga kali harus berhenti sesaat. Meredakan napas dan kaki terasa keras pada bagian paha. Sehingga ketika istirahat pertama, depan SPBU arah masuk ke Gambung, Kang Asep dan Kang Fasa sudah hampir tandas minum teh manis. Mau tak mau melanjutkan kembali tanpa jeda yang cukup.
Kembali jalan menanjak harus dilalui. Beruntung sempat berswafoto dulu dua kali sebelum masuk ke tujuan. Hingga saya tak tercecer. Dan, kami bertemu rombongan reunian Jelajah Nusantara dari Kompas. Di antaranya banyak yang saya kenal, yang pesertanya cukup banyak.
Pemandangan memberikan suasana hijau dan segar. Pada bagian hamparan pohon teh di cekungan bukit, lain lagi ceritanya. Nuansa yang eksotik dari lajur jalan setapak bagi pemetik teh, membentuk alur garis-garis simentris. Terlihat seperti lukisan mosaik yang berubah saat melaju sambil bersepeda. Beberapa wisatawan domestik berswafoto. Ada pula yang menggunakannya sebagai latar untuk prewedding. Tak ketinggalan rombongan pesepeda reuni jelajah, yang pesertanya tersebar dari berbagai Nusantara, tak melewatkan momen ini.
Namun jalan mulus berakhir di batas hutan Gunung Tilu. Kawasan ini masih cukup asri. Pepohonan besar dengan sulur akar menjuntai. Nampak ada rombongan kupu-kupu biru. Terdengar suara gemuruh air sungai. Dan terdengar suara pepikikan elang. Meski jalan berbatu harus dijelajahi tanpa harus menggerutu. Beberapa kali terhindar dari slip, tapi akhirnya saya terpeleset ketika melintasi jalan dengan susunan batu yang cukup besar. Musim hujan membuat jalan makadam menjadi licin. Bahkan ada beberapa di antaranya digenangi air.
Ketika sampai di Alun-alun Kecamatan Pangalengan, ada keinginan untuk meluncur pulang. Saya seperti kali pertama lagi turing jauh. Badan pegal dan kaki kaku. Namun saya mencoba mengikuti rute yang telah disepakati setelah salat Asar.
Butuh perjuangan ekstra harus sampai ke pintu gerbang perkebunan teh Boscha. Jalan rolling turun-naik. Selanjutnya sampai ke perkebunan Talun Santosa, sebelum azan magrib. Udara dingin terasa menyergap. Jika saja dilalui pada saat terang, suasana di Perkebunan Talun Sentosa sama indahnya dengan perkebunan Gambung. Terlebih jalan sudah mulus. Dan jalan terus menurun dari mulai sebelum Situ (Danau) Cisanti sampai Ciparay. Namun kami sempat berswafoto di depan pabrik pengolahan the Talun Santosa. Lampu jalan dan pabrik yang menyala, memberikan aksentuasi pada foto yang diambil Kang Fassa.
Bersyukur meski paling akhir, saya tiba di rumah pukul 11 kurang seperempat. Itu pun dengan gangguan velk depan sobek. Sehingga hanya satu rem yang berfungsi. Namun bagaimanapun, perjalanan harus selalu bersandar pada Ilahi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H