Mohon tunggu...
Ali Arief
Ali Arief Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Saya berasal dari Kota Medan...berkarya dan berkreativitas dibutuhkan kemauan dan keyakinan untuk tetap konsisten di jalur kejujuran dan kebenaran...tetap belajar memperbaiki diri...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Darah Jejak Kaki Misterius

18 Februari 2021   00:20 Diperbarui: 18 Februari 2021   00:34 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Gambar: KoranBanjar.Net)

"Darah kaki siapa ya, terlihat berceceran di ruangan ini. Apakah darah jejak kaki ini milik laki-laki tua yang menatapku di ujung lorong tadi. Ah tidak mungkin, darah jejak kaki ini milik laki-laki yang berpapasan denganku di ujung lorong.

Laki-laki tua itu tampak biasa saja, tidak ada sedikit pun yang ganjil dari langkah kakinya." Aku berusaha tidak panik saat melihat bercak darah di lantai sekitar rumah kosong, yang sudah hampir satu bulan tidak di huni.

Dua bulan lalu, rumah yang bersebelahan dengan tempat tinggalku di huni oleh seorang laki-laki tua bernama Pak Wisnu. Pak Wisnu tinggal seorang diri di rumah itu tanpa ada yang menemaninya. Sejak istri dan anaknya meninggal dunia akibat longsor di saat berwisata ke puncak, Pak Wisnu sering merenung dan tidak banyak bicara.

"Kasihan Pak Wisnu, hampir setiap hari kerjanya hanya termenung saja di kursi depan rumahnya. Kita harus memberikan perhatian kepada beliau untuk menjalani kehidupan ini dengan semangat."

Ayah terus memperhatikan Pak Wisnu, sesekali mengajakku berbincang-bincang. " Andi, kamu berikan makanan ini kepada Pak Wisnu, sebentar lagi ayah akan menyusul kamu ke rumahnya." Ayahku pun menitipkan bungkusan yang berisi makanan untuk ku berikan pada Pak Wisnu.

"Assalamualaikum Pak Wisnu, apakah Bapak dalam keadaan baik-baik saja ya? Ini ada titipan dari ayah saya untuk Bapak." Aku memberikan bungkusan yang dititipkan ayahku kepada Pak Wisnu.

" Wa alaikum salam, terima kasih ya Andi, tidak perlu repot-repot membawa makanan untuk saya. Oh ya di mana ayahmu, mengapa tidak bersamamu kemari?" Tanya Pak Wisnu kepadaku. "Ayah saya sebentar lagi akan menuju ke rumah Pak Wisnu, karena beliau tadi sedang menerima telepon dari teman kantornya, makanya saya disuruh ayah untuk datang lebih awal." Jawabku kepada Pak Wisnu.

Tidak berselang lama saat aku dan Pak Wisnu berbincang-bincang, tampak ayahku pun datang sambil membawa beberapa benda di tangannya. "Assalamualaikum, maaf Pak Wisnu, saya baru dapat datang kemari. Oh ya, ini saya membawa beberapa benda hasil temuan tim SAR sebulan yang lalu saat terjadinya musibah longsor."

Lalu ayahku menyerahkan benda yang dibawanya kepada Pak Wisnu. " Terima kasih Pak Andi atas segala bantuan anda dan tim SAR sehingga masih dapat menemukan benda-benda milik istri dan anak yang telah meninggalkan saya untuk selama-lamanya." Dengan wajah yang masih terlihat berduka, Pak Wisnu menerima pemberian ayah Andi.

Pak Wisnu, Ayah, dan aku mulai berbincang-bincang dengan rasa kekeluargaan. Meskipun aku dan ayah, sangat memahami kondisi Pak Wisnu yang masih dalam keadaan berduka. Kami harus tetap menjaga perasaan Pak Wisnu agar tidak semakin bersedih. Tawa dan canda pun sering dilontarkan ayahku ketika Pak Wisnu kembali terdiam.

Suasana pun tampak penuh bahagia tanpa terasa senja mulai menghampiri. Aku dan ayah meminta ijin kepada Pak Wisnu untuk pulang ke rumah. " Baiklah Pak Wisnu karena hari mulai sore, saya dan Andi mohon ijin untuk pulang ke rumah. Lain kali, jika ada waktu dan kesempatan in syaa Allah kami akan berkunjuang ke rumah Pak Wisnu." Ayahku pun mengajak aku untuk kembali pulang. Dan Pak Wisnu mengantar kami hingga sampai di luar pekarangan rumahnya.

Dua minggu telah berlalu setelah ayah dan aku berkunjung ke rumah Pak Wisnu. Hingga terjadinya kejadian yang menggegerkan satu dusun di tempat tinggalku.  Pak Wisnu menjadi korban pembunuhan di malam naas itu. Tubuhnya bersimbah darah dengan kaki terikat berada di ruang tamu.

"Sungguh biadab perbuatan orang yang melakukan pembunuhan terhadap Pak Wisnu. Mengapa orang yang hidup sendirian seperti Pak Wisnu harus menjadi korban? Apa tidak ada hati dan perasaan Si Pembunuh itu, sehingga begitu tega membunuhnya." Itulah ucapan dari seorang pelayat yang sejak dari pagi menunggu proses pemberangkatan jenazah menuju ke pemakaman.

Saat kejadian pembunuhan suasana dalam kondisi hujan deras, sehingga tidak ada seorang pun yang melihat tersangka pembunuh Pak Wisnu. Hanya terlihat bercak-bercak darah jejak kaki yang berada di lantai depan dan hilang di batas halaman. "Meskipun tersangka pembunuh Pak Wisnu belum terungkap, jejak kaki berdarah itu dapat dijadikan alat bukti untuk menangkap pelakunya."

Seorang pelayat lainnya juga mengungkapkan hal yang sama. Aku dan ayahku merasa sangat sedih melihat kondisi Pak Wisnu di akhir hidupnya yang tragis. " Sangat sadis pembunuh yang telah membunuh Pak Wisnu. Jika ingin merampas harta orang lain, mengapa harus nyawa pun melayang. Semoga Pak Wisnu mendapatkan tempat terbaik di alam barzakh." Ayahku pun mengajakku untuk mengantar jenazah Pak Wisnu menuju pemakaman.

Setelah sebulan berlalu rumah peninggalan Pak Wisnu pun terlihat kosong. Sering terlihat jejak kaki berdarah di ruangan teras dan menghilang di samping rumah. Aku merasa darah jejak kaki itu sangat misterius. Hampir setiap Senin pagi, aku melihat darah jejak kaki itu berada di lantai rumah kosong peninggalan Pak Wisnu. Mungkin jejak kaki bercak darah itu akan selalu muncul di lantai, hingga ditemukan siapa pembunuh Pak Wisnu.

Misteri Si Pemilik bercak darah, jejak kaki yang terus muncul di lantai rumah Pak Wisnu itu belum terkuak. Mungkin pembunuh yang membunuh Pak Wisnu juga telah meninggal dunia, tanpa diketahui lokasi dan jati dirinya. Siapa yang membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja, kelak akan mendapat balasan yang sama nantinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun