Mohon tunggu...
Ali Iskandar
Ali Iskandar Mohon Tunggu... Lainnya - Pelayan Maszawaibsos

Peminat Sosial Humaniora, tinggal di Lumajang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dimanakah Wakif - Nadzir Saat Wakaf Kurang Berkembang

12 Juli 2024   05:00 Diperbarui: 12 Juli 2024   05:07 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang menjadikan benda wakaf tidak berkembang ?
 
Ada banyak ragam dan sebab menjadikan wakaf tidak berkembang sesuai dengan harapan. Diantaranya adalah wakaf tidak terurus, keberadaan nadzir, perencanaan kerja nadzir, konflik nadzir-wakif dan pengembangan wakaf hanya fokus pada fasilitasi ibadah saja.
 
Jika berbicara idealisme, wakaf adalah instrumen penting untuk kesejahteraan dan kemaslahatan umat. Wakaf dapat dijadikan sebagai media utama untuk pengembangan kesejahteraan ekonomi umat. Guna mendukung  idealisme itu maka keseluruhan proses menuju kearah yang dimaksud amat urgen dilakukan. Nazdir sebagai titik tumpu pendayagunaan wakaf memiliki keseluruhan kriteria sebagai manajer sebagaimana yang terdapat pada manajer profesional. Apakah ini cukup ?. Tidak. Masih menunggu instrumen lainya untuk menunjang kebermajuan pendayagunaan wakaf  itu.
 
Sinergitas wakif-nadzir, keilmuan maupun kompetensi manajerial, memiliki kejelasan target, tidak mudah dimiliki oleh seluruh nadzir. Orientasi pendayagunaan peruntukan wakaf bukan hanya berhenti pada sisi ibadah saja, tetapi juga memiliki nilai manfaat ekonomi yang tinggi. Sehingga keberadaannya benar-benar di dibutuhkan dan memberikan manfaat maksimal bagi umat.
 
Dalam kajian keilmuan sejarah wakaf, keberadaan nadzir tidak menjadi perhatian utama yang diungkap secara eksplisit dalam masa periode awal wakaf. Ini yang dalam kitab kitab fiqih klasik tidak ditemukan tentang keberadaan atau posisi nadzir pada struktur rukun wakaf. Kita mafhum bahwa rukun itu adalah pilar yang dapat dijadikan sebagai pijakan bagi seseorang untuk bertindak dalam mewujudkan apa yang menjadi cita-cita itu. Kajian fiqih mengatakan bahwa rukun wakaf itu empat. Yakni wakif, mauquf fih, mauquf 'alaih, dan sighat (ucapan akad) wakaf saja.
 
Diantara Sejarah Wakaf
 
Tatkala Rasulullah SAW baru hijrah di Madinah Rasul berpikir tentang pembangunan masjid. Rasul bersama sahabat lain membeli tanah milik yatim untuk dibangun masjid. Dari kisah itu kita dapat memilah bahwa Rasul bersama Sahabat adalah berfungsi sebagai wakif sebab membiayai pembelian tanah milik si yatim. Demikian pula dengan si yatim dapat berfungsi sebagai wakif, sebab salah satu riwayat diberitakan mereka berdua tidak mau dibayar atas akuisisi tanah oleh Rasul dan para sahabat untuk dibangun masjid. Sekalipun pada akhirnya terbayarkan dengan harga miring atas niat yatim diatas. Sasaran manfaat wakaf adalah para jamaah atau umat Islam pada waktu itu. Sedangkan peruntukan wakaf jelas untuk pembangunan masjid.
 
Lalu nadzir ?. siapa lagi bila bukan Rasul dan sahabat. Belaiau-beliaulah pendayaguna wakaf, pemakmur, sekaligus pengelola (manajer). dalam waktu singkat berkat arahan Rasulullah SAW masjid Nabawi di Yastrib waktu itu  berdiri dan dapat difungsikan sebagaimana  diharapkan. Hanya saja secara eksplisit masih belum ada pembagian kerja secara terstruktur berikut pendayagunaannya terhadap tanah wakaf kolaboratif tersebut.
 
Periode awal praktek wakaf demikian sederhana. Seakan mengalir begitu saja tanpa disertai dikotomi tugas masing-masing rukun wakaf. Seiring dengan perkembangan perkembangan problematika kehidupan, disusul dengan kajian keilmuan yang semakin massif, lamat lamat terdeteksi polarisasi tentang posisi wakif, benda wakaf, peruntukan wakif dan sighat itu.
 
Tidak ada posisi nadzir.
 
Kitab sebagai salah satu bukti kemajuan sebuah peradaban ilmiah mencatat fiqh klasik masih belum memasukkan posisi nadzir pada struktur rukun wakaf. Rukun merupakan pilar yang dapat dijadikan sebagai pijakan bagi nadzir untuk bertindak dalam mewujudkan apa yang menjadi cita-cita.
 
Posisi nadzir dalam kajian lintas mazhab juga belum mendapat posisi khusus. Pada waqaf model Hanafi dan Maliki posisinya tidak secara eksplisit termaktub dalam "perjanjian" wakaf. Walaupun hanafiyah dan malikiyah (penerus, pengikut keduanya) tidak dapat memungkiri jika dimungkinkan kedepannya ada posisi untuknya. Perdebatan tentang posisi nadzir senantiasa berlangsung sampai periode kontemporer tiba dan menjadikan nadzir sebagai titik sentral dalam kemajuan pendayagunaan benda wakaf.  
 
Diantara yang menjadikan wakaf tidak perlu  nadzir dalam kajian hanafiyah dan malikiyah disebabkan bahwa wakaf itu adalah ibadah tabarru' (sukarela). Karenanya akad wakaf adalah ghair lazim (tidak pasti), benda wakaf masih milik asal, sedang yang diwakafkan adalah manfaat benda saja. Atau dalam posisi tertentu, akad wakaf dapat disamakan dengan simpan pinjam ('ariyah). Setelah kontraknya selesai maka benda wakaf kembali ke pemilik. Persis seperti redaksi hadis Nabi kepada sahabat Umar Bin Khattab.
 
Kajian fiqih Syafi'i dan dan Hambali mengatakan lain bahwa wakaf adalah akad lazim artinya benda wakaf itu lepas dari kepemilikan wakif. Akad wakaf berlaku mu'abbad (selamanya). Maka pada posisi ini dimungkinkan untuk ditetapkan pada struktur rukun wakaf. Walaupun  masih belum terdeteksi dalam kajian fiqh klasik.
 
Dalam fiqih kontemporer, kedudukan nadzir mulai mendapatkan titik terang. Artinya kolaborasi pemikiran antar pakar memiliki kecenderungan kuat menjadikan nadzir adalah bagian tak terpisahkan dalam struktur wakaf. Bahkan posisinya strategis sebagai pengelola wakaf.
 
Jika merunut kembali dalam jejak sejarah wakaf, sahabat Umar Bin Khattab pernah berwasiat tentang keberlanjutan wakafnya. Manakala ia wafat beliau berpesan bahwa benda wakaf tersebut akan diwasiatkan (pengelolaannya) kepada putrinya Hafsah untuk mengurus dan mendistribusikan manfaatnya kepada yang berhak. Pada poin ini,  sejarah mencatat bahwa posisi nadzir dapat terdeteksi diawal sejarah wakaf. Namun jejak tulis yang dapat dibaca dari para pemikir fiqih klasik bahwa wakaf sahabat Umar itu termasuk wakaf ahli (keluarga).
 
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf sebagai implementasi dari kajian fiqih klasik kontemporer dalam konteks keindonesiaan, posisi nadzir memiliki kemajuan signifikan. Kedudukan nadzir sebagai instrumen penting dalam pengembangan benda wakaf (pasal 2-14). Ini adalah wujud perhatian negara terhadap kebutuhan umat Islam akan bernilai manfaat wakaf. Undang-undang tersebut memfasilitasi wakif untuk memilih nadzir pada tiga pilihan ; perseorangan, badan hukum dan organisasi. Masing-masing ini memiliki kekuatan tersendiri. Keberadaan perundangan wakaf ini semakin menguatkan bahwa posisi wakaf dalam percaturan perekonomian di negeri ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Hanya saja keberadaan undang-undang tersebut masih belum memberikan gairah bagi pelaku, pekerja dan penerima manfaat wakaf untuk memperoleh manfaat maksimal dari undang-undang wakaf tersebut.
 
Profesi Nadzir.
 
Tak dapat dipungkiri bahwa tugas dan kerja nazir amatlah berat. Posisi mereka masih bukan dipandang sebagai profesi. Posisi mereka lebih diposisikan sebagai ibadah dan perjuangan. Saya kira tidak ada yang keliru bila difahami demikian.  Dalam kenyataan menunjukkan kegitan kenadziran berada disposisi belakang. Sebab saat tenaga nadzir fresh didahulukan untuk keperluan penghidupan keluarga lebih dulu. Saat pagi mereka berjibaku di lapangan pekerjaan untuk ma'isyah keluarga. Sore hari untuk ibadah dan perjuangan kenadziran. Hal ini lazim terlihat pada nadzir pedesaan. Namun demikian kegotongroyongan serta keterlibatan masyarakat dalam menuntaskan tugas tugas kenadziran patut diacungi jempol.  Dengan segala keterbatasan yang dimiliki termasuk pengetahuan manajerial (seperti diperusahaan modern) yang terbatas mereka bahu-membahu menuntaskan tugas itu. Dengan ikhlas mengembangkan benda wakaf yang menjadi amanah wakif.
 
Sebagai individu mandiri petugas nadzir dapat ditelaah pada sisi psikologis. Posisinya sebagai petugas tidak lepas dari gaya kepemimpinan berbasis tipologi kepribadian. Hypocrates dengan tipologinya yang terkenal itu membagi empat tipe kepribadian ; koleris, sanguinis, plegmatis dan melankolis. Seseorang yang bertipologi koleris memiliki bakat untuk mengatur dan menguasai orang lain, kental jiwa kepemimpinan. Namun demikian jika tidak diimbangi dengan pengetahuan yang mumpuni maka sifat ini juga kontraproduktif terhadap apa yang melekat pada pribadinya. Demikian pula sanguinis, yang menarik banyak orang. 

Keberadaannya sering menjadi pemecah kebekuan suasana. Jika tidak diimbangi dengan pengetahuan yang memadai maka juga akan menjadi pembual surgawi. Tipe plegmatis yang cenderung mengikuti situasi, juga memiliki kelemahan. Yakni kurang respon dan tidak berani mengambil keputusan dalam situasi penting yang seharusnya menjadi peluang bagi dirinya untuk lebih maju. Melankolis yang memandang segala sesuatu adalah menyedihkan sehingga kurang memiliki semangat untuk bergerak maju untuk mewujudkan cita-citanya.  Kesemuanya melekat pada pribadi seseorang tak terkecuali. Bahwa masing-masing dari mereka ini juga mendapatkan kesempatan untuk menjadi nadzir dengan dinamika kepribadiannya.
 
Tipologi Kinerja Nadzir.
 
Secara umum kinerja nadzir dapat dikelompokkan menjadi 4 tipologi kinerja. Pertama, nazir konsumtif konvensional. Ia bekerja sesuai peruntukan wakif. Tidak lebih dari itu. Ketika  wakif hanya mengatakan benda wakaf nya untuk mushola atau masjid,  maka ia membangun mushola atau masjid itu sekaligus menjadi panitia pembangunan. Setelah bangunan itu berdiri maka selesailah tugas nazir tersebut. Kedua nazir dengan kinerja produktif konvensional. 

Pada kinerja nadzir tipologi ini, disamping mengerjakan apa yang menjadi amanah wakif, beliau menambah dengan beberapa kegiatan lain untuk memakmurkan mushola atau masjid. Bentuk kegiatannya ia mulai menambah kegiatan pemakmuran yaitu dengan pengajian mendirikan tes TPA misalnya. Namun demikian ia masih tidak berani bertindak lebih dari kegiatan diluar peruntukan musholla masjid itu. Sekalipun peluan untuk itu amat terbuka lebar. Boleh jadi pula pengetahuan untuk lepas dari konteks kemasjidan atau kemusholahan masih belum dimiliki.
 
Nazhir yang produktif kreatif di samping kiri kinerja nya adab ada 2 tipologi diatas juga menambah bahkan berinovasi untuk mengadakan kegiatan yang yang lepas dari tujuan awal wakif. Namun demikian manfaat daripada kegiatan itu kembali kepada pada kemakmuran masjid musholla tersebut. Semisal keuntungan yang diperoleh hasil kegiatan itu digunakan pembiayaan atau segala kebutuhan yang diperlukan oleh masjid mushola. Nadzir senantiasa berinovasi untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang memiliki manfaat bagi umat pada umumnya. Tentu saja dengan tidak meninggalkan peruntukan awal wakif yakni sebagai tempat ibadah serta pemakmurannya.  Bentuknya nadzir mulai mendirikan sekaligus mengadakan kegiatan perekonomian. 

Seperti membangun toko dilingkungan masjid karena memang lokasi masjid musholla strategis untuk itu. Disamping menyerap tenaga kerja atau memberdayakan masyarakat sekitar juga sebagai pemberdayaan ekonomi umat dan lain sebagainya. Tentu saja inovasi yang seperti ini memang tidak ada dalam peruntukan wakif pada saat awal ia berikrar wakaf. Namun demikian apabila inovasi ini diberitahukan kepada si wakif serta merta mereka akan menyetujui mengamini bahkan memotivasi akan adanya kegiatan ini. Nilai manfaat kegiatan semacam ini mengalir ke mana-mana dan menjadi luas cakupan manfaatnya. Tidak sia-sia lah wakif mewakafkan harta yang yang mereka cintai untuk diwakafkan untuk dikelola oleh nadir produktif kreatif.
 
Keempat kinerja nadzir yang kreatif futuristik. Ketiga kinerja tipe nadzir diatas melekat pada nadzir tipologi ini. Lalu nadzir ini menambahkan kreativitas yang tidak biasa dan belum biasa dilakukan oleh nazir pada umumnya. Yakni nadzir memeiliki skill setara manager perusahaan. Nadzir ini memiliki wawasan dan penguasaan teknologi 4.0 bahkan 5.0. Berpijak  dari tugasnya sebagai nazir, beliau memiliki inovasi untuk mengembangkan pemikiran wakaf yaitu pada bidang yang lebih maju. 

Pemikiran wakaf bukan hanya berhenti pada wakaf konvensional. Beliau bekerja berbasis wakaf pada inovasi investasi wakaf. Inovasi investasi wakaf yang ia kembangkan serupa dengan dikembangkan dalam perusahaan. Tentu saja akan menyerap tenaga kerja yang lebih luas lagi serta dibutuhkan di masa depan. 

Penguasaan  teknologi menjadi ciri khas pada nazir bertipologi kreatif futuristik ini. Inovasi di dunia keuangan menjadi titik pembeda antara pada tipe nadzir sebelumnya. Nadzir kreatif futuristik nilai manfaat wakafnya itu bisa bergulir kemana-mana. Bukan hanya sesuai dengan peruntukan awal wakif. Tetapi berkembang kemana-mana. Maka ini sejalan dengan sedekah "jariyah" yang berarti mengalir tiada henti. Kesemuanya itu akan kembali berpulang kepada si wakif.
 
Nadzir Profesional.
 
Bagaimana dengan Nazir profesional ?. Kita dapat menelaah terlebih dahulu dari sisi pengertian profesi. Profesi adalah kegiatan yang memberikan keuntungan bagi dirinya dan tentu saja keluarganya. Dengan kata lain profesi pasti menghasilkan nafkah atau gaji pada diri setelah ia melakukan kegiatan itu. 

Oleh karena itulah seseorang yang memiliki profesi maka kriteria yang melekat pada dirinya adalah ia memiliki keahlian, komitmen moral, gaji, pengabdian, profesi luhur dan organisasi profesional. Nazir yang menjadikannya sebagai profesi, maka ia berfungsi sebagai manajer wakaf. Mereka akan bekerja serius, disiplin tanggung jawab, memiliki keahlian sekaligus terampil.
 
Seseorang yang menjadikan diri sebagai profesi, maka harus dibekali dengan keahlian manajerial. Antara lain ia dibekali dengan keahlian teknis, komunikasi, konsep, mengambil keputusan dan kemampuan tata kelola waktu. Nadzir yang profesional juga dibekali dengan kemampuan dalam menaklukkan kondisi global. Diantaranya adalah keahlian manajerial dalam wawasan global serta menguasai perkembangan teknologi.
 
Apakah syarat-syarat manajer wakaf tersebut sudah cukup ?. jawabannya "tidak".  Syarat  yang melekat dan sudah menjadi karakter bagi nadir profesional adalah Ia memiliki kecerdasan rasional, kreatif dan responsif. Kemudian memiliki komitmen kerja, energik, punya kestabilan emosi, memiliki kemampuan human relation dan personal motivation. 

Personal motivation memuat indikasi yang penuh inisiatif, proaktif, antusias dan percaya diri. Memiliki kemampuan komunikasi sosial. Yaitu perhatian, demokrasi, terbuka dan humoris. Memiliki teaching ability, yakni bisa mengabstraksi dan keadaan. Mengidentifikasi masalah serta mengetahui sumber informasi untuk pengembangan kerjanya. Lalu ditunjang dengan kompetensi teknis serta berani mengambil risiko meskipun itu yang paling ringan sekalipun.
 
Nadzir yang seperti ini amat dibutuhkan pada kondisi ekonomi umat yang masih carut marut. Bahkan gonjang-ganjing ekonomi ini senantiasa ada pada setiap zaman. Namun keadaanlah yang membedakan antara satu zaman dengan zaman lain. Nadzir adalah profesi mulia disamping merupakan profesi akherat. Seharusnya nadzir adalah profesi yang dapat memberikan manfaat bagi umat pada umumnya. Semoga saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun