Kenangan itu masih membayangi ingatanku. Ketika aku duduk bersama  ayahku, bercerita di teras rumah. Ayahku bercerita tentang masa lalunya yang sangat menyedihkan. Aku seakan larut mendengarkan kisah Ayahku yang begitu mengharukan.Â
Keluarga Ayahku berasal dari keluarga yang serba kekurangan. Segala sesuatu yang diinginkan oleh ayahku beserta saudaranya yang lain, harus dengan susah payah untuk meraihnya.
"Sejak ayah masih berusia 7 tahun, ayah bersama paman dan pakdemu harus berjuang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terkadang kami bertiga pulang hingga larut malam. Ayah menyemir sepatu, pamanmu berdagang asongan di persimpangan lampu merah, sedangkan pakdemu menjadi pengamen. Ayah, paman, dan pakdemu harus berjuang memenuhi kebutuhan hidup. Kakek dan nenekmu dalam kondisi sakit sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah." Pungkas ayahku mengawali cerita masa kecilnya kepadaku.Â
Sesaat ibuku menghampiri dan meletakkan secangkir kopi dan teh hangat di atas meja. "Silakan kopinya diminum ayah, neh teh yang hangat ibu buatkan untukmu, Rif." Sambil meletakkan secangkir kopi dan teh di atas meja, ibuku kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya.
"Oh ya Rif, ketika Ayah masih berusia 10 tahun ada kenangan yang hingga kini masih tersimpan di dalam kotak hitam, yaitu sebuah benda pemberian dari kakekmu." Sambil menunjukkan sesuatu yang terdapat di dalam kotak hitam, ayahku terus bercerita melanjutkan kenangan masa lalunya. Aku pun memegang benda yang terdapat di dalam kotak hitam tersebut. Ya, benda yang terbuat dari kayu berbentuk lingkaran dengan lilitan benang di dalam benda tersebut.
"Ayah, mengapa benda mainan ini diberikan Kakek kepada ayah? Apakah paman dan pakde mendapatkan benda yang sama seperti ini? Tanyaku kepada ayah di sela-sela obrolanku dengannya.Â
"Paman dan pakdemu mendapatkan sebuah cangklong rokok dengan warna dan bentuk kotak yang sama, dan semua itu diberikan kakekmu kepada kami bertiga agar selalu tetap saling menyayangi." Jawab ayah kepadaku. Aku seperti merasakan begitu besar kasih sayang kakekku kepada ketiga anaknya termasuk ayahku.
Saat diriku duduk di teras depan rumah bersama dengan ayahku, tiba-tiba saja pamanku muncul di hadapan kami berdua. Sambil menghampiri kami berdua, paman berbincang-bincang sejenak lalu menyampaikan kabar duka kepada ayahku.Â
Aku merasa berita yang disampaikan paman kepada ayahku, telah membuat ayahku menjadi shock. Pamanku menyampaikan kabar duka, bahwa kakek meninggal dunia karena serangan jantung. Ayahku seakan tidak percaya jika kakekku terkena serangan jantung. Dengan perasaan sedih, ayahku segera menuju ke rumah kakek.
Di rumah kakek, terlihat para pentakziah membaca lantunan surat yasin di sisi tubuh jenazah kakekku. Aku melihat ayahku begitu tegar menerima cobaan yang dihadapinya, meskipun aku juga melihat ada kesedihan yang mendalam terlihat di raut wajahnya.Â
"Kita harus tetap sabar menerima semua cobaan yang telah digariskan Tuhan kepada keluarga kita. Jangan pernah merasa, semua yang kita miliki akan kekal abadi. Bersabar dan selalu bersabar, atas segala ketentuan dan takdir yang telah diberikan-Nya kepada kita." Sambil mengelus-elus pundak Ayah, pakdeku membisikkan kata-kata nasihat untuk tetap bersabar menerima kenyataan akan kepergian kakek kepada ayahku.
Satu per satu fardu kifayah pun dilakukan untuk mengantarkan jenazah kakekku hingga selesai dimakamkan. Sesaat ayahku terdiam dan perlahan-lahan mendekatiku sambil mengatakan sesuatu.Â
"Ayah masih ingat, ketika itu kakek duduk di teras rumah ini dan meminum secangkir kopi pahit. Kakek selalu menyemangati ayah untuk senantiasa tidak berputus asa, sekalipun pahitnya derita hidup yang harus dipikul. Saat kakek dalam kondisi tidak sehat pun, ia tetap bekerja tanpa mengenal lelah. Ayah sangat bangga dengan semangat kakekmu, meskipun dalam keadaan sakit ia tetap memenuhi tanggungjawabnya sebagai orangtua." Ungkap ayah kepadaku mengenang kerja keras kakek selama ini.
Dua minggu telah berlalu setelah kepergian kakekku untuk selama-lamanya, aku dan ayah mendapat kabar berita pamanku dalam keadaan koma. Aku seakan tidak percaya mendapat kabar itu apalagi ayahku. Ia sangat terkejut, belum lama mendapat musibah kini harus menerima cobaan yang dialami saudara kandungnya.Â
Pamanku koma disebabkan oleh kecelakaan yang dialaminya saat sedang bekerja. Ketika beliau sedang menuju kantor dengan mengendarai sepeda motor, tiba-tiba dari arah yang berlawanan melaju sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Tanpa disadari oleh pamanku, mobil yang berada di depannya langsung menabrak sehingga pamanku tidak sadarkan diri.
Aku dan ayah segera menuju rumah sakit untuk melihat kondisi pamanku. Pamanku terdiam tanpa bergerak sedikit pun di ruangan UGD. Selang pernapasan pun telah dimasukkan ke rongga tenggorokkannya, sehingga tampak terlihat begitu menyedihkan keadaannya.Â
Ayahku seakan menatap kosong ke arah tempat pamanku dirawat. Hanya doa dan harapan yang terus kami munajahkan kepada Sang Pemilik Hidup, agar pamanku segera sadar dari kondisi koma.
Alhamdulillah, dua jam kemudian tampak gerakkan tubuh pamanku memberikan isyarat jika dirinya mulai sadar dari koma. Namun sejam kemudian, ayahku mulai panik ketika paman dalam kondisi kritis.Â
Suasana di ruangan UGD pun terlihat mencekam, detak jantung pamanku perlahan-lahan terhenti. Semua yang berada di dalam maupun di luar ruangan UGD menyaksikan dengan raut wajah cemas dan sedih.
Takdir tak dapat ditolak, aku, ayahku, pakdeku, dan keluarga dari pamanku harus menerima kenyataan pahit. Semua upaya telah dilakukan untuk kesembuhan pamanku yang mengalami koma.Â
Aku dengan keluarga lainnya tertunduk dan saling menguatkan serta mengikhlaskan kepergian pamanku untuk selama-lamanya. Dokter dan perawat yang berada di ruangan UGD menyiapkan segala sesuatunya agar jenazah pamanku dapat segera dibawa pulang dan dilakukan fardu kifayahnya.
Setelah selesai proses pemakaman pamanku, aku melihat ayahku bersama pakdeku saling menatap penuh kesedihan. Ayah tampak terlihat sangat kehilangan sosok adiknya yang pekerja keras. Sedangkan bagiku, paman merupakan sosok yang sangat menyayangi keluarga termasuk diriku.Â
Ia tidak pernah menganggap aku hanya sebagai keponakannya saja, akan tetapi aku sudah seperti anak kandungnya juga. Â Kini hanya ayah dan pakdeku saja yang dapat kujadikan sebagai penyemangat diri ini untuk melangkah. Ayah dan pakdeku merupakan sosok orang-orang yang akan senantiasa hadir di dalam kehidupanku.
Namun seiring berjalannya waktu, aku harus menerima kenyataan pahit. Orang-orang yang sangat aku sayangi, satu demi satu meninggalkanku dengan senyuman yang takkan pernah kulupakan.Â
Setahun setelah kepergian pamanku, pakdeku juga kembali ke pangkuan Sang Penentu Takdir dengan senyuman yang sangat indah. Pakdeku meninggal dunia setelah selesai menunaikan salat Magrib.
Pakdeku seakan meninggalkan pesan kepadaku agar tetap senantiasa patuh menjalankan perintah Tuhan. Aku merasakan sangat kehilangan sosok orangtua yang selalu memberikan nasihat maupun petuah berharga untuk mengarungi kehidupan.
"Kamu harus tetap menjadi anak laki-laki yang kuat Rif, semangat dalam meraih masa depan, jangan cepat berputus asa, dan tetap menjaga hubungan religius kepada Tuhan dengan taat." Itulah ucapan yang pernah disampaikan pakde kepadaku, ketika diriku terakhir kali berbincang di rumahnya.Â
Tidak berselang lama setelah pakdeku meninggal dunia, sekitar sebulan kemudian aku harus berlapang dada untuk menerima kenyataan. Orang yang sangat aku sayang, juga harus pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Ya, seorang yang sangat berarti dalam hidupku harus meninggalkanku dengan berjuta kenangan. "Ayah, aku tak lagi dapat mendengar suaramu, aku tak lagi dapat menyentuhmu, aku tak dapat lagi bersenda gurau denganmu di depan teras rumah ini. Sungguh berat hati ini menerima semua cobaan tanpamu di sisiku ayah, tetapi aku pun harus ikhlas menerima kepergianmu untuk selamanya. Aku yakin ayah, sosokmu tidak akan tergantikan meskipun waktu terus berlalu." Di atas pembaringan berselimut kain putih aku melepaskan ayah hingga di pemakaman.Â
Kenangan indah bersama ayah merupakan kenangan yang tak mungkin dapat kembali, namun kenangan itu akan selalu hadir di kala aku duduk sendiri di teras rumah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H