Indonesia, negara agraris dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, masih menghadapi berbagai tantangan dalam mencapai kedaulatan pangan yang sejati. Meski pemerintah telah mencanangkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan ketahanan pangan, kenyataannya, sistem pangan Indonesia masih memiliki celah yang perlu dibenahi. Di tengah ancaman perubahan iklim, degradasi lahan, serta meningkatnya jumlah penduduk, Indonesia perlu bergerak lebih jauh dari sekadar swasembada beras. Perlu upaya yang lebih komprehensif untuk membangun sistem pangan yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan benar-benar dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Tantangan Masa Depan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan
Indonesia menghadapi beberapa tantangan yang dapat memengaruhi ketahanan dan keanekaragaman pangan di masa depan, antara lain:
a. Perubahan Iklim
Perubahan iklim memiliki dampak signifikan terhadap sektor pertanian, terutama terkait pola musim dan curah hujan yang tidak menentu. Fenomena ini dapat mengganggu siklus pertanian tradisional dan menyebabkan penurunan produksi pangan, terutama beras. Dengan meningkatnya suhu global, risiko kekeringan dan banjir juga semakin tinggi, yang dapat menghancurkan hasil panen dan menurunkan produktivitas pertanian. Perubahan iklim berdampak pada menurunnya produktivitas pangan, sebaliknya sektor pangan juga bisa menyebabkan krisis iklim (pembukaan lahan pertanian dll).
 b. Degradasi Lahan Pertanian
Degradasi lahan merupakan ancaman serius bagi sektor pertanian di Indonesia. Lahan pertanian yang semakin menyusut akibat urbanisasi, deforestasi, dan penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan menyebabkan produksi pangan terganggu. Jika tidak ada upaya pemulihan dan konservasi lahan, Indonesia bisa kehilangan sejumlah besar lahan subur yang krusial bagi produksi pangan nasional.
c. Ketergantungan pada Beras sebagai Ranjau Tersembunyi
Sebagai sumber karbohidrat utama, beras telah menjadi bagian integral dari pola konsumsi masyarakat Indonesia. Kebutuhan beras Indonesia pada 2024 mencapai 31,2 juta ton. Ini berdasarkan prognosa neraca pangan nasional periode Januari hingga Desember 2024 yang telah disusun oleh Badan Pangan Nasional. Swasembada beras sering kali dianggap sebagai indikator keberhasilan ketahanan pangan, namun, ketergantungan yang berlebihan pada beras adalah ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, swasembada beras menunjukkan kemampuan negara dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Namun, fokus yang terlalu besar pada komoditas tunggal ini justru mengabaikan potensi keanekaragaman pangan lokal, seperti singkong, sagu, ubi jalar, dan sorgum. Komoditas-komoditas ini memiliki nilai gizi yang tinggi dan ketahanan yang lebih baik terhadap perubahan iklim dibandingkan beras. Ketergantungan berlebihan pada beras juga berisiko bagi stabilitas ketahanan pangan, terutama ketika terjadi kegagalan panen atau gangguan distribusi yang berdampak luas pada pasokan dan harga.
Untuk mencapai kedaulatan pangan yang berkelanjutan, Indonesia harus mampu mengembangkan diversifikasi pangan yang lebih variatif. Hal ini bukan hanya mengurangi ketergantungan pada beras, tetapi juga membuka ruang bagi komoditas lokal yang lebih ramah lingkungan dan ekonomis, sekaligus menjaga keseimbangan gizi masyarakat.
Ketahanan Pangan Bukan Hanya Soal Produksi