Mohon tunggu...
Srikandi Whiteblood
Srikandi Whiteblood Mohon Tunggu... -

Every word is poison. Just wait for your turn to get the impact.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kaum ‘In-telek’ Bicara Intelektualitas

20 April 2014   05:46 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:27 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_332427" align="aligncenter" width="300" caption="pic *kanjeng_sunan"][/caption]

“Orang bodoh mana-lagi yang menyuarakan dirinya untuk menjadi pendukung fanatik Jokowi?” Mungkin itulah sebagian ungkapan dari kaum yang katanya pemikir dan rasional tatkala memandang suatu romantisme gerakan masyarakat terhadap elektabilitas dan kredibilitas Jokowi. Mereka yang mencoba membela dengan hal-hal logis tetap saja mendapatkan stempel sebagai pendukung ekstrim hanya karena citra Jokowi sebagai calon presiden telah dinodai dengan berbagai embel-embel asas praduga.

Cermin dari kasus pembicaraan masalah intelektualitas, para pemilih kini dihadapkan dengan opsi dinasti kampanye hitam atau propaganda prematur. Propaganda itu datang seiring dengan kehadiran ‘orang paling tidak bermasalah’ diantara mereka-mereka yang punya segudang kriminalitas untuk maju dalam kancah perebutan kekuasaan. Penyematan tanda intelek dan bukan intelek telah menjadi egoisme tersendiri bagi para pecinta diskusi, yang pada akhirnya mengarah pada satu sumbu, yaitu mengaburkan suatu kebenaran.

Berikut beberapa hal yang menjadi stigma indikator opini seorang intelek politik yang menggunakan intelektualitasnya,

Orang-orang membanggakan keberhasilan ARB dalam penyelamatan perusahaan dari krisis, namun mengingkari adanya kasus pengkhianatan kontroversial seperti SLI, Lapindo, dsb. demi kepentingan perusahaan, bukan Negara. Itulah yang mereka sebut intelektualitas.

Orang percaya akan janji-janji Prabowo untuk membawa Indonesia dalam perubahan, tapi pura-pura lupa soal kasus HAM dan beberapa penculikan para aktivis di masa lampau, serta adanya bukti terselubung soal motif dukungan perusahaan besar milik asing soal pencapresan. Itulah yang mereka sebut intelektualitas.

Orang bicara kehebatan fanatisme PKS, Aher, dan Rhoma Irama dalam menjunjung panji-panji agama, namun malah bertingkah rasis dan menolak salah satu sila di pancasila, serta menjadi pendukung mati-matian para koruptor pada kasus daging sapi. Itulah yang mereka sebut intelektualitas.

Ketika Amien Rais bicara ‘nyablak’ soal koalisi mimpi yang hanya bertujuan untuk bagi-bagi kursi, para in-telek langsung membuat kesan seolah-olah posisi Jokowi terancam. Padahal jelas-jelas Jokowi sudah bisa nyapres dengan adanya koalisi PDI-P dan Nasdem. Itulah yang mereka sebut dengan intelektualitas.

Masalah undangan dari para dubes kepada Jokowi dianggap sebagai plan asing membentuk boneka pemerintahan di Indonesia. Hal itu ditelan mentah-mentah tanpa bukti konkrit. Padahal hubungan perusahaan Ical, Prabowo, dkk. dengan marga perusahaan besar seperti Rothschild sudah sangat jelas. Plan Rothschild untuk menguasai SDA di Indonesia bisa terbaca dengan mudah. Itulah yang mereka sebut intelektualitas.

Kagum melihat pemimpin yang begitu sederhana, tidak korup selama memimpin, dan mampu merubah kota se-kumuh Surakarta menjadi ‘The Spirit of Java’. Lalu dengan kerja keras merubah beberapa lini ‘bobrok’ di Jakarta dengan kepemimpinan singkatnya, serta penggunaan strategi ‘taktis’ tanpa embel-embel ‘praktis’ guna melawan para penghujat sebagai tanda kepiawaiannya dalam berpolitik, masih juga dikatakan fanatik buta? Mungkin itulah yang mereka sebut dengan intelektualitas.

Berbicara tentang seorang intelek, intelektualitas sangat berkaitan dengan gelar cendekiawan. Seorang cendekiawan tak hanya berpikir tentang kebenaran, tetapi harus berani menyuarakannya dengan keadilan walaupun rintangan yang dihadapi akan sangat terjal. Mereka tidak boleh bersikap netral dan harus mempunyai tendensi terhadap kebenaran yang hakiki. Jika tak mampu bersuara, maka ia harus bertindak atas apa yang telah menjadi kebenaran menurut rasionalitas dan kemaslahatan masyarakat. Jangan sampai intelektualitas hanya menjadi bagian dari ketakutan yang tersimpan atau kepentingan yang terselubung.

Jika pada akhirnya intelektualitas hanya menjadi ajang kepalsuan retorika-retorika kosong, alangkah lebih baik disebut sebagai ‘orang bodoh’ tapi menyuarakan kebenaran dengan rasionalisme bijak. Sadarkah kita bahwasanya pengetahuan dan media terkadang mengelabuhi seseorang untuk berpikir sebagai intelek, namun melupakan keberadaan nurani sebagai penopangnya? Biarkan proses yang akan membuktikan segalanya. Pendewasaan demokrasi tak akan pernah terjadi apabila masyarakat tidak pernah belajar dari kesalahan-kesalahan para petinggi di masa lampau yang membawa kehancuran bagi persatuan bangsa.

*Salam, manusia bodoh pendukung Jokowi.

(SW)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun