Sebagai seorang jurnalis, saya sering mendapati diri ini berada di persimpangan jalan yang tidak kalah membingungkan dibandingkan pertigaan Jalur Pantura pada jam sibuk. Jika pertigaan itu penuh dengan truk dan pengendara motor yang seperti ninja tanpa asap, Pilkada Kabupaten Probolinggo punya pesona berbeda: penuh dengan pasangan calon bupati yang berlomba memikat hati dan, tentu saja, beberapa jurnalis yang tertarik ikut campur. Kita sebut ini sebagai momen "Di Persimpangan Jalan Netralitas Jurnalis Kentut" --- situasi yang jelas memerlukan keahlian lebih dari sekadar pandai menulis.
Sebentar, siapa yang kita bicarakan di sini? Kita punya dua pasangan calon bupati, masing-masing punya pendukung setia. Ada H. Zulmi Noor Hasani dan H. Abdul Rasit, pasangan calon nomor urut 01. Di sisi lain, ada Gus Haris dan Lora Fahmi, pasangan nomor urut 02. Di tengah pusaran ini, muncul fenomena tak terelakkan: segelintir jurnalis kentut yang, alih-alih menjaga independensi dan netralitas, mendadak seperti selebgram yang endorse baju lebaran --- menyatakan dukungan, secara kelembagaan. Aduh!
Mari kita telaah apa yang sedang terjadi di balik layar berita yang seharusnya netral, sebut saja jurnalis kentut itu seandainya bernama Jhon Qudsi (ya, ironis sekali) --- seharusnya tidak hanya menjadi pengamat di tepi arena politik tetapi malah seperti penonton bola yang terjun ke lapangan dan ingin ikut menggiring bola. Bukannya bertahan dengan kode etik jurnalistik yang ketat, Mas Bro kita malah asyik mendukung salah satu pasangan calon, entah dengan tulisan yang terasa seperti puisi cinta atau laporan yang lebih condong daripada Menara Pisa. Netralitas? Hilang sudah, tersapu angin musim kampanye.
Apakah Jhon Qudsi sedang bermain api? Tentu saja! Tapi ini bukan api unggun yang menghangatkan hati, melainkan api yang bisa membakar kepercayaan publik kepada media. Jika seorang jurnalis, secara kelembagaan, terang-terangan memihak satu calon, bagaimana mungkin masyarakat mempercayai berita yang mereka buat? Ini seperti memasak tanpa bumbu: hambar, tidak berimbang, dan jauh dari apa yang seharusnya dihidangkan.
Mengapa ini begitu serius? Bayangkan seorang pemilih yang bergantung pada berita untuk menentukan pilihan. Alih-alih mendapatkan informasi yang jujur dan berimbang, dia malah tersedot dalam drama ala sinetron Pilkada, di mana sang jurnalis berperan sebagai pemeran pembantu yang memihak. Informasi yang mestinya akurat malah jadi propaganda gratis. Maaf ya, bukan begitu seharusnya jurnalistik bekerja!
Mari kita beri Jhon Qudsi sedikit ruang untuk refleksi. Barangkali tekanan politik atau godaan janji manis dari pasangan calon membuatnya tergelincir. Tapi ingat, tugas jurnalis adalah menjaga independensi dan netralitas di tengah angin politik, tak ubahnya peselancar profesional yang harus tetap berdiri kokoh di atas ombak.
Jhon Qudsi sebagai kuli tinta semestinya memeluk erat kode etik jurnalistik dan menyuguhkan berita yang berimbang sesuai fakta dan data, biarkan publik yang menilai dan menentukan pilihan mereka. Bahwa integritas lebih berharga daripada segelas kopi yang ngutang di bilang beli kontan. Pilkada datang dan pergi, tetapi reputasi jurnalis yang terjerumus ke dalam pusaran politik bisa jadi comberan.
Menurut fatwa kentut dari saya, bahwa netralitas dan independensi jurnalis adalah landasan kepercayaan publik sebagai sarana informasi dan publikasi. Jika ini terguncang, media kehilangan fungsinya sebagai pilar demokrasi kontrol sosial. Jhon Qudsi, mari menghela napas panjang, renungkan, dan ingatlah tugas muliamu: memberitakan secara berimbang, tajam, jelas dan terpercaya, tanpa. Biarkan Pilkada berjalan semestinya, sebagai mana kentut yang berhembus tidak di cap lebel partai dari mana pun. Oke, Bos!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H