[caption caption="Kamp Eks Gafatar di Kabupaten Mempawah yang dibakar oleh massa pada Selasa kemarin (foto/ Mad Rosid Tribun Pontianak)"][/caption]Banyak spekulasi yang mencuat ketika kasus gafatar meledak, apalagi setelah terjadi pembakaran kamp eks Gafatar di Kabupaten Mempawah. Mungkinkah ini hanya propaganda yang sengaja dihembuskan pihak tak bertanggung jawab untuk memecah belah persatuan bangsa.
Jujur saja saya sedih ketika membaca berita mengenai pembakaran kamp eks Gafatar di sejumlah media. Bukan karena saya mendukung gerakan tersebut, namun sebagai manusia biasa yang masih mempunyai hati nurani saya tidak bisa membayangkan andai saja yang diperlakukan seperti itu adalah saya atau mungkin keluarga saya.
Bagaimana rasanya dalam kondisi ketakutan saya harus pergi meninggalkan tempat tinggal yang sudah beberapa tahun saya diami, bersamaan dengan itu saya melihat api membara yang menghanguskan tempat tinggal saya. Bagaimana rasanya ketika melihat anak-anak saya yang masih kecil itu menangis ketakutan tanpa tahu apa yang terjadi sesungguhnya. Bagaimana rasanya jika saya harus kembali ke tempat asal sementara saya tidak lagi memiliki rumah dan sanak keluarga. Bagaimana rasanya jika saya kembali keluarga saya juga tak mau menerima saya. Saya tidak bisa membayangkan. Mungkin saya hanya bisa pasrah dan hanya berharap pertolongan pada Allah.
Apakah mungkin massa tidak lagi terketuk saat mendengar tangisan anak-anak kecil tak berdosa. Apakah mungkin rasa iba massa telah lenyap meski banyak perempuan tua tak berdaya. Entahlah. Saya tak dapat lagi berkata apa-apa. Saya hanya bisa menitikkan air mata sama seperti bupati Mempawah yang menangis melihat kejadian secara langsung.
Saya juga tidak yakin, massa yang telah melakukan pembakaran  kamp itu tahu betul seluk beluk gafatar, benarkah mereka telah menyebarkan ajaran sesat, atau massa hanya sekedar ikut-ikutan, atau mungkin ada aktor intelektual dibalik semua kasus yang terjadi?
Kasus Gafatar ini sendiri baru mencuat beberapa pekan lalu setelah polisi mendapat laporan mengenai hilangnya dokter Rica. Kasus ini sempat reda sejenak karena ada aksi teror bom di Sarinah MH Thamrin Jakarta Pusat. Beberapa hari kemudian kasusnya meledak kembali. Aksi pertama yang dilakukan oleh masyarakat Mempawah adalah melakukan unjukrasa di kamps eks gafatar, mereka memberi deadline selama 3 hari kepada warga eks Gafatar untuk meninggalkan lokasi yang sudah mereka diami itu. Warga kembali melakukan demo di kantor bupati Mempawah dan menuntut hal yang sama. Sampai kemudian berbuntut pada pembakaran mobil eks Gafatar dan pembakaran kamp eks Gafatar.
Peristiwa inipun langsung merembet sampai ke beberapa daerah lain di Kalbar, seperti Sintang, Kayong Utara, Ketapang dan Kubu Raya, pihak keamanan dan pemerintah terpaksa mengevakuasi para eks gafatar ini ke tempat yang aman guna menghindari hal-hal yang tak diinginkan.
Yang menjadi pertanyaannya? jika memang mereka tidak pernah dikehendaki oleh masyarakat kenapa pemerintah atau aparat keamanan membiarkan eks gafatar ini tinggal sampai beberapa tahun lamanya. Apa mungkin pemerintah dan aparat keamanan tidak tahu? itu hal yang sangat mustahil. JIka memang sudah tahu, kenapa tidak ada antisipasi yang dilakukan sebelumnya.
Pertanyaan selanjutnya jika tidak ada kepentingan tertentu kenapa kasus ini diangkat kepermukaan, bukankah itu sama saja dengan menyiram api dengan bensin yang sudah barang pasti akan menimbulkan masalah besar.
***
Kalbar, merupakan daerah rawan konflik. Sudah banyak catatan kelam yang terjadi di daerah ini. Sudah tak terhitung lagi korban jiwa dan harta benda dalam setiap kerusuhan yang terjadi. Kasus sanggau Ledo, kasus, di Singkawan, kasus di Sambas dan lain sebagainya. Apakah penderitaan masyarakat Kalbar belum cukup dengan rentetan kasus kelam di masa lalu?