Ilustrasi - Murid Sekolah Dasar Negeri Riding III Sungai Rasau di Provinsi Sumatera Selatan tanpa beralas kaki bermain duduk-duduk di pagar bangunan sekolah. Mereka tak pernah memakai alas kaki bahkan hanya memakai baju kaos ketika bersekolah. (TRIBUNSUMSEL.COM/ANDI AGUS TRIYONO)
BAGI Daerah di Pulau Jawa, mungkin jarang menemui guru yang jarang mengajar. Namun bagi masyarakat di daerah, seperti Kalimantan, Papua, Sumatra dan daerah lainnya, kasus seperti ini sudah lumrah. Jumlah guru yang jarang masuk tak terhitung.
Kebetulan saya  pernah tugas ke beberapa kabupaten di Kalbar, sehingga tahu betul dengan kondisi ini, sebab saya sering mendapat keluhan dari masyarakat, ataupun kepala desa mengenai guru yang jarang masuk.
Pertama kali saya tugas di Kabupaten Landak, di daerah ini saya juga kerap mendapat keluhan dari masyarakat mengenai tingkah laku guru yang bertugas di daerah mereka, bahkan ada yang pernah sampai demo ke kantor dinas pendidikan untuk mengadukan masalah ini. Bahkan pelakunya kepala sekolah, bukan hanya jarang masuk, guru tersebut juga membawa lari uang sekolah.
Satu tahun kemudian saya pindah ke Kabupaten Sintang. Di daerah ini saya juga sering menerima keluhan soal guru yang jarang masuk. Kata masyarakat, paling lama guru berada di tempat tugas hanya satu minggu, setelah itu tidak mengajar sampai satu atau dua bulan lamanya. Anehnya mereka masih tetap menerima gajih secara utuh.
Saat bertugas di Ketapang, persoalan serupa juga sering saya temui. Bahkan yang kerap menyampaikan masalah ini adalah kepala sekolahnya langsung. Di Ketapang ini kejadiannya justru aneh bin ajaib, selain gurunya jarang masuk, tiba-tiba dia sudah pindah ke kota. Padahal dia baru saja ditugaskan di daerah tersebut beberapa bulan saja.
Sekarang saya bertugas di Kabupaten Melawi, di daerah ini kondisinya  justru semakin parah. Selain dari masyarakat, dari kades saya juga sering mendapat keluhan dari anggota dewan soal guru yang jarang masuk. Bahkan saya juga sering melihat dengan mata kepala saya sendiri ada guru yang setiap hari pekerjaannya hanya di warung kopi. Padahal guru tersebut berstatus sebagai PNS. Abdi negara dan dibayar dengan uang rakyat. Tapi kok ya kayak gini kelakuannya?
Kalau sudah begini kondisinya, mustahil rasanya anak-anak Indonesia bisa pintar. Gimana mau pintar gurunya saja tidak mengajar. Memangnya bisa siswa itu belajar sendiri tanpa guru? Â Kalaupun ada itu hanya di film laskar pelangi.
Percaya tidak percaya, beberapa sekolah di daerah pedalaman khususnya di Kabupaten Melawi, masih banyak dijumpai siswa yang sudah menginjak kelas lima belum bisa membaca. Bukannya mereka bodoh, namun karena mereka tidak pernah menerima pendidikan yang layak. Karena gurunya jarang masuk. Bahkan ada pula sekolah yang masuknya jam 8 pagi jam 10 sudah pulang.
Saya bukan asal bicara, namun berdasarkan data dan fakta. Kebetulan di rumah saya ada anak dari sekolah pedalaman. Bahkan dia rangkin satu di sekolahnya pada saat itu. Tapi apa yang terjadi? Saat ikut tes masuk sekolah SMP negeri di kota dia tidak lulus. Dia kemudian saya suruh sekolah di swasta, ternyata dia tidak masuk 10 besar. Saya geleng-geleng kepala. La begini kok bisa jadi rangking satu. Â Bisa disimpulkan bagaimana kawan-kawan dia? Wajar saja sebab ada yang sudah kelas lima belum bisa membaca. Padahal untul level kelas lima sudah mulai belajar tentang pengetahuan.
Saya kemudian mencari tahu, apa sih penyebabnya guru ini jarang masuk? Ternyata ada yang beralasan di daerah tersebut tidak ada listriknya, tidak ada sinyal telekomunikasi apalagi internet, terkadang juga tidak ada rumah dinasnya. Bisa dibayangkan sendiri bagaimana beratnya bertugas di pedalaman. Sementara sebelum menjadi guru mereka sudah terbiasa dengan penerangan listrik, internetan, BBM an, nonton tv sampai puas, namun begitu tugas di pedalaman mereka seakan berada dalam kota mati.
Setelah saya telusuri lagi, persoalannya bukan Cuma itu saja. sebab saya juga sering menjumpai guru yang bertugas di dekat kota, masih ada sinyal telekomunikasinya, masih ada listriknya dan bisa ke kota kapan saja  toh mereka juga jarang mengajar? Lalu apa masalahnya? Rupanya mental sang guru.
Kenapa dengan mental? Sebelum bicara soal mental kita kembali lagi ke rezim orde baru, atau pemerintahan Soeharto. Zaman dulu rata-rata guru ditugaskan di pedalaman, dan jauh dari tempat kelahiran mereka. Toh mereka juga betah-betah saja, bahkan jarang sekali saya mendengar ada guru yang meninggalkan tempat tugas, yang banyak mereka malah menetap di tempat tugas dan menjadi penduduk di sana? Saya tahu itu, sebab bapak saya juga dulunya guru yang ditugaskan di pedalaman Kalimantan Barat.
Soal gaji? Hehehe jangan ditanya deh, gaji guru sekarang sudah jauh lebih besar, gaji pokok, belum lagi tunjangan, sertifikasi gaji 13 dan lain sebagainya, bisa mencapai Rp 7 jutaan. Kalau guru zaman dulu paling banter hanya Rp 100 ribu plus beras satu karung. Toh mereka juga betah? Lalu apa masalahnya?
Kalau kembali soal mental mungkin inilah pokok permasalahannya. Jadi solusinya jika ingin mencerdaskan anak bangsa jalan satu-satunya adalah memperbaiki kualitas gurunya, kalau guru sudah baik saya yakin pemerintah tidak perlu sibuk-sibuk bikin program yang macam-macam, apalagi sampai membuat standar kelulusan yang terlampau tinggi. Sebab percuma saja, nilai tinggi kalau hasilnya dari contekan masal. Ini mungkin sekedar saran dari saya yang masih sangat awam terhadap dunia pendidikan, saya juga pengamat bukan akademisi apalagi aktifis, saya Cuma penyambung lidah masyarakat yang sering mendapat keluhan soal ketiadaan guru. Salam Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H