Mohon tunggu...
Alice Besty
Alice Besty Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

mahasiswa ekonomi politik yang gemar mempelajari fenomena kontemporer, terutama dalam kaitannya dengan kebijakan publik dan dampaknya pada masyarakat. Berfokus pada analisis kritis terhadap isu-isu ekonomi digital, keberlanjutan, dan keadilan sosial

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Strategi TikTok akuisisi Tokopedia : Efisiensi TCE di era digital

20 Desember 2024   19:08 Diperbarui: 20 Desember 2024   20:02 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kerjasama Akuisisi Tiktok & Tokopedia

Fenomena evolusi TikTok Shop menjadi topik menarik dalam industri e-commerce. TikTok merupakan aplikasi media sosial yang berasal dibawah perusahaan Bytedance berasal dari China. Tiktok masuk ke Indonesia pada 2017 sebagai platform media sosial danmemperluas layanan menjadi social commerce pada 2021, memungkinkan transaksi jual beli dalam aplikasi. Namun, perubahan ini mendapat tentangan dari Pemerintah Indonesia karena dianggap melanggar regulasi dalam Permendag No. 31 Tahun 2023. Regulasi tersebut mengharuskan platform media sosial memisahkan layanan promosi dari transaksi e-commerce langsung. Sebagai akibatnya, pada 4 Oktober 2023, TikTok Shop menutup fitur transaksi langsungnya untuk mematuhi peraturan.

Keputusan ini memaksa TikTok untuk mencari solusi alternatif guna mempertahankan pangsa pasar yang signifikan di Indonesia. TikTok Shop, dalam waktu hanya satu tahun, berhasil mencapai peringkat keenam sebagai marketplace terbesar di Indonesia dengan Gross Merchandise Value (GMV) sebesar Rp 38,7 triliun pada 2022 (Hardiansyah, 2023). Untuk mengatasi tantangan tersebut, TikTok dihadapkan pada dua pilihan strategis: membangun platform e-commerce baru dari awal atau bekerja sama dengan e-commerce lokal. Akhirnya, TikTok memilih untuk mengakuisisi 75% saham Tokopedia senilai USD 1,5 miliar atau Rp 23,4 triliun, menjadikannya sebagai pengendali utama Tokopedia. Akuisisi ini dilakukan terhadap Tokopedia, yang pada kuartal II tahun 2023 mencatat kerugian finansial signifikan dengan laporan kerugian bersih Rp 3,9 triliun dari induknya, GoTo Group.

Akuisisi ini diterjemahkan melalui integrasi sistem e-commerce Tokopedia dengan aplikasi media sosial TikTok menggunakan sistem backend milik Tokopedia. Kerja sama ini memungkinkan TikTok untuk mengakses katalog produk Tokopedia secara real-time, memfasilitasi transaksi menggunakan sistem pembayaran Tokopedia, sementara proses selanjutnya tetap dikelola oleh Tokopedia karena domain, data, dan sistemnya tetap terpisah. Integrasi ini juga mendukung personalisasi yang lebih mendalam melalui algoritma machine learning, di mana data dari kedua platform digabungkan untuk memberikan rekomendasi produk yang relevan. Sebagai contoh, pengguna TikTok yang sering menonton video tentang olahraga akan menerima rekomendasi produk olahraga di Tokopedia, sementara pengguna Tokopedia yang memiliki riwayat belanja kosmetik akan melihat iklan kosmetik yang relevan di TikTok. Pendekatan ini menciptakan pengalaman pengguna yang lebih personal dan sinergis antara kedua platform.

Keputusan TikTok untuk bekerja sama dengan Tokopedia dapat dianalisis melalui dua aspek utama: alasan memilih bekerja sama dibandingkan membangun platform sendiri dan alasan memilih bentuk kerja sama berupa akuisisi. Dalam teori Transaction Cost Economics (TCE) yang diperkenalkan oleh Oliver Williamson, keputusan ini dinilai relevan untuk memahami alasan TikTok memilih akuisisi dibandingkan membangun platform baru untuk menurunkan biaya transaksi. TCE menyoroti tiga elemen utama biaya transaksi: searching cost (biaya pencarian), negotiation cost (biaya negosiasi), dan enforcement cost (biaya penegakan). Melalui akuisisi, TikTok dapat mengurangi biaya pencarian mitra baru, membangun platform dari nol, serta pengurusan perizinan dan sekaligus mempercepat waktu masuk ke pasar dari 12--24 bulan menjadi hanya 2--4 bulan.

Lebih jauh lagi, menurut Joscow, akuisisi merupakan salah satu bentuk kerja sama dalam integrasi vertikal yang sering kali lebih efektif dibandingkan kontrak jangka pendek. Hal ini disebabkan oleh kontrak jangka pendek yang cenderung mahal dan berisiko tinggi, terutama dalam kondisi dengan sedikit pesaing atau adanya peluang pihak tertentu untuk mengambil keuntungan secara tidak adil (opportunism). Dalam teori Transaction Cost Economics (TCE), integrasi vertikal didorong oleh tiga faktor utama: aset spesifik, frekuensi transaksi, dan ketidakpastian.

Pertama, frekuensi transaksi di e-commerce sangat tinggi dan berlangsung secara real-time, menciptakan ketergantungan besar pada infrastruktur Tokopedia untuk memastikan kelancaran operasional. Kedua, TikTok dan Tokopedia harus melakukan investasi besar untuk menyatukan dua sistem berbeda dengan model backend yang terintegrasi, termasuk penyesuaian signifikan dalam sinkronisasi data. Kondisi ini menghasilkan aset spesifik yang tidak mudah dialihkan ke pihak lain, sehingga membuat hubungan bisnis menjadi lebih kompleks. Ketiga, Hari Belanja Nasional (Harbolnas), sebagai salah satu event besar yang rutin diselenggarakan oleh e-commerce, sering kali menawarkan diskon besar-besaran untuk konsumen, yang menyebabkan lonjakan transaksi secara signifikan. Lonjakan ini meningkatkan ketidakpastian operasional karena potensi risiko downtime atau penurunan kinerja sistem, terutama jika infrastruktur dikelola oleh mitra eksternal yang kurang mampu mengatasi beban transaksi tinggi tersebut.

Mengingat ketergantungan TikTok terhadap infrastruktur Tokopedia, Tokopedia memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam negosiasi. Kondisi ini memungkinkan Tokopedia memanfaatkan ketergantungan tersebut untuk menaikkan biaya kontrak atau bahkan mengancam untuk menghentikan kerja sama. Situasi ini dikenal sebagai hold-up problem, yaitu ketika salah satu pihak memanfaatkan ketergantungan pihak lain untuk mendapatkan keuntungan yang tidak adil. Dengan memilih bentuk integrasi vertikal melalui akuisisi, TikTok dapat menghindari risiko hold-up problem, memastikan kendali penuh atas infrastruktur Tokopedia, dan menciptakan efisiensi operasional yang lebih baik.

Namun, meskipun strategi ini sangat efisien, tantangan tetap ada. Perbedaan budaya antara TikTok yang berbasis di Tiongkok dan Tokopedia yang berasal dari Indonesia dapat menciptakan gesekan internal jika tidak dikelola dengan baik. TikTok memiliki budaya kerja yang dinamis, inovatif, dan sangat kompetitif, sementara Tokopedia lebih kolaboratif dan berorientasi pada komunitas lokal. Belajar dari kegagalan Yahoo terhadap Tumblr yang proses negosiasi akuisisi dilakukan selama 12 bulan, gesekan budaya yang tidak ditangani dengan baik dapat meningkatkan searching cost karena tingginya tingkat turnover karyawan. Oleh karena itu, untuk proses negosiasi akuisisi Tiktok – Tokopedia selama 2 bulan perlu dilakukan upaya intensif diperlukan untuk menyelaraskan budaya kerja kedua perusahaan, termasuk program penyatuan budaya, pelatihan lintas budaya, dan komunikasi yang terbuka.

Tantangan lain adalah optimalisasi aset kedua platform. Saat ini, TikTok memberikan nilai tambah kepada Tokopedia melalui algoritma rekomendasinya, tetapi integrasi ini masih bersifat satu arah. Data belanja pengguna Tokopedia yang sangat berharga belum dimanfaatkan secara maksimal oleh TikTok untuk meningkatkan relevansi konten atau iklan di platformnya. Situasi ini menunjukkan bahwa kedua platform masih mengelola algoritma secara independen, yang meningkatkan biaya operasional dan mengurangi potensi sinergi.

Untuk mengatasi ini, TikTok perlu menciptakan sistem algoritma terpadu yang dapat melayani kedua platform secara efisien. Dengan mengintegrasikan data pengguna Tokopedia ke dalam algoritma TikTok, personalisasi yang lebih relevan dapat dicapai, meningkatkan pengalaman pengguna sekaligus efisiensi operasional. Langkah-langkah ini penting untuk memastikan bahwa akuisisi tidak hanya mengurangi biaya transaksi tetapi juga menciptakan nilai tambah yang nyata bagi kedua platform.

Kesimpulannya, akuisisi Tokopedia oleh TikTok merupakan langkah strategis yang mencerminkan integrasi vertikal sesuai dengan teori Transaction Cost Economics (TCE). Langkah ini berhasil mengurangi biaya transaksi dalam berbagai aspek, mulai dari searching cost hingga enforcement cost, sekaligus menghindari risiko hold-up problem. Dengan pendekatan ini, TikTok tidak hanya mematuhi regulasi tetapi juga memperkuat posisinya dalam ekosistem digital Indonesia. Akuisisi ini memungkinkan TikTok menyelaraskan kedua platform untuk mencapai efisiensi optimal dan sinergi operasional yang kuat, sebagaimana terlihat dari hasil kampanye "Beli Lokal," yang mencatat pertumbuhan penjualan produk lokal merchant sebesar 125% dibandingkan September 2023. Meski demikian, keberhasilan jangka panjang tetap membutuhkan perhatian khusus terhadap sinkronisasi budaya kerja dan optimalisasi aset untuk memastikan sinergi yang maksimal antara kedua platform, sekaligus mendukung pertumbuhan ekosistem digital dan ekonomi lokal Indonesia secara berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun