Kajian Pustaka
Biografi Singkat Prof. Syeid Muhammad Naquib Al-Attas
      Sebagai seorang tokoh pemikiran yang berpengaruh di dunia, beliau dikenal dengan Prof. SMN Al-Attas. Adapun kepanjangan dari namanya ialah Syed Muhammad Naquib bin Abdullah bin Muhsin al-Attas. Cendekiawan muslim ini lahir di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Ayah beliau bernama Syeid Ali bin Abdullah Al-Attas yang merupakan keturunan ulama dan ahli tasawuf yang terkenal dari kalangan Sayyid dalam silsilah keluarga Ba'lawi di Hadramaut hingga sampai kepada Imam Hussein, cucu Rasulullah Shalaullahu'alaihi wassalam. Sedangkan sang Ibu bernama Syarifah Raquan Al-Aydarus juga merupakan keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa Barat. Adapun silsilah dari jalur ibu, keturunannya ialah seorang ulama bernama Syed Muhammad al-Aydarus. Beliau adalah guru & pembimbing spiritual Syed Abu Hafsh Umar al-Syaibani dari Hadramaut yang mengantarkan Nur ad-Din ar-Raniri (seorang ulama Melayu) ke tarekat Rifa'iyah (Sya'bani, 2014, hal. 12--13).
      Dunia Islam patut bersyukur memiliki cendekiawan muslim yang banyak disegani oleh semua pihak termasuk Barat. Keseganan tersebut diapresiasi oleh berbagai kalangan karena beliau dikenal sebagai seorang ilmuan yang menguasai bidang filsafat, teologi, metafisika, sastra, sejarah, agama, dan peradaban. Pembuktian bahwa beliau memang ahli/pakar dalam bidang-bidang yang telah disebutkan tadi terbukti dengan menyabet beberapa penghargaan antara lain, dilantik sebagai anggota Akademi Falsafah Maharaja Iran (Fellow of The Imperical Iranian Academi of Philosophy) pada tahun 1975 yang bersanding bersama beberapa sarjana terkenal, seperti Hendry Corbin, Sayyed Hossein Nasr dan Toshihiko Izutsu. Selain itu beliau dianugerahi mendali seratus tahun meninggalnya Sir Muhammad Iqbal (Iqbal Centenary Commemorative Medal), yang diberikan Presiden Pakistan, Jendral Muhammad Za Ul-Haq pada 1979. Lalu dianugerahi pula Kursi Kehormatan Abu Hamid Al-Ghazali (Abu Hamid Al-Ghazali Chair of Islamic Thought) pertama, yang diberikan oleh Dato' Seri Anwar Ibrahim, pada 1993. Kekaguman lainnya yang dapat kita teladani, bahwasannya sebagai seorang ilmuan Muslim beliau terkenal dengan sikap kritisnya utamanya terhadap gagasan Sekularisme dengan menerbitkan buku yang berjudul Risalah Untuk Muslimin tahun 1970 dan Islam and Sekularism tahun 1978 (Suriani, 2014, hal. 15--16).
Pandangan Loss of Adab Prof. Syeid Muhammad Naquib Al-AttasÂ
      Latar belakang dicetuskannya sebuah pandangan mengenai adab dimana pada era zaman digitalisasi sekarang ini dan menuju dunia yang katanya society 5.0 (five point zero) yaitu sebuah tatanan sosial yang tidak mengenal batas-batas dikolaborasikan dengan kemajuan teknologi sehingga semisal orang di belahan Amerika Latin dapat berjejaring dengan orang di Asia Tenggara secara leluasa karena pesatnya kemajuan teknologi. Akan tetapi kemajuan teknologi tersebut yang bersumber dari sains dalam kebudayaan Barat, telah memisahkan peranan agama (sekularisme), dengan tidak mengakui eksistensi Tuhan di dalamnya, sehingga menggugah inisiatif oleh beliau untuk mengembalikan nilai-nilai Islam dalam perkembangan sains. Juga upaya agar tidak ada dikotomi antara sains dengan Islam sebagaimana diungkapkan oleh Sayyid Hussein Nasr dalam bukunya The Encounter Man and Nature terjemahan Ali Noer Zaman (2006) juga beberapa tokoh lain seperti Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M), Nashir al-Din Thusi (597-672 H/1201-1274 M), Qutb al- Dun Syirazi (634-710 H/1236-1311 M) menyatakan bahwa dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam klasik, dikotomi antara ilmu dan agama atau fisik dan metafisik tidak pernah ada (Hakim, 2020, hal. 74).Â
      Dampak yang ditimbulkan dari terdegredasinya antara agama dengan ilmu pengetahuan dan sains atau yang lebih dikenal dengan sekularisme telah menimbulkan berbagai dampak juga permasalahan dalam tatanan kehidupan. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut:
      Data secara empiris tersebut telah menggugah pikiran Prof. Syeid Muhammad Naquib Al-Attas untuk mereduksi kembali pemahaman yang salah akibat pemisahan antara agama dengan sains. Hal tersebut beliau sandarkan kepada sebuah dalil hadis yang bersumber dari Ibnu Mas'ud bahwasannya Rasulullah bersabda:
Inna Adibniyi min rabbiyi fa ahsani ta'dibiyi
      Terjemahnya: "Sungguh aku telah dididik dengan adab yang baik dari Rabbku maka jadilah pendidikan adabku istimewa." [Alauddin al Mutqi al-Hindi Burhan Fauri, dalam kitabnya Kasratul amal fi Sunani Akwali wa al-Afali yang dikutip dari kitab Muasasah ar-Risalah, t.th., hal. 406 (dalam Toha Machsun, 2016, hal. 225)].
      Lebih praktisnya lagi Prof. Syeid Muhammad Naquib Al-Attas menjabarkan secara sintaksis peranan adab sebagaimana Muhammad Ardiansyah, Didin Hafidhuddin, Endin Mujahidin, dan Nirwan Syafrin (2019, hal. 55--56) jabarkan sebagai berikut:
- Bangunan adab pertama ialah adab terhadap diri sendiri (al-nafsun). Sebagai mahluk Allah, manusia diberikan potensi dasar akal dan nafsu dimana keduanya perlu imbang;
- Adab terhadap sesama, peranan ini memberikan pengertian bahwa manusia sebagai mahluk sosial perlu untuk hidup berdampingan dengan orang lain;
- Adab terhadap ilmu pengetahuan, tidak dapat dikatakan seseorang berilmu tanpa dibarengi dengan perangai yang baik, oleh karena itu penting adab sebelum ilmu.
- Adab terhadap alam dan lingkungan, manusia diberikan intruksi oleh Rabb agar menjaga alam dan tidak merusaknya. Berbagai bencana alam terjadi seperti banjir yang terjadi beberapa waktu lalu melanda sebagian besar wilayah di Indonesia salah satu faktor penyebabnya ialah gundulnya hutan sehingga tidak adanya resapan air;
- Adab terhadap hubungan vertikal antara hamba dengan Rabb (spiritual);
- Adab terhadap berbahasa, dimana manusia diberikan kemampuan untuk membaca (iqra) sehingga dengan potensi tersebut ia berinteraksi dengan sesama menggunakan bahasa yang mudah dipahami;
- Adab terhadap seni dan musik, karena sifat Allah yaitu al-jamil (indah) maka di dalam penciptaan manusia terdapat juga sifat Allah tersebut, sehingga pada dasarnya manusia suka keindahan, maka ia membuat sebuah karya yang enak dilihat, didengar dan dipandang kemudian terwujudlah sebuah budaya; dan
- Adab terhadap rumah dan furnitur.