Mohon tunggu...
Alina Widya
Alina Widya Mohon Tunggu... Programmer - Penyuka wangi puisi

No doubt

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secret Coffee (part 2)

8 Februari 2019   20:00 Diperbarui: 9 Februari 2019   05:05 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memasuki halaman rumahku sayub-sayub terdengar suara bapak membaca surat Yassin. Alhamdulillah...berarti bukan bapak yang meninggal. Aku berjalan pelan-pelan di teras. Mendadak tubuhku menggigil dan bergetar...pintu rumah terbuka lebar sehingga jelas terlihat emak dikelilingi beberapa saudara perempuan menangis tersedu-sedu memanggil namaku. Sementara adik-adikku berada tak jauh dari emak terduduk lemas sambil membawa fotoku.

Ternyata aku sudah mati!!.....Aku berteriak, namun tak satupun diantara mereka mendengar teriakanku. Aku ingin memeluk mereka namun kedua tanganku tak mampu menyentuh satupun tubuh keluargaku. Aku menangis meraung-raung lalu berlari sekuat tenaga menjauhi rumah. Aku tidak sanggup melihat kesedihan seluruh keluargaku. Aku berlari...terus berlari sampai badanku terasa lelah  dan tersungkur di jalanan.

Mataku terbuka dan menemukan Kencana Ungu dihadapanku. Kecelakaan di depan pintu gerbang tadi sore telah merenggut nyawaku. Arwah gentayanganku tertangkap oleh Kencana Ungu yang sudah duluan mati beberapa puluh tahun yang lalu dan segera dibawa menjauh dari lokasi kecelakaan. Sebuah pohon beringin di area kuburan tua agak jauh dari jalan desa dibelakang sekolah ini. Aku adalah kesayangan Kencana Ungu karena aku tahu bagaimana cara membahagiakan wanita yang berusia jauh lebih tua dariku meski wujudnya dimataku adalah wanita cantik.

Dahulu Kencana Ungu sangat terkenal sebagai dukun beranak pengabdi setan di desa ini. Ia juga memiliki kekuatan untuk menyembuhkan berbagai penyakit dengan ilmu hitamnya. Meski sudah puluhan tahun yang lalu meninggal, namun arwahnya dipercaya tetap gentayangan.


Sejak pertama bekerja di sekolah ini aku mengenal seorang wanita bernama Jingga, seorang guru Agama di sekolah ini. Ia seorang indigo yang bisa melihat diriku saat berusaha membujuk Kencana Ungu untuk tidak membuat onar dari sekolah ini, waktu ia marah karena ada sampah kotoran manusia dan bau pesing di luar pagar sekolah dekat area kuburan tua.

"Tolong, mas Joko...jangan mengganggu anak-anak saya. Mereka sedang menuntut ilmu jauh dari orang tuanya."

"Iya bu, saya akan berusaha, namun tolong bersihkan lingkungan sekolah ini dari sampah-sampah, dan prilaku yang tidak baik, kencing dan buang hajat sembarangan. Kami sangat terganggu dengan benda-benda kotor tersebut"

"Baiklah, terima kasih"

Sejak saat itu aku melihat sendiri para siswa dan guru bahu-membahu membersihkan lingkungan. Aku sering sekedar menyapa bu guru Jingga saat ia keluar dari kelas. Ia juga selalu mengucap salam kepadaku saat melewati pohon asam di halaman sekolah. Sesekali ia mengajakku berbicara memintaku ikut menjaga lingkungan sekolahnya dari orang-orang yang hendak berbuat jahat. 

Ah.. senyum bu guru Jingga memang manis.. jujur saja aku sering terpesona sampai tidak mendengarkan nasehat yang ia berikan supaya aku segera berkumpul dengan kakek nenekku di alam barzah, sehingga sampai saat ini arwahku belum bisa pergi dari dunia ini.

Sejak masih sekolah aku memang gemar belajar ilmu-ilmu bela diri sekaligus belajar ilmu kekebalan. Keinginanku untuk menguasai sebuah ilmu memang sangat tinggi. Aku tidak akan berhenti sebelum mendapatkannya meski harus mencari di tempat-tempat yang wingit dan angker. Mungkin itu sebabnya setelah mati arwahku gentayangan tidak diterima di tempat semestinya.

Senin pagi
Semua siswa sudah dipulangkan karena keadaan gawat darurat di sekolah sejak tadi pagi setelah upacara bendera. Kepala sekolah telah memanggil beberapa kyai ulama untuk membersihkan sekolah dari arwah-arwah gentayangan yang merasuki tubuh siswa-siswi yang jiwanya kosong. Sebenarnya beberapa orang pintar sudah memberi persyaratan supaya arwah Kencana Ungu tidak mengganggu warga, namun entah mengapa kali ini Kencana Ungu benar-benar marah dan menganggu warga sekolah dengan membabi buta. Dalam satu hari ia bisa kembali beberapa kali dan membuat keributan karena beberapa siswi kesurupan.

"Ayolah, Kencana... kita tidak perlu menganggu mereka. Toh mereka semua sudah pulang." kali ini aku sengaja memeluk kencana lebih erat ketika kulihat gelagat ia akan kembali ke sekolah.

"Aku ada urusan dengan Jingga" matanya mendadak nanar.

"Hmm... baiklah, aku tidak akan menemuinya lagi. Jika ada yang mengganggumumu dengan sampah dan kotoran silahkan menemui bu guru Jingga sendiri, bagaimana?" Kencana tersenyum dan berjanji membuat kopi kesukaanku.

Kali ini aku berhasil meredam kecemburuan Kencana Ungu. Aku tidak tahu sampai kapan akan seperti ini. Kupendam keinginan untuk bertemu dengan bu guru Jingga sampai benar-benar aman dan kelihatannya bu guru Jingga rajin mengirimkan pesan-pesan melalui alunan doa-doa yang tidak begitu aku pahami.

"Itu adalah doa untuk membebaskanmu dari kesesatan. Bacalah setiap saat sampai Allah benar-benar mendengarkan doamu dan mengabulkan permintaanmu berkumpul dengan keluargamu yang sudah meninggal duluan." Senyum bu guru Jingga sangat damai dimataku setiap kami bertemu. Senyum itu bahkan lebih wangi dari secangkir kopi.

"Mungkinkah kita bertemu suatu saat nanti?" bu guru Jingga bahkan tidak pernah memandangku sebagai arwah penasaran. Ia justru membimbing bagaimana aku bisa meninggalkan dunia ini.

"Jika mas Joko mampu melewatinya, Insyaallah kita akan bertemu di surga. Berdoalah mas.. jangan pernah putus asa. Allah maha mengetahui dan menjadikan apapun yang ada di dunia ini, bahkan hal yang paling mustahil sekalipun bisa terjadi jika itu sudah dikehendaki" Ia tetap tersenyum meski saat itu kulihat bu guru Jingga sedikit merintih menahan sesuatu.

Setelah itu aku tidak pernah melihat bu guru Jingga memberi salam saat melewati pohon asam di halaman sekolah. Meski sesekali aku mendengar suara lembut seseorang membacakan doa yang sama seperti yang diajarkan bu guru Jingga kepadaku, namun aku tidak bisa menemukan si pembaca. Aku anggap suara dari surga yang membuatku ingin sekali bertemu wanita itu, meski untuk itu aku harus meninggalkan Kencana Ungu. Aku selalu mengingat pesannya dan selalu membaca doa itu secara diam-diam saat sendiri. Beberapa waktu kemudian aku mendengar ia telah meninggal dunia karena kanker otak yang di deritanya..... end.

*Mungkinkah mereka dipertemukan oleh kematian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun