Aku merasa diriku sudah tidak dihargai lagi di lingkungan sekitar rumahku. Mungkin karena aku tidak bekerja di perusahaan swasta yang telah mengubah kehidupanku sebelumnya, sehingga aku seperti dicampakkan begitu saja. Aku tidak dapat bekerja di perusahaan lain, karena kecelakaan yang telah membuat penglihatanku sudah tidak normal lagi. Aku mengalami kebutaan permanen.
Aku selalu mendengar cemoohan tetanggaku setiap hari. Kekesalan hatiku tidak dapat tertumpahkan. Aku menyadari akan ketidakberdayaanku saat ini. Aku juga punya keterbatasan, terkadang keinginanku untuk membahagiakan keluarga kecilku, harus terhambat oleh keadaanku saat ini.
Entah kapan, aku dapat memiliki usaha yang mampu menopang pengeluaran kebutuhan hidup sehari-hariku. Aku tidak ingin dikatakan oleh tetanggaku sebagai seorang suami yang tidak bertanggung jawab. Seorang suami yang tidak mampu menafkahi keluarga. Seorang suami yang dianggap hanya berpangku tangan.
Keterbatasan penglihatan yang aku alami saat ini tidak menjadi penghambat bagiku untuk berusaha. Aku memulai usaha dagang kecil-kecilan di samping halte tidak jauh dari rumahku. Memang saat mencoba berdagang, aku seperti tidak memiliki kepercayaan diri lagi. Perasaan malu dan khawatir tidak ada pembeli bercampur di dalam benakku.
Aku juga berusaha untuk melangkahkan kedua kaki ini secara perlahan-lahan. Dengan menggunakan tongkat peraba, aku menyusuri jalan menuju kios tempatku menggantungkan harapan. Walaupun kondisi penglihatanku tidak seperti dahulu, aku tetap berusaha meyakinkan diriku untuk menerimanya dengan ikhlas. Aku sangat bersyukur, orang-orang di sekelilingku masih memberikan perhatian yang tulus kepadaku. Bahkan para konsumen pun tidak ada yang berusaha untuk menipuku.
Aku hanya mampu membawa hasil keuntungan dari berdagang di kios kecilku itu sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Meskipun aku tidak sampai memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, aku tetap merasa bahagia.
Aku masih mampu menafkahi keluarga kecilku. Aku tetap berusaha untuk menggapai impian dan harapan masa depan keluarga kecilku. Kekurangan pada penglihatanku terkadang menjadi cemoohan beberapa orang tetanggaku.
Ada tetanggaku yang sering usil dan ucapannya sangat mengusik hatiku. Hampir setiap berpapasan dengannya, kata-kata yang diucapkannya membuat perasaanku sedikit kesal. Ucapannya seakan-akan menghina orang-orang yang senasib denganku saat ini. Ia beranggapan jika orang sepertiku ini cocoknya hanya bekerja sebagai peminta-minta.
Walaupun keadaanku tidak sesempurna dahulu, tetapi aku masih punya harga diri. Aku tidak akan menjadi peminta-minta. Aku masih dapat memperjuangkan harga diriku. Bagiku yang terpenting adalah tidak menggantungkan diri kepada orang lain. Sekecil apapun usaha yang aku lakukan juga tidak merugikan orang lain.
Aku terus berjuang demi menggapai impianku. Aku ingin menunjukkan kepada tetanggaku yang sering merendahkan kondisiku bahwa orang sepertiku ini masih dapat mandiri. Sedikit demi sedikit keuntungan yang aku dapatkan dari hasil usaha, telah memberikan hasil. Aku tidak lagi berjualan di samping halte.
Aku mendapat bantuan modal usaha dari salah satu perusahaan produk makanan yang aku jual di kios kecilku. Pihak perusahaan melalui pengawas lapangan melihat kegigihanku dalam menjual produk mereka. Pihak perusahaan memberikan secara cuma-cuma modal usaha sekaligus sebuah kios mini di depan seberang halte. Aku menempati kios itu, dan tidak lagi berpapasan dengan tetanggaku yang suka usil.
Tiga tahun usaha yang telah aku rintis mulai berkembang. Kios pemberian perusahaan produk makanan itu sudah mulai aku renovasi dan kini telah menjadi sebuah toko. Aku sudah memiliki sepuluh karyawan.
Walaupun aku sebagai pemilik toko, aku tidak pernah membeda-bedakan karyawan yang bekerja denganku. Saat aku berada di samping kasir, aku mendengar suara yang semasa masih berjualan di kios kecilku dahulu. Ya, suara tetangga yang pernah mencemoohku sebelum usahaku berkembang.
Aku merasakan jika tetanggaku malu akan ucapannya yang pernah ditujukannya kepadaku. Ia meminta maaf atas segala perbuatannya saat aku belum menjadi pemilik toko ini. Aku pun memaafkan apa yang pernah terucap dari lidah tetanggaku yang pernah menyakiti perasaanku. Aku menganggap apa yang diucapkannya itu, menjadi pemacu semangatku untuk lebih keras berusaha.Â
Aku akan tetap menjadi pribadi yang kuat. Pribadi yang pantang menyerah. Pribadi yang memiliki harga diri yang tidak akan mencemoohkan siapa pun. Pribadi yang lebih menghargai kekurangan orang lain. Pribadi yang akan terus menginspirasi mereka yang memiliki keterbatasan pisik. Pribadi yang berjiwa rendah hati dan tidak mudah sakit hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H