Setiap melihat postingan seseorang entah snapstory, foto atau bahkan video yang dibagikan terkadang terlintas pertanyaan di benak kita “Masa sih ada orang yang hidupnya bahagia terus? Kok postingannya terlihat selalu baik – baik saja.” Dari hal – hal tersebut saja sudah menunjukkan bahwa sosial media saat ini menjadi ajang pamer dan menimbulkan rasa iri, sedih, bertanya – tanya ketika melihat kehidupan seseorang yang kita tidak tahu bagaimana realitanya.
Memang benar jika siapapun bebas berekspresi dengan sosial medianya. Namun ada beberapa hal yang harus kita ketahui, untuk kita yang selalu merasa menginginkan kehidupan orang lain hanya karena postingan sosial medianya.
Pertama, kita melihat orang – orang yang tampak romantis dari postingan sosial medianya. Padahal kita tidak akan pernah tahu bagaimana keadaan hubungan orang – orang itu. Contohnya, ketika kasus selebgram Rachel Vennya bercerai banyak sekali netizen yang berkomentar “Perasaan postingannya adem ayem dan selalu mesra, kok bisa cerai?”, dari situ pun sebenarnya kita dapat menyimpulkan bahwa jangan menjadikan sosial media sebagai acuan kebahagiaan seseorang karena kita tidak akan pernah tahu apa yang orang lain alami dan apa yang mereka rasakan.
Kedua, seringkali kita melihat orang – orang membagikan moment mereka yang super mewah, instagramable atau menarik untuk kita lihat. Padahal kita tidak pernah tahu apakah kehidupan nyata mereka seindah postingan itu. Berdasarkan pengalaman pribadi, kerap kali saya menjumpai orang – orang yang ketika mereka ingin mempercantik tampilan sosial media mereka, mereka harus melakukan proses editing atau malah memaksakan diri untuk tampil sempurna di sosial media.
Hal – hal tersebut menghambat kita untuk menjadi diri kita sendiri. Jangan sampai sosial media membuat kita menjadi iri dan ingin menjadi orang lain. Biarlah sosial media digunakan semana mestinya, yaitu menjalin komunikasi dengan baik dan membuka relasi dengan banyak orang tanpa menjadi toxic di dalam kehidupan kita. Karena sosial media seharusnya bukan menjadi ajang persaingan, pamer atau malah menjadi toxic dalam kehidupan kita. Kita sebagai manusia akan terus berevolusi, wajar jika kita terus mengikuti perkembangan zaman. Namun mengikuti perkembangan zaman bukan berarti kita memaksa diri kita tampak sempurna dan ingin menjadi orang lain di dalam dunia maya.
DAFTAR PUSTAKA
Barker, C. & Jane, E. A. (2016). Cultural studies: Theory and practice. (5th ed). London: SAGE Publications.
Retnawati, B. B. (2016). Perubahan pandangan modernism dan postmodernism dalam konsep konsumsi dan konsumen. Fakultas Ekonomi Universitas Soegijapranata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H