Mohon tunggu...
Alief El_Ichwan
Alief El_Ichwan Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis

mantan wartawanI Penulis LepasI Menulis artikel-cerpen-puisi-perjalan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menakar "Untung-Rugi" Sidang (Tertutup) Ahok

7 Januari 2017   08:46 Diperbarui: 7 Januari 2017   09:06 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benarkah sidang Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) tak boleh diliput? Jika memang benar, tentunya ini melanggar pasal 4 ayat (2) dan atau ayat (3) Yaitu, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, sedangkan pasal yang mengikutinya sebagai ancamannya adalah.

 Jo Pasal 18 ayat (1) UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Yaitu, Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).

Persidangan Ahok kali ini, mulai Selasa (3/1 2017) mengambil tempat di Auditorium Kementrian Pertanian Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Namun tetap kapasitasnya terbatas. Sidang kasus dugaan penodaan agama ini, mengingatkan ketika saya meliput persidangan mahasiswa ITB pada awal tahun 1980. Dengan terdakwanya antara lain, Jumhur Hidayat, mantan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) ditangkap dan dipenjarakan rezim Orde Baru bersama Mochammad Fadjroel Rachman, Supriyanto alias Enin, Amarsyah, Arnold Purba.

Selain, pengunjung yang membludak. Terutama dari mahasiswa, juga penjagaannya cukup ketat. Namun saat itu, jauh bedanya. Media elektronik seperti televisi swasta marak seperti sekarang,  hanya ada RCTI dan TVRI yang nota bene miik pemerintah. Apalagi media online belumlah ada. Sementara itu, jangankan penggunaan gadget dengan fitur yang begitu memadai untuk beburu berita, seperti ada sistem perekam suara dan gambar. Bahkan saat itu, peliputan dengan menggunakan tape recorderpun dapat dikatakan cukup mewah.

Selain itu, kita (wartawan) diburu dead line untuk mengirimkan berita. Mengetik berita dengan mesin tik manual. Mengetik dengan computer, belumlah menjadi trend. Ditambah lagi, saya sebagai wartawan biro Jabar dari terbitan Jakarta dikejar waktu untuk menyelesaikan berita dan mengirimnya lewat faximile. Berbeda dengan sekarang, dari lokasi sumber berita dengan mudah mengirim teks dan gambar secara langsung.

Pada sidang Ahok sekarang ini, acaranya sudah memasuki pada keterangan saksi-saksi, dengan aturan dari majelis hakim bahwa pers tak dapat meliput dengan cara menyiarkan langsung, bahkan dengan cara merekam pun tak diperbolehkan. Jalannya sidang hanya boleh dicatat dan pengambilan gambar pun hanya dilakukan dengan cara digambar/disketsa seperti peliputan sidang di Amerika.

Hal ini, dapat ditakar “kerugian” ada “keuntungannya”. Kerugiannya, masyarakat tak bisa secara langsung menyaksikan dan menerima informasi kejelasan masalah persidangan tersebut. Selain itu, dihawatirkan adanya ditorsi liputan dari media cetak, elektrononik atau media sosial dari pengunjung yang hadir langsung karena keberpihakannya.

Sedangkan “keuntungan”-nya, saksi-saksi yang menunggu giliran untuk dihadapkan dapat memberikan kesaksiannya secara jernih. Aturan persidangan, bahwa saksi yang belum di panggil, tidak boleh berada di dalam ruang sidang. Asumsinya, agar dapat menghindari dari pengaruh keterangan saksi-saksi sebelumnya  yang telah dihadirkan. Atau telah melihat dari acara langsung tsb., terlebih lagi apabila acara itu “dibumbui” berbagai macam komentar dari para pakar yang dihadirkan stasiun televise.

Pada saat memulai persidangan ketua majelis hakim, biasanya mengatakan bahwa pengadilan terbuka untuk umum. maka saat itu juga setiap orang behak menghadiri sidang kasus tersebut saat itu. Apa lagi jurnalis, yang secara internasional di semua negara demokrasi dipandang sebagai "representatives of the public."

Kecuali apabila majelis hakim, menyatakan batasan yang ditetapkan hakim. Misalnya, "proses persidangan ini tidak boleh disiarkan secara langsung, maka jurnalis wajib taat perintah hakim. Pelanggaran atas perintah hakim itu, bukan saja pelanggaran kode etik jurnalistik tapi bisa dikenakan sanksi contempt of court (penghinaan terhadap pengadilan). Di samping itu, aturan ketertiban umum, misalnya tidak mengganggu jalannya sidang.

Jadi, wartawan yag hadir di ruang sidang harus menyadari keputusan atau ketentuan hakim merupakan keputusan yang mengikat sang jurnalis. Ini aturan yag banyak tidak dipahami jurnalis Indonesia dalam reporting in court. Bagaimana pun, area ruang pengadilan memiliki aturan tersendiri di bawah UU Kehakiman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun