Mohon tunggu...
Ali Anshori
Ali Anshori Mohon Tunggu... Freelancer - Ali anshori

Bekerja apa saja yang penting halal. Hobi olahraga dan menulis tentunya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang Kaya Ini Tak Bisa Baca Tulis

6 Desember 2015   18:56 Diperbarui: 6 Desember 2015   19:49 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Jangan SMS saya kalau mau ada perlu langsung jak telphon, sebab saya ini tidak terlalu bisa baca” kata Ujang Jenggo pengusaha kaya asal Kabupaten Melawi beberapa waktu lalu.

Saya kaget mendengar pernyataan Ujang Jenggo seperti itu. Rasa-rasanya mustahil orang se-kaya dia tidak lancar baca tulis. Namun inilah kenyataan yang terjadi, Ujang Jenggo yang sudah memiliki perusahaan sendiri ini memang tidak lancar baca tulis.

“Kalau abang saya malah tidak bisa baca sama sekali” kata Ujang Jenggo lagi.

Abang Ujang Jenggo ternyata juga sangat kaya di daerahnya. Selain mempunyai perusahaan dia juga mempunyai sejumlah bidang perkebunan kelapa sawit, alat berat, angkutan umum mobil pribadi dan rumah megah yang baru saja selesai dibangun.

Ujang Jenggo dan Abangnya, Li, sama-sama tidak bisa baca namun kekayaan mereka luar biasa. Namun demikian penampilan mereka tetap tidak berubah, sama seperti orang kampung pada umumnya, pakaiannya pun tidak bermerk seperti kalangan artis. Sangat jauh dari kesan kaya.

Ujang Jenggo dan abangnya Li memang tidak langsung kaya seperti sekarang ini. Dulunya mereka juga pernah menjadi orang susah yang kerjaannya tidak tentu rudu, menjadi tukang pikul dan menjadi kuli bangunan. Semua pekerjaan berat pernah mereka rasakan sampai akhirnya dia menjadi orang yang cukup dipandang di daerahnya. Siapa  yang tak kenal dengan Ujang Jenggo dan Li. Mereka kakak beradik yang cukup kaya.

 “Jangan lihat saya sekarang, kalau cerita soal saya masih sakit dulu tak ada habisnya. Apalagi saya orang tidak sekolah, tapi saya pantang menyerah. Saya juga pantang mengharapkan bantuan orang lain” kata Ujang.

Di kampung kelahiran saya Desa Sambora Kecamatan Toho Kabupaten Mempawah, orang-orang yang kaya juga sekolahnya tidak tinggi. Paling hanya S1, S2 dan yang tertinggi hanya S3. Wah tinggi dong kalau sampai S3. Maksudnya bukan itu, tapi SD SMP dan tertinggi SMA. Hehe. Mereka juga memulai usahanya dari nol lo… Tidak ada pinjaman dari orang tua, mertua dan lain sebagainya.

Bahkan saya tahu betul kisah hidup mereka, bagaimana perjuangan mereka saat mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Ada yang bermula menjadi penjual es keliling, ada yang menjual sayur keliling, ada yang mencari karet dengan sepeda keliling, dll. Dari kisah para orang kaya di atas, saya bisa ambil pelajaran, bahwa untuk menjadi orang sukses memang diperlukan perjuangan yang keras, kemauan kuat dan pantang menyerah. Bukan modal yang besar. Sengaja saya buat tebal biar kebaca.

Apakah modal tidak perlu? Ya sangat perlu, kalau tidak ada modal bagaimana kita mau usaha. Namun titik pentingnya bukan pada itu, melainkan perjuangan, kemauan dan pantang menyerah. Sebab modal besar sekalipun tidak ada gunanya kalau kita tidak berjuang, modal yang besar juga akan nol hasilnya jika tidak dibarengi kamauan, modal besar tak ada gunanya kalau kita mudah menyerah. Kenapa? sebab setiap usaha pasti ada pasang surutnya.

Mungkin suatu saat kita berada di atas, karena omset kita melimpah, namun di waktu lain kita berada di bawah, kalau omset kita menurun. Nah kalau kita menyerah pada posisi ini, ya tamatnya sudah. Namun, kalau kita terus bangkit dan berjuang Insa Allah kita akan berada pada posisi yang lebih baik. Mungkin juga menjadi orang yang kaya. Lalu muncul lagi pertanyaan, apakah kita tidak perlu sekolah tinggi untuk menjadi orang kaya, sebab kebanyakan orang yang kaya justru sekolahnya tidak tinggi?? Oh bukan seperti itu maksudnya.

Tetap saja itu sangat perlu, sebab orang yang sekolahnya tinggi saya yakin akan lebih kaya dari mereka, kalau mereka juga mempunyai kamauan, perjuangan dan pantang menyerah. Muncul lagi pertanyaan, mengapa kebanyakan orang yang sekolahnya tinggi hanya menjadi pegawai, menjadi karyawan dan tidak memiliki usaha?? Oh itu persoalannya lain lagi bos.

Mungkin saja dia gengsi, masak sekolah tinggi harus jualan sayur, jualan es dll sih kan gak level. Itukan kerjaan orang tidak sekolah, wuih menghina sekali. Mungkin ini memang sudah menjadi fenomena. Tak heran kebanyakan orang yang sudah menyandang gelar sarjana enggan pulang kampung. Alasannya sepele. Gak ada kerjaan di kampung. Hehe aneh kan, masak di kampung gak ada kerjaan.

Buktinya orang kampung bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai menjadi sarjana. Memangnya orang di kampung gak kerja apa? kita tidak hanya mengandalkan pendapatan dari gaji yang belum sebulan saja sudah habis. Supaya kita tidak menjadi orang yang suka menggadaikan SK. Supaya kita bisa bekerja lebih keras, supaya kita mempunyai kemauan yang kuat dan kita tidak lagi menjadi orang yang mudah menyerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun