Memasuki halaman rumahku sayub-sayub terdengar suara bapak membaca surat Yassin. Alhamdulillah...berarti bukan bapak yang meninggal. Aku berjalan pelan-pelan di teras. Mendadak tubuhku menggigil dan bergetar...pintu rumah terbuka lebar sehingga jelas terlihat emak dikelilingi beberapa saudara perempuan menangis tersedu-sedu memanggil namaku. Sementara adik-adikku berada tak jauh dari emak terduduk lemas sambil membawa fotoku.
Ternyata aku sudah mati!!.....Aku berteriak, namun tak satupun diantara mereka mendengar teriakanku. Aku ingin memeluk mereka namun kedua tanganku tak mampu menyentuh satupun tubuh keluargaku. Aku menangis meraung-raung lalu berlari sekuat tenaga menjauhi rumah. Aku tidak sanggup melihat kesedihan seluruh keluargaku. Aku berlari...terus berlari sampai badanku terasa lelah  dan tersungkur di jalanan.
Mataku terbuka dan menemukan Kencana Ungu dihadapanku. Kecelakaan di depan pintu gerbang tadi sore telah merenggut nyawaku. Arwah gentayanganku tertangkap oleh Kencana Ungu yang sudah duluan mati beberapa puluh tahun yang lalu dan segera dibawa menjauh dari lokasi kecelakaan. Sebuah pohon beringin di area kuburan tua agak jauh dari jalan desa dibelakang sekolah ini. Aku adalah kesayangan Kencana Ungu karena aku tahu bagaimana cara membahagiakan wanita yang berusia jauh lebih tua dariku meski wujudnya dimataku adalah wanita cantik.
Dahulu Kencana Ungu sangat terkenal sebagai dukun beranak pengabdi setan di desa ini. Ia juga memiliki kekuatan untuk menyembuhkan berbagai penyakit dengan ilmu hitamnya. Meski sudah puluhan tahun yang lalu meninggal, namun arwahnya dipercaya tetap gentayangan.
Sejak pertama bekerja di sekolah ini aku mengenal seorang wanita bernama Jingga, seorang guru Agama di sekolah ini. Ia seorang indigo yang bisa melihat diriku saat berusaha membujuk Kencana Ungu untuk tidak membuat onar dari sekolah ini, waktu ia marah karena ada sampah kotoran manusia dan bau pesing di luar pagar sekolah dekat area kuburan tua.
"Tolong, mas Joko...jangan mengganggu anak-anak saya. Mereka sedang menuntut ilmu jauh dari orang tuanya."
"Iya bu, saya akan berusaha, namun tolong bersihkan lingkungan sekolah ini dari sampah-sampah, dan prilaku yang tidak baik, kencing dan buang hajat sembarangan. Kami sangat terganggu dengan benda-benda kotor tersebut"
"Baiklah, terima kasih"
Sejak saat itu aku melihat sendiri para siswa dan guru bahu-membahu membersihkan lingkungan. Aku sering sekedar menyapa bu guru Jingga saat ia keluar dari kelas. Ia juga selalu mengucap salam kepadaku saat melewati pohon asam di halaman sekolah. Sesekali ia mengajakku berbicara memintaku ikut menjaga lingkungan sekolahnya dari orang-orang yang hendak berbuat jahat.Â
Ah.. senyum bu guru Jingga memang manis.. jujur saja aku sering terpesona sampai tidak mendengarkan nasehat yang ia berikan supaya aku segera berkumpul dengan kakek nenekku di alam barzah, sehingga sampai saat ini arwahku belum bisa pergi dari dunia ini.
Sejak masih sekolah aku memang gemar belajar ilmu-ilmu bela diri sekaligus belajar ilmu kekebalan. Keinginanku untuk menguasai sebuah ilmu memang sangat tinggi. Aku tidak akan berhenti sebelum mendapatkannya meski harus mencari di tempat-tempat yang wingit dan angker. Mungkin itu sebabnya setelah mati arwahku gentayangan tidak diterima di tempat semestinya.