Industri perfilman di negeri kita Indonesia sempat mengalami kondisi naik-turun dan juga sempat mengalami titik terendah pada tahun1990-an.Â
Namun memasuki tahun 2000an gerak perfilman Indonesia mulai naik kembali secara perlahan. Seperti beberapa film yaitu film "Petualangan Sherina", "Jelangkung", dan "Ada Apa Dengan Cinta?" menjadi tiga film yang membuat munculnya harapan dari film-film Indonesia untuk tahun-tahun yang akan datang.
Dari film romance, horror, hingga action yang digarap para sutradara tanah air semakin menjadikan perfilman Indonesia kuat. Bahkan film-film tersebut dapat bersaing di ajang internasional demi membuktikan bahwa sineas Indonesia juga bisa menciptakan karya -- karya menakjubkan.
Di dalam berhasilnya suatu film disajikan, yang pasti sutradara memegang peranan penting dalamgarapan film tersebut . Hal ini juga tidak terlepas dari teori Auteur.Â
Jadi apa itu teori Ateur? dan siapa sutradara Indonesia yang  memang cocok dianggap sebagai seorang Auteur?  Yuk kita simak!
Teori Auteur dalam Dunia Perfilman
Kata "Auteur" muncul pertama kali di Perancis dan dipopulerkan oleh Francois Truffaut (1984). Teori Auteur adalah teori di mana sutradara menjadi seseorang yang dipandang memiliki kekuatan dan kreativitas dalam setiap ide dan gagasan utama dalam suatu film.Â
Teori Auteur (Stam, hl.84, 2000) menyatakan bahwa sutradara akan menunjukkan kepribadian gaya dan tematik yang bisa dikenali dalam karya filmnya. Auteurisme dianggap mengalihkan perhatian dari tema cerita dari suatu film ke bagaimana gaya dan tekniknya.Â
Penggarap film seperti Eisenstein, Renoir, dan Welles dianggap sebagai auteur karena mereka dikenal menikmati kontrol yang sangat artistik atas produksi film mereka sendiri.
Auteur menekankan gaya pribadi dan mise-en-scne sebagai bagian dari ekspresi diri sang sutradara. Dan akhirnya hal ini menjadi ciri khas dari sutaradara.Â
Teori Auteur juga menganggap bahwa sutradara merupakan sebagai seseorang yang utama dan yang paling berpengaruh dan bertanggung jawab terhadap bentuk, makna, dan gaya film yang artinya jalan cerita dalam sebuah film menjadi cerminan dari kreativitas dan gaya sutradara.
Seorang Ernest Prakarsa
Siapa sih yang gak kenal Ernest Prakarsa, salah satu sutradara ngehitz di Indonesia yang banyak digemari oleh generasi muda. Menurut saya, koh Ernest tepat sekali dianggap sebagai seorang "auteur".Â
Beliau sangat berperan penting dalam setiap film garapannya. Uniknya lagi, setiap film yang digarapnya selalu ditulis olehnya  dan istrinya yaitu Meira Anastasia.
Dan seorang auteur seperti Ernest ternyata juga ikut serta berperan di dalam film garapannya seperti di film "Cek Toko Sebelah", "Ngenest", "Susah Sinyal", dll. Dan bahkan, ada juga film yang diambil berdasarkan kehidupan pribadinya seperti pada film "Ngenest" dan "Cek Toko Sebelah".
Dari hal tersebut dapat menjelaskan bahwa Ernest Prakasa merupakan sutradara yang membawa gaya berpikir dan kreativitasnya ke dalam setiap film - filmnya.Â
Sering juga beliau memasukkan kritik -- kritik sosial dalam film komedi garapannya. Seperti ajakan untuk tidak mendiskriminasi minoritas, tidak menjadi orangtua yang otoriter, sampai mengajak kita untuk tidak merasa insecure terhadap diri kita sendiri.Â
Maka dari itu, setiap film yang digarapnya dianggap sangat berpengaruh positif terhadap penonton.
Film Karya Ernest Prakarsa
Sebenarnya, seorang Ernest Prakarsa merupakan seorang komedian yang cinta terhadap dunia seni dan menulis. Sampai hari ini, ada 12 film yang digarap olehnya.
Film pertama yang digarap Ernest adalah Ngenest (2015) yang menceritakan tentang dirinya yang seorang pria keturunan tionghoa dan merasakan susahnya terlahir sebagai minoritas.Â
Ia selalu dibully oleh teman-teman sekolahnya sejak dia masih di bangku SD. Maka dari itu, ia bersumpah untuk menikahi perempuan pribumi dengan harapan supaya anak - anaknya kelak tidak mengalami pembullyan yang ia alami.
Rata -- rata film yang disutradari Ernest Prakarsa bergenre komedi, drama, dan juga tentang keluarga. Misalnya seperti, Cek Toko Sebelah (2016) yang menceritakan tentang kebudayaan Tiongkok-Indonesia yang mewajibkan anak -- anaknya melanjutkan bisnis keluarga.
Kemudian ada film Susah Sinyal (2017) yang menceritakan tentang orang tua yang terlalu memprioritaskan karir dan mengejar materi sehingga anak -- anaknya merasa kurang diperhatikan.
Lalu, film Milly & Mamet (2018) yang menceritakan tentang sepasang sahabat yang menikah. Namun sayangnya kehidupan mereka setelah menikah tidak sesuai ekspetasi dan mimpi mereka berdua.
Dan yang terakhir adalah Imperfect (2019) yang menceritakan tentang isu sosial yang akhir akhir ini sering terjadi yaitu terkait rasa insecure seorang perempuan yang gemuk dan kulit hitam. Dan stigma masyarakat yang menganggap cantik itu harus putih dan langsing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H