Sejak kematian suamiku lima tahun yang lalu, aku seperti tiada kekuatan untuk bertahan hidup. Apalagi anakku, yang sangat aku harapkan sebagai sandaran hidup di hari tuaku, telah begitu tega menitipkan aku di panti jompo ini. Aku kembali terkenang masa laluku bersama suami dan anakku yang hidup penuh kebahagiaan. Kebersamaan aku rasakan dengan suami yang selalu menyayangiku. Hingga tragedi yang terjadi menimpa suamiku. Ia meninggal dunia akibat kecelakaan saat menuju ke kantor.
Aku tak mampu menahan kesedihan yang mendalam. Seperti mimpi, aku mendapatkan berita dan kejadian yang menimpa suamiku. Aku diibaratkan pungguk merindukan bulan. Suami yang sangat aku cinta pergi tanpa memberi pesan.Â
Setelah suamiku meninggal dunia, aku dan putraku hidup bersama di rumah peninggalan suamiku. Aku dan putraku hidup dengan rasa kasih sayang. Sampai akhirnya, perubahan kepribadian putraku terlihat sejak ia menikah. Putraku tak lagi menyayangi dan menghargaiku sebagai seorang ibu. Aku dijadikan seperti pembantu oleh menantu dan putraku.
Setiap hari aku harus menyelesaikan pekerjaan rumah yang seharusnya menjadi tanggung jawab menantuku. Aku juga harus menahan rasa sakit di tubuhku ini. Tiada waktu bagiku untuk bersantai sejenak menghilangkan penat di tubuh ini. Aku juga harus menjaga kedua cucuku, sampai lelah pun tak lagi ku hiraukan.
Pertengkaran sering terjadi di rumah ini. Putra dan menantuku selalu berselisih pendapat. Menantuku berkeinginan agar aku dititipkan di panti jompo. Namun putraku tetap menolak keinginan menantuku. Awalnya, putraku tidak setuju dengan usulan istrinya, akan tetapi karena bujuk rayu menantuku dengan berbagai alasan, hingga putraku harus mengikuti keinginan istrinya.Â
Bagaikan disambar petir aku mendengarnya. Begitu teganya menantu dan putra tercintaku berniat mengirimkan aku ke panti jompo. Aku menangis pilu saat melihat gambar wajah suamiku di album foto yang terpasang di dinding kamarku. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi, tetes air mata jatuh dari pelupuk mataku.
Menjelang pagi hari, aku melihat putraku duduk santai di teras depan rumah. Aku menghampirinya dan mengatakan sesuatu padanya tentang hal yang mereka bicarakan kemarin. Aku tidak ingin dipisahkan dari rumah yang banyak menyimpan sejuta kenangan. Putraku tetap bersepakat dengan istrinya menitipkan aku di panti jompo.
Aku tak mampu berbuat apa-apa, keputusan anak dan menantuku sangat mengecewakan hatiku. Begitu kejamnya anak yang telah aku lahirkan dan aku rawat bersama suamiku hingga dewasa berbuat seperti ini. Â Ibarat air susu tertumpah air tuba perlakuan anak dan menantuku ini. Dengan penuh rasa kecewa dan sedih aku pun dititipkan di panti jompo ini. Awalnya, aku merasa panti jompo ini tempat pengasingan.
Di panti jompo ini, aku ditinggalkan anak dan menantuku sendirian. Aku melihat wajah-wajah lansia seperti tiada semangat hidup. Wajah-wajah yang senasib denganku. Wajah-wajah yang tercampakkan dari kehangatan keluarganya. Ada senyum terpancar dari wajah mereka, tetapi senyum penuh luka.
Aku pun menempati ruangan kamar yang di dalamnya di huni oleh tiga orang saja. Walaupun terasa kaku untuk mengenal kedua orang perempuan yang usianya sama denganku. Aku mencoba beradaptasi dengan keduanya. Aku membuka tas yang di dalamnya terdapat fotoku beserta anak dan suamiku. Salah seorang perempuan yang bernama Mak Ijah, menghampiriku dengan jalan sedikit tertatih-tatih.Â
Mak ijah mengelus-elus pundakku, membisikkan kata-kata sabar untuk menguatkan jiwaku. Seorang perempuan bernama Nek Ifah juga mendekatiku, seraya memegang tanganku dan mengingatkan bahwa aku tidak sendiri lagi. Aku sepertinya merasa beruntung karena bertemu dengan dua perempuan tua yang senasib denganku.