Mohon tunggu...
Alief Sutantohadi
Alief Sutantohadi Mohon Tunggu... Dosen - DOSEN

Mendedikasikan dan berminat terhadap dunia pendidikan dan humaniora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Gunung Es Kekerasan (Seksual) di Kampus?

23 Oktober 2022   05:55 Diperbarui: 23 Oktober 2022   05:57 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

dokpri
dokpri

Sebagaimana baru-baru ini marak diberitakan di beberapa media cetak maupun elektronik, praktik kekerasan kembali terjadi di sebuah perguruan tinggi di kota Palembang pada saat masa orientasi bagi mahasiswa baru di luar kampus. 

Demikian pula pada tahun sebelumnya, terjadi pula kekerasan di sebuah perguruan tinggi ternama di kota Surakarta pada saat orientasi anggota baru unit kegiatan Resimen Mahasiswa. Boleh jadi masih banyak kasus serupa yang muncul dan tersebar di banyak perguruan tinggi lainnya yang tidak terekspos di media masa. 

Dari beberapa kasus kekerasan di kampus, nampaknya ada  kemiripan dari kasus satu dengan lainnya, yaitu waktu dan pelaku terjadinya tindak kekerasan. 

Dari waktu terjadinya, kekerasan biasa terjadi saat kegiatan orientasi bagi para mahasiswa baru. Sedangkan pelakunya, kekerasan seringkali dilakukan oleh mahasiswa  senior kepada mahasiswa baru. 

Meskipun praktik kekerasan di masa orientasi studi bagi mahasiswa baru sebenarnya bukan hal baru dan pihak kampus juga tak kurang upaya meminimalisir terjadinya hal tersebut. 

Namun nampaknya seringkali masih ada celah-celah yang luput dari pantauan otoritas kampus yang memungkinkan timbulnya tindak kekerasan di kampus maupun pada kegiatan orientasi di luar kampus.

Sejatinya bahwa potensi terjadinya kekerasan di lingkungan kampus tidak selalu dalam bentuk kekerasan fisik namun juga dalam bentuk verbal atau bahkan kekerasan seksual (*KS). 

Lebih lanjut lagi apabila kita menelusuri pemberitaan di beberapa  media online, maka sepatutna kita prihatin dengan banyaknya angka kekerasan seksual di beberapa institusi perguruan tinggi. 

Mungkin ada beberapa faktor dari dalam diri pelaku maupun kondisi lingkungan yang memungkinkan terjadinya KS di lingkungan kampus. 

Faktor dari dalam diri pelaku tentunya tidak lepas dari rentang usia para mahasiswa adalah usia yang cukup matang secara fisik/biologis namun belum tentu matang secara mental dan pemikiran. Sehingga, terkadang mahasiswa bisa melakukan tindakan yang tidak sesuai norma dan etika tanpa berfikir panjang akan akibatnya. 

Sedangkan faktor dari lingkungan, dimana  mahasiswa terkadang tinggal di rumah kost yang jauh dari pengawasan orang tua, pihak kampus dan masyarakat sekitar juga menjadi faktor yang memungkinkan terjadinya tindak KS.

Berbicara lebih jauh tentang pencegahan dan penanganan tindak kekerasan seksual, saat ini menjadi  topik hangat yang menjadi perhatian khusus pemerintah dan masyarakat. 

Demikian pula di Kementerian Pendidikan , Kubudayaan, Riset dan Teknologi juga menempatkan topik ini sebagai program prioritas. 

Sebagai bentuk perhatian dan kepedulian terhadap terjadinya tindak kekerasan seksual di perguruan tinggi maka Kemendikbudristek telah menyusun dan menetapkan Peraturan Mendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). 

Selanjutnya, sebagai amanat yang termaktub dalam Bab IV Pasal 23 Ayat (1) maka setiap institusi Perguruan Tinggi wajib membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (SATGAS PPKS) selambat-lambatnya satu tahun setelah PERMEN ini diundangkan. 

Meskipun telah lewat dari satu tahun PERMEN No. 30 Th. 2021 ditetapkan namun ternyata belum semua Perguruan Tinggi saat ini memiliki SATGAS PPKS. Perlu diketahu bahwa proses pembentukan SATGAS yang anggotanya terdiri dari unsur Pendidik, Tenaga Kependidikan dan Mahasiswa tersebut memang  melalui proses seleksi yang meliputi beberapa tahapan yang membutuhkan waktu cukup lama. 

Namun, disisi lain kita tidak menutup mata bahwa kebutuhan akan hadirnya SATGAS yang bertanggungjawab melaksanakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus ini nampaknya benar-benar mendesak dan dibutuhkan. Hal ini dapat kami rasakan dari pengalaman saat menangani kasus yang terindikasi terjadinya tindak kekerasan di kampus. 

Belum genap satu pekan menerima Surat Tugas sebagai anggota SATGAS, kami langsung turun melakukan kegiatan sosialisasi kepada para mahasiswa baru di tingkat Jurusan (Fakultas). 

Belum tuntas melaksanakan giat sosialisasi bagi mahasiswa baru, tiba-tiba SATGAS menerima dan harus menindaklanjuti laporan dari beberapa Mahasiswa tentang perbuatan kawannya yang terindikasi sebagai bentuk kekerasan seksual. Terlepas dari siap atau belum siap maka sudah menjadi tugas dan kewajiban SATGAS untuk menerima dan menindaklanjuti setiap aduan yang diterima. Maka dalam situasi ini seolah-olah bisa dikatakan sebagai Learning by Doing, yaitu SATGAS belajar sambil secara langsung menangani aduan tindak kekerasa seksual.

Dari sekelumit cerita di atas, ada beberapa pesan penting yang hendak kita sampaikan yang pertama, masyarakat kampus sangat membutuhkan saluran dan unit yang siap menerima dan menindaklanjuti aduan dari korban maupun saksi yang melihat terjadinya tindak kekerasan seksual di kampus. 

Kedua, perlunya dilaksanakan sosialisasi dan edukasi secara intensif bagi segenap warga kampus  dari unsur Pendidik, Tenaga Kependidikan dan Mahasiswa agar memahami dan memiliki komitmen untuk bersama-sama peduli dan melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. 

Ketiga, menilik dari respon beberapa mahasiswa yang dengan segera langsung mengadukan bentuk kekerasan yang mereka terima atau saksikan kepada SATGAS, maka ada indikasi bahwa hal ini ibarat puncak gunung es terjadinya tindak KS di kampus. 

Maksudnya bahwa kasus yang muncul ke permukaan dan dilaporkan besar  kemungkinan baru sebagian kecil dari kasus yang tidak terungkap dan  tersimpan rapat yang hanya diketahui pihak pelaku dan korban. Kenapa demikian ?  karena melaporkan tindak KS sesungguhnya tidaklah mudah. 

Bagi korban butuh keberanian untuk berani melapor karena informasi yang disampaikannya tentu sedikit banyak akan membuka aib yang menimpanya. Belum lagi apabila pelaku adalah pihak yang memiliki kuasa, tentu perlu kehati-hatian dalam penanganan agar laporan tidak berbalik kepada korban. Terlepas dari adanya kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, kahadiran SATGAS PPKS diharapkan mampu menciptakan kampus sebagai lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan terbebas dari tindak kekerasan Seksual.

* Alief Sutantohadi, Ketua SATGAS PPKS Politeknik Negeri Madiun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun