Begitu juga dengan aktivitas bermain di luar, di mana anak laki-laki dan perempuan bisa melakukan aktivitas membangun sebuah projek bermain mereka bersama-sama. Guru sebagai fasilitator juga harus memahami terkait makna kesetaraan gender sehingga dapat memberikan pendidikan yang inklusif terhadap peserta didiknya.Â
Selanjutnya dalam hal pekerjaan. Setiap profesi, meskipun tidak ada kaidah yang mengaturnya, tetap diberikan pelabelan dalam konstruksi sosial di masyarakat yang menempatkan profesi tertentu untuk perempuan dan laki-laki. Misalnya, profesi sebagai engineering, supir, pilot, CEO, manajer, polisi, dan insinyur lebih dilabeli sebagai profesi untuk laki-laki.Â
Sedangkan profesi sebagai designer, guru, dokter, bidan, perawat, sekretaris, customer service, dan sejumlah profesi lainnya lebih dilabeli sebagai profesi yang identik dengan perempuan.Â
Di dunia perkerjaan juga perempuan kerap mendapatkan bentuk ketidakadilan, seperti di beberapa oknum perusahaan yang melarang adanya cuti melahirkan atau cuti haid. Padahal hal ini merupakan kebutuhan dasar yang harus diperhatikan oleh perempuan.Â
Terakhir, dalam pembagian peran di rumah tangga. Budaya patriarki yang mengakar kuat di Indonesia menempatkan perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga yang bisa melayani suami, merawat anak, dan mengurus seluruh pekerjaan rumah seperti memasak. Padahal, tidak ada kaidah yang mengatur bahwa istri harus mengurus rumah tangga, suami harus bekerja di luar.Â
Pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak pada dasarnya merupakan tanggung jawab suami dan istri, tinggal mereka berdua yang menegosiasikan tugas dan pekerjaan masing-masing. Apalagi bagi perempuan yang juga memiliki profesi di dunia publik, mereka kerap kali menerima beban ganda yang mengurusi urusan domestik dan tugas profesinya sekaligus.Â
Permasalahan ini perlu diatasi dengan proses negosiasi dan komunikasi antara suami dengan istri, serta meningkatkan kepedulian terhadap kesibukan masing-masing. Â