Berikutnya, kuda lumping dinaiki pemain, maka ritme musik tetap riang namun terasa menghentak bertenaga. Gerakan-gerakan yang diperagakan menggambarkan seperti strategi berperang. Kadang terlihat pemain kuda lumping membentuk kelompok-kelompok tersendiri. Terkadang bergerak saling melindungi. Sekali-kali terdengar suara cambuk disela iringan gamelan.
“Bagian ini, sebagai gambaran bagaimana prajurit melakukan strategi berperang. Lambang senjata berupa pedang atau tombak, dulu ya, pake sodoran itu,” katanya.
Pada bagian yang dinanti penonton, yaitu kuda lumping dalam keadaan kesurupan. Dimulai masuknya pemanggu disertai para pengawal. Mereka bertindak mengamankan pemain kuda lumping yang kesurupan. Setelah melihat situasi, dia akan melecutkan cambuk ke udara. Bagi pemain yang terkena arah cambukan, maka langsung menggelepar. Gerakannya seperti liar tak terkendali. Meski begitu, ketika seluruh pemain kesurupan mereka tak saling bertabrakan. Padalah mata mereka terpejam.
Gaplokan
Selain kuda lumping sebagai alat utama kesenian ini, juga ada yang disebut “gaplokan”. Terbuat dari kayu dengan bobot antara tiga sampai lima kilogram. Bentuknya berupa wajah dengan mata merah melotot dan gigi menyeringai. Pada bagian gigi bawah dan atas inilah, gaplokan terbagi dua bagian.
Gaplokan ada yang dimainkan sambil menunggang kuda lumping, namun ada yang dibawa tersendiri. Sungguh mengerikan kelihatannya pemain yang membawa gaplokan. Bukan saja menyerang sang pawang, tapi juga ke arah penonton. Ketika antara bagian bawah dan atas beradu seperti mulut mencaplok, maka terdengar suara “plok!” cukup keras.
“Bisa juga disebut sebagai singa barong atau leak kalau di Bali. Gaplokan merupakan komandan atau panglimanya. Dulu, seringkali ada yang meninggal kena hembatgaplokan, hingga seringkali dipersulit ijin untuk mentas kuda lumping ini,” ujar Ki Haryono.
Menyoal pertunjukan kuda lumping identik dengan makan beling, menurutnya, sekarang tak dilakukan lagi. Namun diganti dengan makan kembang. Atau paling tidak mengupas kelapa hanya dengan gigi. Kecuali permintaan dari pengundangnya.
“Resikonya terlalu berat, ketika dalam keadaan trans pemain memakan beling atau silet memang tak akan terjadi apapun, tapi sesudahnya bisa saja menjadi masalah dikemudian hari,” katanya.
Saat ini, pertunjukan kuda lumping disesuaikan dengan keadaan waktu yang disediakan. Dulu, katanya, pada bagian kembangan bisa memakan waktu sampai tiga jam. Hingga pentas kuda lumping ini, bisa sampai pagi hari. Kesenian kuda lumping ini, lanjutnya, merupakan suatu pertunjukan semata. Jangan dibenturkan dengan diluar itu. “Bahwa pemain dalam keadaan kesurupan merupakan undangan pada roh leluhur,” tandasnya.
